Selasa, 25 Agustus 2015

Ini Tak Kusebut Lagi Keinginan


Mungkin sudah sewindu lebih derap inginku menderu terus-menerus. Ingin dengan kebiasaan-kebiasaan selayaknya sepasang manusia yang telah didoakan beribu malaikat tatkala sebuah perjanjian termaktubkan di hari nansakral. Ingin ada tegur sapa lembut ketika embun mulai mengering di pagi hari. Secangir teh yang senantiasa kubuat dengan sedikit pemanis takaran yang kau pinta. 

Namun ketika kita memilih diam--entah karena tingginya hati--entah karena malu-malu untuk mengakui akhirnya kita seperti debu yang terhapuskan begitu saja. Kebiasaan-kebiasaan yang terlukis dalam benak seolah enggan untuk diinginkan kembali. Sapaan-sapaan lembut yang terbayangkan, sama sekali tak terpikirkan lagi. Takaran gula yang kau pinta lalu kuaduk dalam larutan teh, terasa lupa harus sebanyak mana porsi gula sesuai maumu.

Diammu-diamku-diam kita telah melahirkan kekakuan di diri kita masing-masing. Kita jadi enggan menegur. Kita enggan mengabari. Kita jadi ragu pernah memiliki keinginan-keinginan yang dulu sempat dirajut. Dan hingga embun mengering di pagi ini, keinginan itu bagai lembar-lembar kertas yang sudah terisi hingga penuh pada satu buku lalu dianggap sampah dan dibuang-terlupa kalau kita pernah mengisinya. Dan Aku tak ingin lagi menyebut itu dengan keinginan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Membedakan Sifat-Sifat dan Ragam Bahasa

Silakan pahami narasi-narasi berikut sehingga Saudara dapat memahami perbedaan sifat-sifat bahasa! 1. Fakta sejarah bahwa orang atau kelompo...