Sabtu, 20 Juli 2013

Cahaya di Teluk Betung



“Aku nggak mau ngajar lagi!” protes Feby lalu menjatuhkan tubuhnya di kasur. Kepalanya dibenamkan di bantal yang tergeletak sembarang. Ada sebongkah beban yang mengguncangi pikiran. Rasa malu masih mengitari ingatannya. Feby amat geram dengan bocah-bocah tengil tak tahu diri itu. Mengingat tingkah laku mereka, ingin sekali ia mencubiti satu-satu tangan mereka yang jahil sampai menangis sejadinya. Gigi-gigi Feby bergemeretak. Masih merepet keluh-kesalnya. Sementara Lidya, tersenyum kecil, menerima kabar tak mengenakkan dari sahabatnya itu.

“Sendalku itu masih baru, Lid. Gila, sudah hilang. Mana mahalll...” racau Feby, beringsut, membuang bantal di sembarang tempat.
“Feby... harap maklumlah. Mereka anak-anak, ya harus...”
“Harus sopan dengan yang lebih tua!” potong Feby. “Aku ini guru mereka lho!” sambung Feby berapi-api. Napasnya naik-turun. Hidungnya kembang-kempis menahan marah. Aliran darahnya terasa mendidih. Sedang Lidya cuma geleng-geleng menanggapi sikap Feby tak mau kalah dengan anak-anak.

Matahari hampir tenggelam. Angin mendesir di bibir pesisir. Langit merah berkarat. Segerombol anak menuju musala guna tunaikan tiga rakaat menghadap Sang Ilah. Setelah itu, belajar mengaji, mengenali lebih dekat Sang Pencipta semesta melalui lantunan kalam Alquran. A ba ta tsa dan seterusnya, dieja pelan-pelan. Lidya ikut mengajari mereka—murid-murid Sekolah Gema –Ical, Deri, Butet, Emil, dan Asha. Ical yang paling susah diajarkan ngaji. Seringkali terbalik membedakan ja dan kha. Lidya tertawa kecil, geli sendiri akan tingkah anak-anak didiknya.

Feby lebih memilih tinggal di kos. Menyiapkan seragam mengajar, selembar jilbab, dan buku-buku pelajaran untuk esok. Ah, entah, bila malam tiba lalu teringat aktivitas rutinnya tiap pagi, gairah mengajar rasanya lindap. Sejak Feby mengenal segerombol bocah nakal, hidupnya merasa tak nyaman. Tak tentram. Agenda kuliahnya jadi tak bermakna. Barang-barang yang dibawanya ke sekolah, pasti hilang. Yang menghilangkan, siapa lagi kalau bukan lima kurcaci itu, sebutan untuk lima bocah kecil yang selalu menjahilinya: Ical, Deri, Butet, Emil, dan Asha.

“Ibu kalau ngajar jangan galak-galak, Bu!” celetuk Ical.
“Iya, Bu. Hidup kami sudah susah, masa’ belajar juga susah,” tambah Butet lalu mengelap ingus dari hidungnya.
“Betul!” tandas Emil.
“Iya. Betul!” seru lainnya serempak. Sekonyong-konyong Feby tersudut, merah menyalalah wajahnya. Amarah tak bisa ia hindari. Meja sempat digebraknya. Siswa-siswa pinggir pesisir itu terperanjat ketakutan, tapi tak lama mereka tertawa hebat. Entah, apa yang membuat mereka merasa lucu. Mungkin karena sikap Feby yang terlalu serius menanggapi komentar-komentar bocah yang belum genap dua belas tahun.

Raib. Sejak Feby sekali—dua kali marah, sepatu bermereknya, hilang sebelah. Murid-murid hanya menggeleng, tanda tak tahu. Namun, di antaranya ada yang terkikik pelan. Feby menelan ludah. Menahan marah.

Dua—tiga kali. Hilang lagi! Belum lama sepatu, komik Jepang yang dibawanya ke kelas, sekarang sandal-sepatu tali yang dibelinya satu minggu lalu. Merek impor pula! Sengaja ia persiapkan untuk tunaikan matakuliahnya di Teluk Betung, daerah pesisir yang mayoritas penduduknya nelayan dan berumahkan di pinggir laut. 

Kali itu, Feby marah hebat. Hampir semua siswa dijemur dengan mengangkat satu kaki, sedang tangan menjewer telinga masing-masing dengan cara menyilang. Murid-murid mulai meringis. Tak tahan menahan panas. Wajah sudah merah terpanggang matahari. Menepis peluh yang banjir. Tapi, ada juga yang malah tertawa kecil. Seperti sengaja mencibir. Siapa lagi kalau bukan Ical Cs, biang ulah keributan di kelas. Alhasil, Feby ditegur kepala dusun di sana. Untungnya, ia masih diizinkan mengajar.

“Mau kayak mana lagi coba ngadepin kurcaci-kurcaci itu? Mau diem aja?” Feby marah-marah tak keruan, setengah berjingkat-jingkat meluapkan amarah. Lidya menoleh, menanggapi enteng persoalan Feby. Kembali melanjutkan tulisannya yang tengah diedit di layar komputer. Feby diam. Menciptakan hening. Seolah berpikir bagaimana caranya agar ia mengajar bisa dihargai murid-murid layaknya guru lain.

“Aku nggak mau kalau barang-barangku hilang terus. Pokoknya kalau sampai terjadi lagi, lebih baik aku stop mengajar. Nilai E mungkin lebih terhormat, Lid,” sambung Feby. Lidya membuang napas. Penat tiap sampai di kosan, ia laiknya bak sampah yang selalu menimbun keluhan Feby.

“Ya sudah. Besok ikut aku ngajar,” ajak Lidya, singkat. Feby setengah terlonjak.
“Buat apa?” tanyanya penasaran.
“Jangan banyak tanya. Ikut saja besok. Pakai pakaian yang rapi,” jawabnya singkat.

Angin malam mendesir. Menabuh-nabuh kulit. Feby keluar kosan. Ia menyisiri jalan. Suasana mengurung sepi. Terpasung di bola matanya, ada bocah kecil tengah berdiri memandang lepas lautan. Seperti menunggu sesuatu yang datang dari sana. Feby lama memerhatikan. Bentuk tubuh dan rambut ikal yang menjuntai mengingatkannya pada salah satu muridnya yang menyebalkan di sekolah. Butet! Ia, dia butet. Sedang apa dia malam-malam gini? Ah, dasar bocah nakal. Bukannya istirahat di rumah, malah keluar malam-malam, Feby membatin. Ia tak hirau.
***
Pagi datang. Matahari kembali menantang. Berdiri gagah dengan menyeruakkan caya panas. Feby dan Lidya berpakaian rapi. Pakaian atas-bawah berwarna coklat muda senada. Juga jilbab yang dipakai indah. Mencirikan muslimah yang tahu aturan agama. Aksesori yang mengait di jilbab, makin memaniskan rupa.

“Aku nanti ngapain, Lid?” tanya Feby mengikuti ritme langkah Lidya menuju sekolah. Letak sekolah yang tak begitu jauh dari kosan mereka. Berkisar tiga ratus meter. Napas Feby mulai naik-turun. Hidungnya kembang-kempis. Keringat mulai bercucuran di pelipisnya. Lidya melirik lalu tersenyum. Dirogohnya saku, diberikannya tisu. Feby menerima tanpa basa-basi.
“Kamu lihat aku saja nanti. Tak perlu komentar.” Feby manggut-manggut, tanda mengerti.

Lidya masuk ke kelas yang berukuran tak besar seperti kelas-kelas yang ada di sekolah pada umumnya. Mengucapkan salam lalu dijawab serempak murid-murid di kelas. Mereka menyambarkan senyum yang paling manis dipunya. Tatapan kasih sayang Lidya, ia tebarkan pada tiap sudut mata anak didiknya. Semua surut dalam hening. Mata-mata itu berbinar. Tak sabar menanti Lidya segera mengajar. 

Feby membuat catatan kecil. Menuliskan poin-poin yang tak ia lakukan seperti Lidya. Ical cs tertawa kecil. Feby langsung menjatuhkan dua bola matanya pada bocah-bocah tengil itu. Menatapnya setengah sinis.
“Ibu Feby ngapain tuh ikut-ikut Ibu Lidya?” Deri celetuk asal. Ical, Emil, dan Asha tertawa geli. Sementara Butet, tak terlihat pagi itu.
“Pasti nanti nggak seru,” sambung Emil.
“Iya, betul!” tandas Asha, disambung riuh Deri, Ical, dan Emil. Feby diam. Ia sekuat mungkin menahan gemuruh hatinya. Kalau tidak memandang Lidya, ingin sekali ia cubiti satu-satu bocah-bocah tengil itu. 

Lidya menyeringai senyum. Memulai pelajaran dengan menyelipkan satu kisah inspiratif untuk murid-muridnya. Bercerita dengan alur yang membuat anak didiknya tenggelam dalam kisah. Antusias dipasangnya erat-erat. Mereka sampai lupa dan tak hirau dengan guru yang tak mereka suka: Feby. Sedang Feby, ia mencatati poin demi poin hal apa saja yang dilakukan Lidya dalam mengajar. Sungguh, amat berbeda dengannya. Feby turut menikmati pelajaran yang diberikan Lidya yang penuh keibuan. Pelajaran berhitung yang dibuat Lidya pun menjadi mudah dan menyenangkan.

Feby tercenung. Sesekali ia tersadar lalu kembali menuliskan poin-poin penting yang terlepas darinya sebagai calon guru. Sebagai mahasiswa yang duduk di bangku keguruan, tapi tak sedikit pun memiliki jiwa welas asih untuk murid-murid. Hati Feby rasanya melonjak-lonjak. Malu, sudahlah pasti. Ia tersudut di mata murid-muridnya, khususnya, Ical cs.yang tak suka cara mengajarnya. Terlalu serius. Menakutkan. Seperti monster, kata mereka.

Feby sadar, mereka adalah kotak kosong yang mesti diisi hal positif, menyenangkan, dan kreatif. Sebab hari-hari mereka telah dipenuhi kejenuhan harapan agar perut dapat terisi terus, tak melulu bergantung pada angin yang membawa ayah-ayah mereka mencari rezeki di tengah lautan yang membahayakan. Selama ini Feby mengubah ujudnya jadi monster yang memiliki keahlian mengajar. Menjadikan anak-anak berwajah polos itu seperti robot. Mengikuti maunya mengerjakan tugas dan tugas. Mendapatkan ilmu dalam ketakutan yang menggigil.

Malam. Feby menciptakan hening. Tak banyak ia bicara setelah menyaksikan bagaimana Lidya mengajar. Hanya kata terima kasih yang disampaikan tatkala senja meringkuk.
Angin kembali menyisir. Untuk malam berikutnya, ia menapaki jalan. Ditemui kembali gadis kecil berambut ikal. Ia memandangi lautan. Seperti masih berharap sama: menanti kapal yang datang dari seberang sana.

“Butet,” sapa Feby, lembut. Ia menoleh. Kikuk geraknya. Ada segurat cemas di wajah. “Sedang apa?” lanjutnya. Butet tak menjawab. Beringsut perlahan lalu buru-buru pergi meninggalkan Feby. Feby bergeming. Air bening mengalir dari pelupuk mata. Sengeri itukah dirinya di mata Butet.
***
Masuk bulan pertama Feby mengajar di Teluk Betung. Sejumput kisah ia rekam di memorinya. Segenggam rasa sayang bertunas di hatinya. Kasih itu tiba-tiba saja mencuat. Segenap perasaan yang mulai ia tebar untuk murid-muridnya.

Feby masuk kelas, diawali salam. Semua siswa di kelas terkejut dengan salam yang diberikan guru monsternya itu.
Wa...a...lai...kum sa...lam...” jawab serempak penuh kikuk. Ada yang tersenyum senang. Ada yang merasa aneh. Ada yang tertawa kecil. Pun ada yang diam saja. Takut-takut Feby menggebrak meja kembali. Feby membalas semua ekspresi mereka dengan senyum. Penuh sayang.

Poin-poin besar yang menjadi catatan dirinya dalam mengajar, diubahnya drastis. Mengajar penuh rileks, diselingi gurauan agar tak dipandang monster. Feby juga mengikuti cara mengajar Lidya. Menyelipkan kisah keislaman agar murid-murid makin mengenali Tuhannya.

Hari pertama dalam perubahan mengajarnya, memang tak seindah ekspektasi yang dibayangkan. Tak apalah, meski Ical cs.menganggapnya monster jadi-jadian berubah jadi bidadari, tak menyurutkan kasih sayang Feby untuk mengajar. Hari kedua, Asha mulai menegur Feby saat istirahat. Disusul Deri dan Emil. Sementara Ical, ia masih enggan. Butet sudah beberapa hari tak sekolah.

Senja tiba. Gerimis berjatuhan. Daun-daun ranting menari-nari tertiup angin liar. Tiga rakaat wajib tertunaikan. Anak-anak berlarian menuju musala. Kembali mengaji. Mengenali Allah melalui kalam-Nya. Ini kali kedua Feby mengurungkan diri untuk berdiam di kos. Bersama Lidya, ia ikut mengajar ngaji. A ba ta tsa dilafal Emil satu-satu. Feby bahagia.

Tiba-tiba Ical datang. Mengambil posisi duduk di depan Feby.
“Bu Guru, saya mau ngaji juga,”  katanya ramah, polos. Feby terhentak. Menahan haru. Hanya anggukan dan senyum disemainya. Pelan-pelan, terbata-bata, Ical melafalkan sederet huruf hijaiyah. Feby membimbingnya. Pelan-pelan, penuh kasih.

Esoknya mengajar. Feby datang menjuntaikan salam. Semua siswa menjawab lalu disusul suasana hening. Feby menatap satu-satu bola mata murid-muridnya. Ical sc.hanya diam. Feby menggelayutkan pertanyaan dalam batin tatkala Butet hadir di pertemuannya.

Butet menghampiri Feby. Di tangan kanannya dipenuhi satu kotak terbungkus rapi. Ia melangkah pelan, mendekati Feby. Sambil setengah menunduk. Masih takut dengan perangai Feby.

“Ini untuk Ibu,” katanya pelan. Belum sempat Feby tanya ketidakhadiran Butet beberapa hari lalu, satu pertanyaan baru menyembul. Satu kotak diberikan untuknya. Hari ini bukan hari kelahirannya. Semrawutan pertanyaan di kepala.
“Dibuka saja, Bu,” saran Ical lalu terkekeh.
“Iya, Bu,” jawab yang lain.
Feby tak percaya. Ia menilik satu-satu ekspresi guratan wajah muridnya. Khawatir bocah-bocah tengil itu akan berbuat iseng. Penuh hati-hati, Feby membuka bungkus kotak segi empat di hadapannya.

Hening...
Dalam hitungan detik, Feby menahan haru. Ada air mata yang membayang lembut. Seuntai kalimat menyuruknya dalam sedih. ‘Maafkan kenakalan kami, Bu’. Lagi, Feby kembali menatap wajah-wajah polos itu. Tak kuat menahan bendungan hebat air mata di pelupuk. Mengalir begitu saja, membasahi pipi kanan-kirinya. Sepatu heels, beberapa komik Jepang, sepatu-sandal, dan barang lainnya yang sempat raib, kini ada di depan mata. Tersaji manis dalam kemasa kotak yang diberikan Butet.

“Maaf, Bu. Komiknya saya pinjam,” celetuk Butet. “Nunggu abah pulang dari laut, jadi saya baca komik Ibu,” tambahnya lalu cengengesan. Yang lain tertawa. Riuh tercipta. Feby mengangguk-angguk, tak mengapa batinnya berucap.
“Sepatu ibu yang tinggi, saya jadiin ganjalan pintu, Bu. Emak udah ngomel-ngomel sama Abah yang susah bener betulin pintu,” papar Ical. Kelas makin riuh. Tawa melingkupi. Feby haru. Air matanya belum usai menganak.
“Terima kasih, anak-anakku,” jawabnya lirih.

Haru-biru menyurut. Belajar kembali berlanjut. Tunas kasih sayang Feby melangit. Di kelas itu, ia diajarkan berhati lembut, bukan monster yang berwujud guru. Di kelas itu, ia temui mata-mata berbinar yang butuh sosok guru yang ikhlas. Belajar menanam harap agar ilmu dan perut dapat terisi setelah ayah mereka masing-masing pulang, lelah dari melaut. Feby temukan cahaya itu dari jiwa-jiwa mereka. Para cahaya di pesisir Teluk Betung. []

Catatan Pagi: Melangitkan Syukur

Ba'da Subuh, aku sengaja tak ingin menuruti kantuk yang menusuk-nusuk mata. Mengondisikan tubuh untuk tidak tidur setelah sarapan dini hari, mungkin akan menyehatkan. Terlebih porsi berat badanku yang cukup wah (mungkin) sehingga tidur pagi aku minimalkan. Tilawah sudah kutunai. Dengan harapan, tahun ini dapat menoreh targetan yang lebih baik dari tahun lalu. Bagaimana trik-triknya, aku yakin tiap individu memiliki caranya tersendiri, termasuk diriku.

Pagi ini pukul 07.05. Rintikan hujan terdengar dari kamarku yang berukuran tak begitu luas. Sepertinya cukup deras air meluruhkan bau tanah kering. Sayang, aku tak dapat menikmati aromanya di luar sana.

Catatan pagi, memang ada hal yang ingin aku selusupkan dalam runutan waktu hidupku yang bergulir. Ini kali ketiga aku menunaikan kewajibanku dalam tulis-menulis. Bila ditanya, tilawahnya kapan? Ibadahnya kapan? Hei, tak perlulah sibuk bertanya. Tak perlu jualah kujawab. Sudah kusinggung sedikit tadi, tiap individu memiliki trik masing-masing. Tak perlulah aku paparkan pula sudah berapa juz yang kulahap di hari ke12 Ramadhan ini. Rasanya kurang baik. Namun, yang jelas, mencoba menyeimbangkan keduanya. Berjalan bersamaan agar tak melenceng dari norma Ilah.

Hujan masih asyik menari. Allahuma shoyyiban nafi'an. Lafal yang kubiasakan tatkala rahmat Allah itu turun ke bumi. Semoga hujan yang penuh rahmat.

Hari ini, agendaku sebenarnya padat hingga sore. Masa Orientasi Sekolah, hari ini adalah puncaknya. Namun, sayang, sungguh aku belum dapat bergabung. Kondisi yang mengharusnkanku untuk tidak beranjak dari rumah. Pun hari ini ada kelas menulis perdana FLP Cabang Bandarlampung untuk calon anggota angkatan II di belakang rektorat Unila. Maaf pun kusampaikan pada mereka. Semoga agenda berikutnya, aku bisa mengepakkan sayap.

Jadi, hari ini tetap full di rumah. Tak melakukan aktivitas berat apa pun. Mengangkat sepanci air pun, tidak. Banyak jalan pun, juga tidak. Sekadar membantu ibu di rumah jelang berbuka. sekadar mencuci piring yang kuyakin sudah menjadi kewajiban anak putri. Sekadar itu saja. Pakaian kotor menumpuk. Sedih, untuk sementara, aku tak bisa menunaikannya. Ahhhh... rasanya geregetan. Rasanya mau ciat ciiiat ciiiaaaaaattttt.... semua kukerjakan. Ya, semua ingin bet betttt beeeeet..... aku tunaikan kerjakan itu. Allahuma 'a fini fiibadanii....

Menyiapkan materi esok untuk mengajar. Slide power point tengah kubuat sambil ditemani ritme hujan. Entah, apakah esok aku sudah bisa berangkat? Entah, apakah esok aku sudah bisa membawa barang laptopku yang akan memikul beban di badan? Aku yakin, semua ada jalan. Allah akan memudahkan. Yang jelas, hari ini tetap siapkan amunisi untuk mengajar esok. Jangan pernah menunda waktu. Jangan pernah mencibirkan waktu yang akan datang pada esok.Tetap tunaikan hal apa pun yang ingin dikerjakan.

Sambil membuat power point, aku terusik dengan satu artikel yang telah terbit pada rubrik Resonansi di Republika Online. Buah karya Asma Nadia--penulis Indonesia aktif--salah satu motivatorku untuk terus menulis. Menulis untuk kebaikan. Judul tulisan Beliau: "Melangitkan Syukur". Singkat cerita, Asma Nadia cukup tertohok dengan penjamuan seorang wanita yang usianya sudah cukup tua ketika Beliau berkunjung ke Amsterdam. Namanya Ida. Asma biasa memanggil dengan sebutan Bunda Ida. Wanita itu sangat baik menjamu kedatangan Asma Nadia. Beliau ternyata terkena kanker. Sudah bertahun-tahun ia bertarung dengan sel-sel kanker yang terus menggerogoti tubuhnya. Kala itu, Asma Nadia beserta ibu, ditempatkannya di kamar utama sang pemiliki, padahal sang pemilik yang lebih membutuhkan kenyamanan tidur dengan kondisi tubuhnya yang sakit.

Ternyata rasa syukur menghilangkan keluhan. Rasa syukur juga yang mengalirkan ketenangan dan kekuatan, termasuk untuk berbuat bagi orang lain. Dengan kesehatan yang lebih baik dari perempuan yang sudah cukup tua (Ida), Asma merasa merasa belum banyak menampilkan kebaikan untuk orang lain, belum bisa maksimal memuliakan tamu, tak selalu menunjukkan keramahan yang jujur pada orang lain. Terlebih ketika Asma tahu, Bunda Ida belum juga memiliki keturunan. Namun, beliau menjaga baik keponakan-keponakannya. Hal-hal demikian yang membuat air mata Asma membayang.

Itu adalah cerita singkat. Masih banyak cerita lain, kekurangan orang lain yang amat jauh dari kita. Namun, mereka mungkin bisa jadi lebih mulia dari kita. Mulia akan sikap terhadap orang lain. Dengan kekurangan yang ada, mereka selalu berpikir keras bagaimana mengubahnya menjadi kelebihan-kelebihan yang terkadang tak dimiliki orang yang lain. Contoh mudahnya ialah menjamu tamu.

Itu hanya sekelumit cerita. Masih ada sekelumit cerita lain yang bisa dibubung tinggi, bisa jadi giliran kita tertohok dengan kondisi kita yang baik. Dengan kesehatan yang kita punya meskipun mungkin di antaranya ada yang tengah sakit. Namun, semoga saja, semangat itu takkan pernah surut. Semangat menjadi lebih baik. Semangat untuk terus meng-upgrade diri menapaki level yang lebih bermutu. Tetap bersyukur dengan apa yang telah dipunya. Makin melangitkan syukur dengan apa yang sudah kita punya. Harus tetap dilangitkan![]

wallahu a'lam bishawab.

Jumat, 19 Juli 2013

Motivasi Mario Teguh - Menghilangkan Rasa Malas

Catatan Senja: Apa Kabar Dosaku?

Siang tadi, cuaca kembali tak mesra. Kemarin hujan-panas berjanji bergantian membungkus bumi. Hari ini, teriknya memanggang kulit. Aku menatap langit. Tak ingin menatapnya durja. Memiuh-miuhkan pori wajah yang terasa panas. Motor melaju dengan kecepatan standar. Maklum, bapak yang mengendarai. Ia menjemputku. Sudah dua malam aku menginap di rumah kakak perempuanku. Kupikir agar aku mudah mobilisasi menuju sekolah yang jaraknya tak begitu jauh, dapat ditempuh berjalan kaki. Namun, tak dikira, ketika kemarin sore mengantarkan ta'jil ke rumah teman yang hanya berbeda gang, kakiku sudah tak kuat berjalan. Pinggangku kembali berguncang. Aku kesakitan. Dengan terseok akhrinya sampai juga di rumah. Alhasil, aku memang belum bisa memaksakan diri untuk beraktivitas kembali.

Pukul 2 siang, aku tiba di rumah. Sebelumnya, aku menjalani fisioterapi yang ke-2. Aku masih terus disuruh rutin untuk mengikuti terapi-terapi berikutnya, hingga entah berakhir di bilangan ke berapa. Aku hanya menjawab, iya, Mbak, saya akan datang kembali pada Senin, ba'da ashar, setelah beraktivitas di sekolah. Senyum setengah mengembang kusemai untuknya lalu bergegas pulang dengan Bapak.

Ponsel berdering. Rekanku, sesama pengurus komunitas menulis, menelponku. Ia sudah tahu keadaanku yang tengah tidak fit. Ia tanyakan kabar, lalu kujawab, ya seperti kemarin ceritanya. Belum ada yang berubah. Harus banyak istirahat. Jangan membawa beban berat karena akan mempersempit saraf pinggang yang berujung pada akibat fatal tak bisa berjalan.

"Mbak Desti, sakit lagi. Dosa Mbak Desti banyak banget," tuturnya lantang. Aku terjerembap. Setengah menohok hati lantaran kalimat itu. Kami sama-sama diam. Beberapa detik usai dalam kesenyapan lalu kujawab santai, "Iya, Jarwo, dosa Mbak banyak banget. Melebihi buih lautan. Tapi harus tetap disyukuri, Wo, insyaAllah dapat menggugurkan dosa-dosa Mbak. Yaa... lebih baik digugurkan di dunia, dibandingkan di neraka nanti," jawabku lalu tertawa kecil.

Gantian, hening tercipta kembali. Giliran Jarwo yang diam.
"Duuh... Mbak, apa kabar dosa-dosa saya, ya?" tanyanya polos. Tersirat nada cemas. Aku menyungging senyum untuknya di ujung ponsel dan menjawab, "Ya mana Mbak tahu. Disyukuri saja dalam keadaan sehat dan sakit. Sakit artinya ada dosa-dosa dunia yang berguguran."
"Iya, ya," jawabnya setuju. []


Seringkali aku berpikir dengan untaian sakit yang Allah beri. Ada nada-nada pengingkaran bahwa aku sudah menjaga semaksimal mungkin agar tubuhku fit dengan sederet agenda yang tanpa sadar ternyata mendzolimi diri. Aku sudah salah terhadap diriku sendiri hingga Allah turunkan aku sakit. Agar aku tertohok sejenak akan tarbiyah Allah. Pembelajaran yang mesti dipahami, diresapi, direnungi sebaik-baiknya. Tak sekadar lisan yang mengiyakan, tetapi juga hati dan perbuatan.

"Apa kabar dosa?"
Kalimat yang indah menurutku untuk hari ini. Dosa kita berkabar baikkah? Atau amat buruk? Sejauh manakah dosa yang sudah kita pikul. Sejauh manakah ia berlari? Sempatkah ia terhenti di satu titik lalu memutih tanpa cela? Kita tak tahu. Sudah sejauh mana ia berpacu.

"Apa kabar dosa?"
Kalimat yang membuatku diam. Merenung. Menciptakan hening.

"Apa kabar dosa?"
Kalimat yang memutarbalikkan pikiran dan hatiku. Makin bertanya pada diri, "Apa kabar dosaku? Sudah sejauh mana ia berlari?"
Semoga ia memutih perlahan sebelum aku kembali pada keharibaan. []


Bandarlampung, 19 Juli 2013

kutunaikan kembali "kewajibanku" menuliskan kamu: "kata berserakan dalam kepala."

Rabu, 03 Juli 2013

Ar Raihan Menangkan Lomba Menulis


Bandarlampung, Minggu (30/6) kabar baik untuk SMP IT Ar Raihan. Pasalnya, Zulfa Nurul Izzah—siswa SMP IT Ar Raihan—menyabet juara III dalam ajang Lampung Menulis Cerita Anak. Acara tersebut disandingkan Workshop Menulis Cerita Anak dengan pemateri Ali Muakhir, penulis aktif cerita anak, pemenang Adikarya Ikapi, dan telah menghasilkan 333   judul buku.
                                                                    
Perhelatan akbar itu diadakan Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Lampung di Perguruan Tinggi Umitra, Bandarlampung, yang berlangsung untuk kategori anak (di bawah usia 12 tahun) pada pukul 08.00—12.30, sementara kategori umum (di atas usia 12 tahun) pada pukul 13.00—17.30. Para pemenang lomba mendapatkan trofi, sertifikat, uang tunai, serta buku. Dalam perlombaan menulis cerita anak, Zulfa yang duduk di bangku kelas VIII, mengusungkan judul “Hujan Bernyanyi”. Adapun juara I dimenangkan Fetra Akriani dengan judul “Pepi Tak Mau Lagi Mengangkut Sampah”, sedang juara II oleh Betty Permanasari dengan judul “Si Moli yang Sombong.”

Ketua FLP Wilayah Lampung, Naqiyyah Syam, mengutarakan indikator penilaian lomba berdasarkan diksi, ejaan, penguatan karakter tokoh, serta unsur mendidik yang menjadi point utama menulis cerita anak. Para dewan juri terdiri atas Ali Muakhir sebagai pemateri sekaligus penulis cerita anak, Fadhila Hanun (penulis cerita anak asal Lampung), juga Naqiyyah Syam selaku penulis dan Ketua FLP Lampung.

Zulfa yang ditemui usai acara, mengungkapkan kegembiraannya lantaran mampu mengalahkan sekian peserta yang usianya jauh di atasnya. Ia tak menyangka akan menjadi pemenang sebab dirinya masih termasuk penulis pemula. Alumnus reporter cilik Lampung Post yang pernah mewawancarai Wakil Presiden, Budiono, menyampaikan bahwa menulis ialah milik siapa pun.  Lanjutnya, "Kiat-kiat menulis yang utama ialah mencari tema semenarik mungkin, namun mudah dipahami semua kalangan. Pembuatan judul yang menarik juga perlu sebab orang akan membaca lebih lanjut bila sudah tertarik dengan judul yang kita buat," paparnya jelang senja.[]




catatan foto: sebelah kiri Destiani (Ketua Pelaksana Acara), Naqiyyah Syam (Ketua FLP Lampung), Zulfa Nurul Izzah (Pemenang Juara III), Betty Permanasari (Pemenang Juara II), Fetra Akriani (Pemenang Juara I), dan paling kanan Ali Muakhir (Penulis Cerita Anak)











Membedakan Sifat-Sifat dan Ragam Bahasa

Silakan pahami narasi-narasi berikut sehingga Saudara dapat memahami perbedaan sifat-sifat bahasa! 1. Fakta sejarah bahwa orang atau kelompo...