Selasa, 07 Mei 2013

Si Kembar, Lala dan Lili

“Kenapa cuma Lili yang dikasih coklat?” tanya Lala membanting tubuhnya di kursi. Air matanya mulai berjatuhan satu-satu. Rengekannya membuat Lili, saudara kembarnya, ikut bersedih. “Sudah, diam-diam! Nanti ibu belikan satu coklat lagi buat Lala,” ibu menenangkan. Melihat air mata kedua putri kembarnya, ibu jadi panik. Sementara ibu harus melayani para pembeli yang memenuhi warung dagangannya. “Tapi Lala mau sekarang!” pinta Lala sesenggukan. “Ini ambil coklat Lili aja, La,” Lili memberikan coklat kesayangannya dengan perasaan berat. Air mata Lili ikut berjatuhan, membasahi pipi kanan-kirinya. “Nggak mau! Aku nggak mau coklat dari kamu! Aku mau dari ibu!” tolak Lala. Lili menangis sejadi-jadinya. Sementara ibu makin bingung. Warung dagang yang dipenuhi para pembeli itu, mau tak mau ibu harus melayani orang-orang yang berhulu-halang datang ke warung. Suasana riuh. Air mata Lala sudah banjir. “Ibu pilih kasih sama Lala! Kemarin Lala dapat nilai bagus dari Bu Venty, ibu nggak kasih Lala coklat. Giliran Lili yang dapat nilai bagus, ibu langsung belikan Lili coklat. Lala sebel sama ibu!” Lala menangis tersedu-sedu lalu pergi meninggalkan ibu. “Lala sayaaang!” seru ibu. Sementara Lili, ikutan menangis sejadi-jadinya. *** Lala dan Lili adalah saudara kembar. Usia mereka beranjak lima tahun. Baru beberapa bulan mereka mengenyam bangku sekolah dasar di SD Negeri 1 Telukbentung. Antara Lala dan Lili, Lili terlebih dululah yang lahir ke dunia. Selisih sepuluh menit, barulah ibu melahirkan Lala. Berdasarkan adat suku yang dimiliki keluarga Lala dan Lili, barang siapa anak kembar yang lahir terlebih dahulu maka ia akan menjadi adik. Samentara bayi kembar yang lahir terakhir, akan menjadi adik. Menurut silsilah, kakak mempersilakan adiknya untuk melihat dunia lebih dulu baru disusul kakaknya. Hampir tiap hari, Lala dan Lili bertengkar. Tak lain yang diributkan ialah masalah pakaian, permen, coklat, atau sikap iri yang mereka miliki. Hampir tiap hari pula, ibu dan ayah mengelus-elus dada menghadapi kedua putri kembarnya. Ayah yang hanya bekerja sebagai buruh pasar, hanya bisa menemani kedua putri kembarnya bermain di sore hari. Sementara ibu sibuk dengan para pembeli di warungnya. Ria adalah putri sulung ibu-ayah. Ia kini duduk di bangku SMP kelas VIII. Ria penuh perhatian dengan kedua adik kembarnya di tengah-tengah kesibukan ayah dan ibunya yang membanting tulang untuk mencari nafkah keluarga. “Sini main dengan Mbak, sayang,” bujuk Ria ketika sore telah datang. Lala yang masih asyik mengulum permen lolipopnya, tak mengacuhkan ajakan kakak perempuannya. Sementara Lili, ia segera memeluk Mbak Ria. Mereka bermain berdua, penuh canda. Melihat keakraban itu, Lala merasa dibiarkan sendiri oleh Ria dan Lili hingga akhirnya ia menangis. Ria bingung. Menurutnya, tanpa sebab, Lala menangis sendiri. Hal itu membuat ibu sempat marah-marah padanya. *** Siang itu, Lala menghampiri ibunya dengan perasaan penuh bahagia. Kebetulan para pedagang sedang tidak ramai di warung. Senyum Lala sumringah. Langkah kakinya pun bergemericik, berayun, sambil membawa kertas ujiannya. “Ibuuu!” seru Lala. Ibu yang baru saja menyusun barang belanjanya, menanggapi panggilan Lala dengan senyuman. “Ibu, lihat dong nilai ujian Lala,” Lala cengar-cengir memberikan selembar kertas ujian berhitungnya. Ibu melirik kertas ujian Lala. Terlihat angka 9 terpajang di kertas. Senyum ibu mengembang. Lala makin girang meliht ekspresi ibunya. “Ibu. Kemarin ibu bilang kan, kalau di antara aku dan Lili, siapa yang dapat nilai ujiannya paling bagus, ibu mau belikan sepeda,” tagih Lala. Ibu menggaruk-garuk kepalanya. Seolah-olah mengingat kata-kata yang telah diucapkannya. “Oh, iya, ya?” tanya ibu pura-pura lupa. Lala manggut-manggut. Gigi-gigi ompongnya menyeringai lalu Lala tertawa geli. “Apa Bu? Lala mau dibelikan sepeda? Lili juga mau, Bu. Lili juga yah, Bu?” sambar Lili dengan mata berbinar. “Nilai ujian Lili juga nggak jelek, Bu. Niiih... lihat dong,” Lili memamerkan kertas ujiannya. Di situ terpampang angka 8. Lili cengar-cengir. “Jangan, Bu! Biar Lala duluan saja. Aah... kamu, Li. Kan kemarin ibu bilang, siapa yang dapat nilai paling bagus, akan dikasih hadiah. Aku sama kamu, kan nilai aku yang paling bagus,” jelas Lala dengan nada tinggi. Lili mencibir Lala lalu bersiap-siap menjawab, “Aku juga dapat nilai bagus, Lala! Nih, lihat nih!” Lili menunjukkan kertas ujiannya di depan mata Lala. “Iya, aku tahu. Tapi sesuai kesepakatan dong! Ibu mana ada uang kalau harus beli sepeda dua!” bentak Lala. “Tapi aku juga ingin punya sepeda, La. Biar aku bisa berkeliling sama Sita,” jawab Lili tak mau kalah. Ibu geram melihat kedua putri kembarnya saling iri dan ribut. Tanpa memedulikan para pembeli yang satu per satu datang, ibu memarahi kedua putrinya. “Heii! Kalian ini selalu ribut. Bentar-bentar bertengkar. Masalah kecil jadi besar! Lama-lama ibu bisa mati gara-gara kalian!” bentak ibu. Wajah ibu pada siang itu benar-benar berubah. Ibu sangat seram. Tak pernah ibu marah hebat seperti itu. Tak pernah ibu mengeluarkan nada tinggi untuk kedua putri kembar bungsunya. Tak pernah pula ibu mengeluarkan kata-katanya yang membuat Lala dan Lili menangis mengaduh-aduh. Lala dan Lili menangis. Dengan sekejap, Ria datang menenangkan. Memeluk kedua adik bungsunya. *** Malam tiba. Terasa hambar. Ibu mneyiapkan masakan spesial kesukaan Lala dan Lili: lele goreng dan bening bayam. Namun, tak ada satu suara pun yang keluar dari mulut ibu. Diam adalah hal yang ibu lakukan setelah ia marah. Lala dan Lili dibuat bingung. Mereka pun tak banyak bicara. Lala dan Lili hanya bisa menundukkan wajah. Menunjukkan rasa bersalah yang amat besar. “Ayo minta maaf, Lala-Lili,” Ria angkat bicara. Kedua gadis kecil itu masih saja diam. Tangan mereka saling merangkul erat. Tubuh mereka saling berdekatan, hampir tak berjarak. “Lala-Lili,” ayah tersenyum lalu mendekati putri-putrinya. “Ingat pesan ayah, sayang. Kalau kita salah, kita wajib meminta maaf. Jangan pernah merasa sombong atas kesalahan yang kita lakukan,” jelas ayah merangkul kedua putrinya. Lala dan Lili manggut-manggut. Lala mendekati ibu lalu disusul Lili. Mereka berdua berhenti tepat di depan ibu. Ibu diam, tak ada sekata pun yang ia ucapkan. “Maafkan kami, ibu,” pinta Lala dengan suara pelan. Lala menundukkan wajahnya, setengah meringis menahan tangis. “Iya, Bu. Maafkan Lili juga. Kami janji nggak akan ribut lagi,” tambah Lili. Suasana makin hening. Amat beda dengan hari-hari sebelumnya yang selalu penuh canda. Ibu menghentikan aktivitasnya. Menatap kedua putrinya penuh haru. Ibu merengkuh Lala-Lili dengan kasih sayang yang amat dalam, “Lala-Lili, putri-putri yang ibu sayang. Maafkan ibu juga yang sering ingkar pada kalian. Maafkan ibu juga yang tak bisa menahan marah. Maafkan ibu juga sudah membuat kalian takut pada ibu,” akhirnya ibu bersuara. Nadanya melirih, bergetar. Ada sedih yang ditahannya hebat. Lala dan Lili terisak. Jari-jemari mereka saling bersahut lalu memeluk tubuh ibu. Ibu menyunggingkan senyum. Lala dan Lili merasa lega akhirnya kemarahan ibu padam. Sedangkan ayah dan Ria ikut senang. Tak lama dari itu, makan malam spesial, mereka lahap penuh suka-cita. Malam kembali renyah seperti biasa. Seperti yang sudah-sudah mereka lewati. []

Membedakan Sifat-Sifat dan Ragam Bahasa

Silakan pahami narasi-narasi berikut sehingga Saudara dapat memahami perbedaan sifat-sifat bahasa! 1. Fakta sejarah bahwa orang atau kelompo...