Kamis, 30 Juli 2015

MOS SMP IT Ar Raihan Bentuk Karakter Siswa


BANDARLAMPUNG - Masa Orientasi Siswa (MOS) tengah berlangsung di sekolah-sekolah negeri dan swasta. Tanpa terkecuali SMP IT Ar Raihan yang terletak di Purnawirawan, Gunung Terang. Sejak Selasa (28/7/2015) para siswa baru mengikuti MOS penuh antusias. Tiada atribut aneh-aneh yang dipakai. Berseragam rapi dan mengenakan nametag, para siswa baru ini dengan serius mengikuti sesi demi sesi kegiatan MOS.
     
dok.pelepasan kapsul impian
Banyak hal yang didapat para siswa kelas VII Ar Raihan. Mereka diperkenalkan salat dhuha yang menjadi salah satu aktivitas wajib di Ar Raihan. Tak hanya itu, sekolah yang berbasis keislaman, bahasa Inggris, dan teknologi ini, menghadirkan dua alumnus Ar Raihan yang sempat mencicipi studi di Amerika dan Jepang. Menurut penuturan koordinator acara, Julianti Mustika, dengan dihadirkan para alumnus, diharapkan dapat membentuk karakter siswa sehingga mereka semangat belajar, menjadi muslim yang cerdas meraih cita-citanya.
      Selain itu, sesi perkenalan sembilan ekstrakurikuler Ar Raihan menambah kesemarakan kegiatan MOS. Para siswa diperkenalkan berbagai ekskul yang acap menjuarai perlombaan, seperti futsal, karate, dan english club. Siswa baru diberi kebebasan untuk mengikuti berbagai ekskul sesuai kehendaknya. Sebelum penutupan MOS, satu agenda luar biasa yang tak tertinggal, yakni pelepasan kapsul impian. Kapsul impian berupa balon helium yang diisi sederet cita-cita siswa. Dengan harapan, ketika mereka melepaskan kapsul impian menuju langit, setinggi itulah cita-cita yang dicapai. “Semoga MOS tahun ini menjadi momentum untuk menapaki jalan pendidikan di Ar Raihan demi meraih cita-cita yang diinginkan,” ungkap Ketua Pelaksana MOS, Angga Prayoga. []   

Rabu, 08 Juli 2015

Gallery Ekskul Jurnalistik Sekolah Islam Terpadu Ar Raihan

dok.desain grafis

dok.penyerahan buletin edisi ke-2
dok.kelas desain grafis


dok.tutorial pembuatan logo

dok.evaluasi buletin ke-2
dok.sesi testimoni bersama Kepala Sekolah


Mereka Merindukan Kita

Hari itu jelang senja. Sisa-sisa hujan telah menipis. Rerintik hanya terdengar satu-satu, berdenting dengan lembut. Di serambi rumah, ada yang tengah bercakap-cakap. Suara parau bersahut-sahut. Yang satu menatap lurus ke arah jalan, sedang satunya sesekali menatap lawan bicaranya sambil melirik kerut-kerut wajah yang tak lagi muda.

Seperempat jam obrolan masih hangat. Mereka berbincang bukan karena lama tak pernah saling berbagi kenang. Namun pada hari ketiga itu, ada rasa yang tiba-tiba muncul dan tersembul begitu saja. Mereka bercakap tentang kisah beberapa puluh tahun lalu. Tentang anak-anaknya yang dulu hanya sanggup berkata, "Ibu, bapak, belikan aku ini. Ibu, bapak, aku ingin makan ini". Sesekali kedua orangtua itu tertawa meski sepertinya masing-masing menyimpan getir rindu yang diam-diam bertalu-talu.

foto: http://infobelajar25.blogspot.com
Obrolan berlanjut, ketika sang ayah mengulang kembali pengalaman sang putri jelang pernikahan. Ayah tampak repot, menyiapkan undangan, tamu kehormatan, dan segala perlengkapan dalam resepsi. Ada tawa kecil lagi sebagai jeada obrolan kedua orangtua. Ibu mendekatkan duduknya ke
arah ayah. Direngkuhnya jari-jemari yang kerut itu. Diletakkannya kepala di pundah ayah. Ayah menyahut dan mendaratkan jemarinya di kepala ibu. Hangat dan tenang, itu rasa yang ibu dapatkan.

Obrolan kembali berlanjut, ketika giliran ibu yang bercerita. Kali ini, ibu lebih berapi-api ketika menceritakan putra pertamanya saat mendekati seorang gadis hingga berani melamar gadis tersebut. Saat itu, ibu dan ayah tak punya modal lebih untuk menikahkan putranya pada gadis yang telah disetujui. Mereka berdua bermodal doa dan restu serta keberanian. Ijab dan qabul diterima. Satu sunnah terjalankan.

Hening....
Mata ibu berpendar pada beberapa sisi teras. Memerhatikan sisi-sisi serambi yang kini kosong. Matanya seolah tengah menyampaikan sesuatu seperti dulu ketika anak-anaknya acap berkumpul di teras itu. Bergelak bersama, memainkan satu permainan yang menarik. Tak jarang, yang kalah sering menangis sementara ibu segera berlari dari dapur menuju serambi. Ibu mengusap air mata sang bocah kecil, seolah ibu tak tega bila air mata bening itu menetes karena sikap jahil sang sulung.

Tertawa getir hadir....
Ada tawa yang hadir tapi terasa getir. Seperti ada serak yang menyisipi. Lebih tepatnya, ada rindu yang bertalu-talu.

"Sekarang anak kita sudah dewasa. Mereka telah berhasil melahirkan generasi kita. Cucu-cucu kita banyak," ujarnya, lebih mengeratkan lagi jari-jemarinya.
"Ingat tidak, ketika cucu kita berlari-lari lalu berteriak bahagia, persis seperti si sulung ketika kecil," sahut wanita di sampingnya.
"Betul," jawabnya singkat, kali ini tenggorokannya seperti ada yang mencekat untuk terus lanjutkan tawanya yang getir.

Senja hampir berlalu....
Cerita itu kembali di ulang dan ulang. Persis beberapa hari lalu ketika ayah dan ibu saling sahut-sahutan seolah siapa yang paling ingat kisah-kisah bersama anak-anaknya dulu.

Senja hampir berlalu....
Di tempat sama, di serambi yang genap lebih dari dua puluh tahun, lengang--tak seperti dulu dipenuhi bocah-bocahnya bersama teman sepermainan dan berbagai mainan yang mereka sukai.

Senja hampir berlalu....
Di tempat yang sama, di waktu yang sama, hanya ayah dan ibu kembali mengulang cerita. Cerita yang sama. Tentang masa kecil anak-anaknya yang kini tengah meniti perjalanan hidup bersama generasinya. Di tempat yang sama dan cerita yang sama, ayah dan ibu, sama-sama menahan rindu. Sama-sama menahan cumbu yang ingin sekali tercurah pada bocah-bocah kecil miliknya dulu. Hanya kembali mengulang cerita yang sanggup dibabarkan sebagai ganti keinginan mereka ingin bertemu. Mereka tengah merindukan kita....



-untuk kalian, yang selalu kusimak bahasa rindu pada anak-anakmu-

Selasa, 07 Juli 2015

Ramadan Tak Sekadar Ibadah Vertikal

Sudah lebih dari separuh Ramadan kita melalui. Di bulan inilah, pastinya jauh sebelumnya, kita telah mematok targetan apa saja yang ingin dicapai. Tilawah khatam hingga sekian, memperbanyak salat malam, menambah hafalan Alquran, dan masih banyak lagi ibadah lainnya yang memenuhi waktu-waktu selama Ramadan. Sebab tiadalah merugi bagi hamba yang dengan senang hati menjalani ibadah di bulan ampunan-bulan Alquran ini. Dan pastinya, di bulan ini kita diwajibkan untuk berpuasa sebulan penuh. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.”
(QS. Al Baqarah: 185)

http://sdoost.deviantart.com/art/Ramadan-Kareem-384335633
Nah, jelaslah bahwa di bulan Ramadan ini adalah momen dalam pembentukan diri. Yang dulu mungkin salatnya masih bolong-bolong, sekarang banyak yang ke masjid, semoga jadi tersentuh hatinya dan gerak tubuhnya turut ke rumah Allah. Yang sebulan "ngos-ngosan" khatam Alquran, semoga bisa khatam hingga beberapa kali. Semoga dipermudah Allah.

Nah di bulan ini juga nih, biasanya para pekerja kantor, terlebih yang berprofesi sebagai guru, biasanya lebih banyak dapat jatah liburan nih. Karena siswa libur, ya otomatis gurunya juga ikutan libur. Asyik, banyak hal yang bisa dilakukan. Ibadah vertikal (habluminallah) insya Allah dapat lebih leluasa berjalan dan satu lagi, bisa lebih melakukan ibadah horizontal (habluminannas). Mengapa demikian?

Baiklah, kita melihat riil yang ada. Para pekerja baik kantoran atau pun guru, di hari-hari biasa sebelum Ramadan, mereka akan menghabiskan hari-harinya dengan rutinitas pekerjaan. Dari pagi hingga senja. Belum lagi malam masih berkutat dengan perangkat dan media pembelajaran yang mesti digarap. Akan tetapi bila Ramadan tiba, cukup "bernapaslah" dari tumpukan pekerjaan sehingga waktu yang tersisa dapat diisi dengan hal lain yang mungkin cukup sulit dilakukan.

Sebagai contoh, saya adalah guru di sekolah bertaraf inernasional dan islami yang ada di Bandarlampung. Sehari-hari, jauh sebelum subuh, mata sudah harus melek. Menyiapkan segala sesuatu untuk keperluan mengajar. Belum lagi menyiapkan sarapan untuk keluarga (red: orangtua). Pukul 7 kurang, saya harus sudah berangkat. Bila telat satu menit saja, saya menerima konsekuensinya berupa punishment sesuai ketentuan. So, saya selalu mencoba untuk tidak melakukan kesalahan apa pun di sana. Nah, saat liburan Ramadan yang ternyata sekaligus liburan sekolah, benar-benar golden time bagi saya. Saya dapat membersamai orangtua lebih lama. Quality time yang saya miliki bersama mereka jauh lebih banyak dibandingkan sebelumnya.

Bila biasa, saya hampir tidak pernah memasak karena bekerja hingga jelang senja, kini saya dapat menyajikan hidangan, bereksplorasi di dapur, menyiapkan bukaan untuk ibu dan bapak. Ya, meskipun bukanlah menu makanan ala barat seperti yang tengah menjamur di restoran-restoran terkenal. Menyajikan menu sehari-hari untuk mereka selama Ramadan ini, semoga menjadi kebahagiaan tersendiri. Dan saya yakin, begitu juga dengan rekan sekalian.

Sudah sempat dibahas sejenak tentang ibadah vertikal, yakni ibadah yang langsung berhubungan dengan Sang Rabb melalui ibadah salat, berpuasa, dan sebagainya. Sementara ibadah horizontal yakni ibadah yang lebih memfokuskan pada hubungan habluminannas (sesama manusia). Dan dalam Ramadan ini, kita terutama saya dapat melakukan keduanya. Hal yang amat jarang saya bisa repot-repot menyiapkan menu makan untuk mereka. Hal yang amat jarang, bisa banyak berbenah dan membantu mereka dari biasa. Ya, inilah bentuk birrulwalidain (berbuat baik) kepada orangtua. Salah satu cara membahagiakan mereka.

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا . وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنْ الرَّحْمَةِ
وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا .الإسراء 23- 24

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." (Al Isra: 23)

Selain berbuat baik pada orangtua, ada hal lain yang dapat dilakukan, yakni menghubungi teman-teman yang mungkin sudah cukup lama tidak bersua. Sekadar menghubungi melalui SMS, BBM, atau sosial media lainnya. Dengan begitu, silaturahmi akan terasa hangat dan dekat. Dan pastinya, teman nanjauh akan merasa diperhatikan oleh kita.

Eits, ada hal lain juga yang bisa kita lakukan selama Ramadan, yakn dengan banyak membaca buku. Khusus di bulan Ramadan, lebih baik kita perbanyak buku islami yang nantinya bisa kita sharing bersama dengan teman-teman pengajian. Selain menambah wawasan, juga menebar kebaikan sesama muslim lainnya. So, hal yang mesti dipahami di sini adalah, Ramadan memang lebih utama memperbanyak ibadah pada Sang Khalik atau dengan kata lain secara vertikal, berhubungan langsung dengan-Nya. Akan tetapi, selama Ramadan pula, kita dapat mengisi waktu-waktu berharga demikian bersama keluarga. Semoga kita dapat memanfaatkan Ramadan tersisa ini dengan sebaik mungkin. Ramadan, tak sekadar ibadah vertikal yang bisa kita geluti, tetapi juga horizontal antarsesama. allahualam. Semoga bermanfaat. []






















Kunamai ini Rindu

Ketika kutuliskan kalmat-kalimat ini, jari-jemari rasanya mengerjap-kerjap. Ada letupan hati yang ingin segera tersampaikan melalui tulisan. Ada buah pikir yang juga tak sabar ingin mendahului isi sang hati. Lama-lama kusabarkan diri tak ingin penuhi lembaran diary. Menuliskan namamu yang mungkin 'kan kembali menjadi kenang seperti yang sudah berlalu. Sabar-sabar, aku memiuhkan batinku meski ada bumbungan ingin dan ingin segera.

Diary di dalam lemari hitam yang usianya sudah tua. Buku yang berhalaman tebal itu, dengan sengaja aku tak menoreh-torehkannya. Aku tak ingin ketika kelak membaca tulisan-tulisanku, ada sedih yang menggerus memoriku lagi meski ada sedikit pelajaran yang dapat kupetik.
foto: http://tolibintolibin.blogspot.com

Tugas "sekolah" menjadi bahan lumatan selama liburan. Bukan hal yang terpikir sebelumnya adalah banyak membaca karena diriku masih minim ilmu, melainkan aku harus berkutat dengan perangkat pembelajaran guna mendidik anak-anak bangsa di tahun pembelajaran berikutnya.

Ada yang menarik-narik perhatianku tatkala tumpukan buku di lemari kian meninggi sehingga memaksa buku diaryku terhampas dan jatuh! Aku tersontak. Kulirik sesaat. Ah, ada desahku yang mencuat kembali. Keinginan hati yang kian tinggi.... Aku ingin ratapkan hatiku pada lembaran-lembaran diary. Maafkan bila ada air yang lancang jatuh begitu saja dari sudut mata.

Hampir dua bulan, aku menutupi inginku meski rasa amat bertalu-talu ingin bersama. Dua bulan aku menanggung rasa tentang kisah yang sempat membuat hati terjerembap: Aku memiliki rasa! Rasa yang semestinya aku diamkan dan leburkan lalu lenyap begitu saja. Dua bulan aku selalu mencari cara bagaimana langkah agar degup-degup kabarmu tak kudapatkan lagi. Meski lagi-lagi tak sengaja, aku mendapatkannya juga. Ah, memilih diam adalah cara teremasku menyimpan namamu.

Hatiku, tak ingin diam juga. Jemariku ingin mematuk-matuk di keyboard layar persegi panjang ini. Menuliskan namamu, rasanya berat. Menjalinkan kisah menjadi paduan paragraf, tetiba malah sedih yang hadir. Aku tak tahu, apakah ini ekspresi dari seorang wanita yang takut cintanya ingin disampaikan. Wanita yang dimahkotakan dengan rasa malu yang amat berlapis-lapis. Wanita yang hanya mampu menahan gejolak rasa yang kadang meletup, kadang lenyap dengan segala pengalihan yang hebat. Ah, wanita itu hebat!

Namamu tiba-tiba menyeruak kembali setelah sebelumnya aku berhasil menekan sekuat mungkin rasa ini. Dia, menyebut namamu seenak saja, sementara kikuk-resah-rasa timbul kembali. Ah, aku sudah menghindar. Aku sudah meminta pada Tuhan agar enyahkan saja engkau. Agar Tuhan enyahkan senyummu yang sempat terekam dua mataku.

Tapi Tuhan punya segala cara. Namamu kembali disebutnya. Namamu kembali lekat di hati. Dan kini aku bersusah payah kembali tak hirau bayang-bayangmu yang sempat tercipta. Tapi memang, hati siapa yang berkuasa, kecuali Tuhan. Dan kini, saat jari-jemari memencet tuts demi tuts huruf ini, tiada tujuan lain dariku. Ah, ini semua mungkin yang bernama rindu: berusaha menahan tak memaktubkan namamu, akhirnya kini dalam hitungan waktu yang cepat, aku menjalin paragraf demi paragraf ini. Ah, maafkan hatiku. Aku tak ingin membuat kau bersusah kembali menghapus kisahmu yang mungkin layak untuk tak diingat. []
 



Membedakan Sifat-Sifat dan Ragam Bahasa

Silakan pahami narasi-narasi berikut sehingga Saudara dapat memahami perbedaan sifat-sifat bahasa! 1. Fakta sejarah bahwa orang atau kelompo...