Senin, 17 April 2017

Menggamit Ide dari Sekitar

www.lampost.co

Hai, salam menulis dan lanjut lagi menulis!

Postingan saya kali ini ingin berbagi cerita sedikit saja. Ya, insya Allah hanya sedikit saja, hehe.... karena harus menyiapkan materi untuk ujian tengah semester besok pagi. 

Kali ini, saya ingin sharing terkait penerbitan cerpen saya di Lampost. Sebenarnya ini bukan kali pertama cerpen saya dimuat di koran yang sudah mentereng nama di Lampung. Dulu... sekali, pernah dengan kegembiraan saat remaja di bangku SMA, tulisan saya sudah berhasil hiasi surat kabar dan majalah islami sekitar di tahun 2005. Selebihnya, kabar hilang begitu saja. Eits, saya tidak akan panjang lebar menyampaikan ini, karena malam kian larut, angin kian menelusup bebas di pori badan.

Singkat cerita, saya mengirimkan cerita pendek dengan judul Mamak dengan Sekarung Rindu ini sekitar satu bulan lebih yang lalu. Saya akui, untuk nembus tulisan di Lampost cukup bersaing. Mengapa? Karena beberapa penulis nasional sering kali wara-wiri di Lampost. So, harus menanti dengan sabar bahwa proses menulis dan kegembiraan tulisan untuk segera terbit itu tidaklah instan. Setuju, ya?

Certita ini sebenarnya merupakan kisah nyata yang dialami tetangga saya di perumahan yang memang benar-benar kurang dipedulikan oleh anak-anaknya. Mereka sibuk mengejar dunia yang entah sampai kapan bisa mereka genggam. Hingga akhirnya memang, ibu cukup lansia itu senantiasa meruah-ruahkan kesedihannya padi kami: saya dan suami. 

Nah, itu sekelumit cerita. Untuk lengkapnya, saya akan lampirkan cerpen saya yang dimuat di Lampost edisi Minggu, 16 April 2017. Dan satu keesimpulannya adalah bahwa ketika kita menulis sebenarnya tidak jauh-jauh dari kejadian yang kita, tetangga, saudara, bahkan teman kita. Tinggal bagaimana cara kita memoles cerita dengan diksi, imaji, dan kerapian ejaan, pastinya.

Singkatnya, teruslah menulis, Menulis itu asyik. Tidak sekadar eksis, tetapi kamu juga melepas kebaikan melalui tiap kata yang kamu sampaikan. 
Semoga artikel ini bermanfaat, ya... 

Selamat beribadah dengan kata-kata. 

Cerpen Mamak dengan Sekarung Rindu
Karya Destiani 

Siapa yang tak mengenal Mamak Ratni? Wanita yang sehari-hari memikul sekarung rindu. Bumbungan rasa itu, ia bawa ke mana-mana. Ia tahan beban besarnya saat di ruang tengah, pasar, dapur, berbincang sejenak dengan tetangga sebelah hingga kembali di kasur tipis tempat peraduannya menumpahkan luka. Air matanya meleleh. Saat tangisnya meruah-ruah, ia lepas ikatan karungnya yang tetiba berubah renjana. Setibanya besok, ia menimang kembali dengan genap bercampur duka.


Sudah banyak tetangga meminta mamak membuang dentuman rindu yang siap menghantam. Namun, dengan setangkup yakinnya, tiga buah kesayangannya pasti kembali di sisinya.
“Anakmu tak pernah datang lagi,” ucap salah satu tetangga yang tak sekali-dua kali membawakannya semangkuk sup panas. Memiuh-miuhkan sesendok demi sesendok lalu disuapkannya di mulut Mamak Ratni. Mata Mamak Ratni sedikit berbinar. Rasa kuahnya persis buatan si bungsu kesayangannya, Maya. Ia meminta disuapkan kembali. Lagi.
“Ini buatan Maya? Enak. Takaran bumbunya pas,” kata mamak. Ia memberikan isyarat disuapkan kembali. Kunyahan di mulutnya penuh.
“Mak harus ikhlaskan anak-anak. Mereka sudah dewasa. Mereka sedang memburu dunia.” 

Mamak Ratni diam. Ia menahan kunyahan sup yang dilumatnya. Mata cekungnya kian jelas. Senyumnya menyembul sedikit. Tapi kali ini sedih sepertinya meronta lagi. Sebelum dikunyah habis sup itu, rembesan air bening meleleh. Suara serak dari tenggorokannya mulai terhuyung ke telinga.
“Anakku pasti datang. Tidak mungkin buah melupakan tempat dia bermula,” optimis Mamak Ratni kemudian ia setengah terkikik. Tetangganya itu mengernyit pelan dan memahami betapa rindu mulai menyiksa perempuan renta itu.
*
Mamak berpikir keras. Sofyan, Dendri, dan Maya. Tiga nama itu yang dinanti. Tiga idiolek anak-anaknya dinanti telinganya. Wajah-wajah itu membayang. Teringat dua puluh tahunan lalu, lengannnya ditarik-tarik tiga anaknya berebut bermain tali. Tawa-tawa kecil mereka saling menyahut. Manyunan bibir-bibir mungil tak pernah dilupa Mamak. 

Sedang kini, tak ada yang mencium takzim tangan—seperti dulu—saat ketiga anaknya berpamitan berangkat sekolah. Mungkin karena keriput-keriput kering itu mencuat. Atau mungkin, rambut putih dan pandangan mata mengabur, yang menjadi beban pikiran akan menyusahkan hidup anak-anaknya.
Mamak Ratni masih menanti. Di tempat yang sama dengan ikatan buncahan rindu yang menjadi dan terus merogoh relungnya.
*
Suatu ketika, Mamak Ratni sedikit menyombong. Betul, apa katanya pada tetangganya satu itu. Buah takkan lupa di mana ia bermula. Putri bungsunya, Maya, menemuinya. ID card-nya menggantung melingkar di leher jenjangnya. Namanya tertera jelas sebagai wartawan di koran Sumatera.
“Maaf, Maya baru bisa datang. Mamak apa kabar?” jemari halus itu meraih telapak tangan mamak, menciumnya penuh kelembutan.
“Syukur kamu masih ingat mamak, May,” mamak melirih. Maya tersenyum simpul. Ia membuka dua bungkus nasi yang dibelinya di rumah makan pinggir jalan.
“Makan, Mak,” disodorkannya sebungkus nasi-ikan asam pade.
“Mamak rindu masakan Maya.”
Maya membuang napas. Tangannya sudah siap menyuapkan sesendok nasi, menjadi enggan.
“Maya sibuk liputan, Mak. Maafkan Maya dua minggu ini tidak pulang. Semoga Mamak maklum,” jelas Maya lalu setengah memburu suapan agar segera ludes.
“Sebentar lagi Maya pamit, Mak,” katanya, setelah membuka satu pesan di ponsel canggihnya, “masih harus ke luar kota,” tambahnya.
“Baru saja bertemu gadis mamak.”  Mamak meneguk segelas air hingga tandas. Rupanya, rindu menyedot segala cairan di tubuh mamak. Mamak memminta diambilkan sebotol air. Ia meraih minumnya lalu diteguknya hampir habis. Kali ini minum bukan untuk membayar kerontang di kerongkongannya. Ada sedih dan luka yang mesti ditutupi. Ada air bening mengumpul di sudut mata dan siap dilesatkan jatuh ke mana saja.
*
“Mamak harus bisa ikhlaskan anak-anak,” ucap Runtah untuk kesekian kali. Ia masih setia menemani kesedihan Mamak Ratni. Ya, dua mata itu ditemui Runtah masih sama dengan dua minggu lebih beberapa hari lalu. Ketika Mamak Ratni merindukan sosok-sosok ketiga anaknya.
“Anakku Maya dua minggu lalu ke sini. Menyuapi makan dan mencium tanganku. Tapi sekarang....” kata Mak Ratni terputus. Ikatan tali rindunya kembali kencang. Tubuh kuyunya hampir tak kuat menopang.
“Mamak harus kuat. Nggak baik terlalu banyak pikiran,” nasihat Runtah, “minum ini,” Runtah menyuruh Mamak Ratni segera meminum rebusan temulawak. Sakit maag Mamak Ratni akhir-akhir ini menyiksa. Tapi bagi mamak, rindunya jauh lebih tajam dibandingkan sakit lambungnya itu.
Mamak sempat malu, ia pernah menyombongkan diri bahwa anak-anaknya akan menemui dan menghiburnya. Seharusnya, sejak dulu, Mamak Ratni harus bisa membesar-besarkan hati sebelum anak-anak bujangnya meminang wanita. Seharusnya, Mamak Ratni menyiapkan sepotong daging itu untuk belajar ikhlas bahwa istri dari kedua lelakinya terlalu mengikat batasan untuk menemui tempat rahim mereka ke dunia. Mamak merindu. Rasa yang tak bisa tersampaikan, begitu mengilu.
Dua anaknya, Sofyan dan Dendri tak pernah mengabari di mana mereka. Sempat sekali. Itu pun dua bulan lalu melalui percakapan singkat di ujung telepon. Mereka hanya menyampaikan kalau belum sempat menemui sang mamak. Urusan pekerjaan merongrong waktu mereka. Istri mereka pun, tak ada yang merajuk datang dan menghibur. Semua seperti asing. Seperti dulu, sebelum mamak tahu anak-anaknya memiliki tambatan hati.
*
Dari kesekian anaknya, mamak menaruh harap pada Maya. Mudah bagi mamak meminta Maya tetap di sisinya. Bila pun Maya menikah, mamak akan pinta pada calon suami Maya agar mereka tinggal bersamanya. Toh, mamak pikir, dirinya takkan lama lagi hidup. Mamak tak mau sekarung rindu itu membunuhnya. Mamak sudah keberatan. Mau mamak lepas dan tidak ingin ia ikat lagi di pundaknya. 

Mama mencari Maya. Tiga minggu tak ada kabar. Mama penasaran, liputan macam apa yang dikerjakan putri kesayangannya. Lagi pula, mamak ingin tahu di mana tempat Maya bekerja.
Mamak ingat satu nama surat kabar yang tertera jelas di tanda pengenal Maya. Mamak nekat. Ia sudah tak sanggup saban pagi harus menimang rindunya sebelum ia gendong di bahunya. Tubuhnya bungkuk gegara rindu sialan itu. Rindu paling jahat menusuk-nusuknya.
“Izinkan saya melepas rindu. Saya sudah tidak sanggup,” kata mamak saat tiba di muka kantor Maya. 

Perempuan itu menyeret kakinya. Ia sedikit mengencangkan tali ikatannya agar tidak merenggang meski sebentar lagi mamak akan mengurai rindunya di depan Maya. Mamak tak ingin memupuknya kembali. Tidak akan mau lagi.

Hening. 

 “Maaf, Maya tidak pulang-pulang, Mak,” imbuh Maya pada perempuan itu. Ada yang mengepul di udara, seperti tarian awan. Mamak terbatuk-batuk. Ia tak biasa menghirrup asap rokok.
“Maaf, Mak. Aku ketularan Mas Derri,” kata Maya lalu menjejalkan sisa batang rokok di asbak.
“Maya ingin menikah dengan Mas Derri, Mak.” Mata mama berbinar. Betapa senang bukan kepayang. Mamak pasti akan tinggal bersama Maya dan suaminya. Rindu itu tidak akan ia tanak kembali.
*
Mamak berhasil melepas ikatan sekarung rindu itu. Ia pulang dengan bahagia. Jalannya pun cukup tegak meski renta tak bisa dihindar lagi. 

Rindu mamak memang sudah lepas. Beban itu memang telah pergi. Akan tetapi, dengan lancang, si rindu itu hadir setelah sepekan mamak menyendiri lagi di rumah. Badan mamak mulai terasa berat lagi. Terlebih-lebih saat mamak menghubungi Maya, telepon mamak tak pernah disahut. Mungkin sibuk. Mungkin sedang bermesraan dengan kekasihnya. Segala mungkin pasti ada. Dan segudang kemungkinan yang menyulap mamak menjadi pesakitan. Lagi.

Siang itu, mamak menggigil hebat. Dengan jalan tergopoh menggendong sekarung rindu. Rambutnya kusut, wajahnya kumal. Mamak duduk menyendiri. Menanti Maya yang tak juga kembali menjemputnya, seperti janjinya beberapa waktu lalu.
“Sudah, ikhlaskanlah anak-anakmu dengan dunia mereka, Mak. Jangan terlalu banyak pikiran,” Runtah menyuapi mamak semangkuk sup hangat. Ia tak pernah bosan melayani mamak seperti ini.  
“Mereka pasti datang,” kata mamak pelan.

Semestinya, sejak awal mamak menyiapkan sepotong hati penuh kelapangan. Menyabar-nyabarkan segenggam daging itu untuk memberi ruang pada timbunan rindunya. 

Tubuh mamak kian terasa berat. Langkahnya tergopoh dan tubuhnya lebih bungkuk dari biasanya. Beban yang digendongnya makin hari, makin tinggi. Jika ia kembali di peraduan lukanya, di kamar yang berukuran tak seberapa, ia akan meruah-ruahkan kembali dukanya Di tempat itu, mamak melepas dan menimang rindunya. Setiap hari sebelum Maya menjemputnya. Selalu demikian.

Dua bulan mamak menanggung risiko rindunya, tapi sekejap semua hilang. Apa yang diharap, Tuhan mengabulkan.
“Maya datang, Mak,” ucap Maya di siang itu. Wajahnya pasi. Mama terheran bukan main, gadisnya tak seindah beberapa bulan lalu.
“Maya ingin membesarkan anak ini,” lanjut Maya sambil mengelus perutnya, “Derri sudah sebulan tidak menemui Maya. Ia kembali sama istri tuanya.” 

Mamak memang berhasil melerai rindunya. Maya kini jelas di hadapannya. Namun seketika, mamak ingin melesatkan pisau di perut putrinya yang telah berani melahirkan duka di matanya. [*]
 

Jumat, 14 April 2017

Tugas yang Belum Kapok

www.google.com

Tugas yang belum kapok. Sedikit sinisme mungkin ya dari judul yang saya usung. Humm... betapa tidak, suah dua bulan ini tugas-tugas yang saling susul-menyusul belum kapok juga berdatangan, padahal sudah tepat waktu dibuat, didoakan agar dipermudah Allah, juga presentasi yang butuh bacaan more and more.

Tugas yang belum kapok, kalimat nyinyiran dari saya. Betapa tidak, mau menggarap tulisan, tapi mesti mengalah terus memprioritaskan urusan akademik. Bersabarlah...

Tugas yang belum kapok. Ya... mungkin kapoknya jika sudah di semester tiga akhir ketika langkah-langkah kaki berjalan lebih cepat untuk mnegejar dosen, menanti dosen, serta harap-harap cemas tugas akhir perkuliahan segera tuntas.

Dan ketika tugas berubah menjadi "rasa ampun" yang tidak ingin hadir lagi, di situlah saya merasakan "kenyamanan" untuk menghabiskan waktu-waktu di kota budaya ini: berjalan bersama suami terscinta, juga anak tersayang sebelum pundak ini kembali berat menjalani amanah mengabdikan diri untuk negeri.

Segeralah kamu kapok, wahai tugas! Bersabarlah diri saya... Biarkan tugas-tugas menjelajahi pikiranmu dulu untuk terus memperdalam kompetensi, mendewasakan sikap. Saya tidak mau kapok dulu padamu, tugas.*

Rabu, 12 April 2017

Cin Menanti Ta


www.google.com

Pertemuan-pertemuan panjang telah menarasikan kehidupan Cin dan Ta. Hidup seatap, gurau yang saling bertukar, hingga pertengkaran kecil yang menjadi bibit ikatan pernikahan mereka kian subur. Hampir tak ada cekcok barang sedikit pun. Cin yang pengertian akan kondisi keuangan Ta; Ta yang menerima Cin dengan segala kesibukannya di dapur meski Tak sepenuhnya setuju Cin menghabiskan seharian waktunya mengurusi tetek bengeng tentang masak-memasak. 

Bagi Ta, Cin bisa menyajikan menu siangnya dengan membeli di warung padang atau ayam penyet yang tak jauh dari rumah mereka. Tak perlu Cin selalu repot-repot sampai-sampai merasa kesal ketika sudah siap beraksi di dapur, sementara ia kelupaan membeli bumbu dapur. Ta tak ingin Cin selalu kelelahan. Ia ingin tak sekadar menu pagi dan malam dengan polesan lezat tersaji untuknya. Namun lebih dari itu. Ta tak ingin Cin kelelahan sehingga percintaan mereka terasa hambar. Ta ingin segera menggamit jari-jari mungil di antara perjalanan hidup mereka. Sebab Ta sadar, ia sudah dewasa. Sindiran teman sejawat yang sudah menghasilkan anak-anak bujang tak pernah henti. Ta ingin Cin paham tetang itu.

Suatu ketika, Cin jatuh sakit. Kepalanya pusing. Ia lunglai dan hampir terjatuh di ruangan kecil tempat ia beraksi membuat makanan. Ini kebetulan dan kebahagian tersndiri bagi Ta. Saatnya ia memperlakukan Cin dengan penuh sayang dan bisa lama-lama menatap perempuannya itu bersitirahat. 

Sejak Cin jatuh sakit, Ta meminta betul agar Cin jangan membuang waktunya hanya di depan dapur. Sempat ada protes dari Cin, tetapi pada siapa lagi Cin akan mengabdi, kalau bukan pada suaminya. Akhirnya, Cin sedikit melepas kebahagiaannya di dapur. Hingga suatu ketika, Ta mendapat kabar bahwa Cin selalu mual-mual beberapa hari ini. Ta sudah menebak, buah cinta akan hadir di antara mereka. Dengan gegap sukacitanya, Ta serta merta membawa Cin ke dokter kandungan. Benar tebakan Ta. Sebagai suami, ia menaruh harap besar pada istrinya. Tiap waktu dijaganya perut yang terus-terusan membuncit. Tak tertinggal, rapalan doa senantiasa ditanamnya untuk kekasih dan calon bayinya. 

Untuk sekian minggu, Ta berpamitan pada istri dan jabang bayinya. Mengelus-elus dan mengajak janinnya berbincang. Meski tak ada responan, Ta tetap bahagia. Segunung rindu sudah meletup-letup sebelum ia meninggalkan rumahnya untuk ke luar kota dalam hitungan sepekan--dua pekan. Bagi Cin, ini kesempatan emas. Atraksi akan segera ia mulai. 

Satu jam keberangkatan Ta, Cin beraksi di dapur. Ia pun menghubungi teman-tema lamanya yang sudah jarang sekali bertemu langsung. Ya, hingga sepekan pertemuan Cin bersama teman-temannya. Betapa senangnya, Cin setelah subuh langsung melesatkan kakinya di antara keramaian pengunjung pasar. Memilih-milih jenis ikan hingga sayur yang meruah di badan pasar. Betapa senang. Betapa dunianya merasa kembali.

Tapi sayang, penantian indah, rapalan doa sang suami, seperti menjadi angin ketika kegilannya di dapur menyala-nyala. Cin tiba-tiba merasa kuyu. Orang-orang seperti menari-nari dan berputar-putar mengelilinginya hingga tak lama ia jatuh. Tubuhnya ambruk begitu saja.

Doa...
Harapan seperti menjadi cerita saja.

Ta meraung.
Cin menyesal.

Cin dan Ta sepertinya luput dari perasaan mereka yang dulu.
Sapa menjadi harga mahal di antara keduanya.

Bahkan lagu cinta di antara Cin dan Ta sudah jarang mereka putar.
Cin menanti Ta bergemuruh doa di bibirnya.
Namun, Ta enggan. 

Tama hanya ingin mendoakan kebahagian untuknya. *      

Saya Hanya Ingin Belajar

www.google.com

Istilah rumput tetangga memang lebih hijau, adakalanya memang harus diterima dengan kelapangan. Ya, kalimat begini yang saya rasakan memang selama dua bulan tinggal di Solo, kotanya sarat budaya. Tak hanya budaya, tetapi juga jenis kuliner yang "berabur" di setiap sudut bahkan pinggir jalan dengan ala lesehan yang membuat para pengunjung merasa santai dan menikmati sajian makanan yang penuh kelezatan. 

Dua bulan, saya baru kali ini merasakan nyaman tidak tinggal di kota halaman sendiri. Bukan alasan mau tak mau, ya, karena urusan studi yang mesti dirampungkan maksimal dua tahun di Universitas Sebelas Maret, hasil dari perjuangan beasiswa hunter selama beberapa tahun ini, tetapi memang learn atmosphere yang mendukung sekali untuk menambah kompetensi kita di dunia pendidikan. Perpustakaan yang melayani Senin hingga Sabtu, dengan ketepatan operasional kerjanya dimulai pukul 8 pagi teng sampai dengan 9 malam, alias until mahasiswa ada di titik jenuh di depan laptop dengan seabrek tugas, juga mencari sana-sini literatur. Ini menjadi cacatan dan kenangan manis saya selama menjalani setudi menikmati sarana perpustakan yang mendukung. 

Untuk masalah perkuliahan, jangan ditanyakan lagi bagaimana proses dari almamater yang kini ada di urutan tiga sesuai BAN PT Indonesia. Ibaratnya, para dosen nggak ada yang mau meninggalkan satu pertemuan perkuliahan saja. Tugas dan tanggung jawab mereka memang tak bisa diragukan lagi. Daaan... tentunya juga dengan tugas yang selalu hilir dan never ending sampai akhir semester usai. Menikmati, menyenangkan dengan serangkaian kegiatan dari pagi hingga sore kuliah dan dilanjutkan menyambangi perpustakaan hingga malam suntuk. Ya... tholabul 'ilmi karena Lillah insya Allah akan ada jalan untuk segalanya dipermudahkan. Selain itu, ini saya anggap sebagai amanah apa yang saya kejar dan harus saya tunaikan pesan dari LPDP scholarship dengan menjalani jenjang pendidikan dengan baik dan penuh tanggung jawab karena mereka telah loyal membiayai saya, bahkan juga suami saya, yang kami sama-sama mendapatkan beasiswa dan belajar di kampus yang sama. Syukur tak bisa disampaikan hanya dengan kalimat demikian. 

Hanya ada satu ganjalan yang terus berputar-putar di benak. Dan ini membuat saya selalu merasa tak nyaman ketika kalimat-kalimat itu sempat mampir di telinga saya tidak hanya sekali. Bayang pun, tak hanya sekali! Kallimat-kalimat tidak sedap memang pernah saya dapatkan ketika perbandingan daya keintelegensian mahasiswa lulusan Pulau Jawa dengan di luar Pulau Jawa. Dan kini, itu saya dapatkan secara langsung ketika proses perkulihan berlangsung. Tak hanya satu dosen yang terus memuji alumnus kampus tersebut dibandingkan dengan mahasiswa di luar kampus, bahkan di luar Pulau Jawa. Tak enak hati, pasti. Gereget, tidak tertinggal juga mampir di hati. 

Sepertinya, sebelum menjawab sebagai mahasiswa magister di almamater biru, bukankah proses penyaringan dilakukan dengan seleksi ketat berdasarkan pengakuan Kaprodi Pendidikan Bahasa Indonesia? Namun, mengapa masih ada para pendidik yang memicingkan sebelah mata? Berada di urutan ke-5 dari belasan mahasiswa yang diterima, bukanlah itu cukup menunjukkan dari luar Jawa pun memiliki kompeten yang tidak kalah baik. Tidak kalah semangat belajar dan berkompetisi bersama-sama. 

Saya hanya ingin belajar dan menikmati fasilitas di kampus ini dan menggunakan pundi-pundi bulanan dan semester dengan bijak dan penuh tanggung jawab. Karena bukankah semua ini akan diminta pertanggungjawaban di hadpan Tuhan dan masih ada berkelanjutannya berupa pengabdian diri untuk masyarakat di dunia pendidikan. Maka, tetap izinkan saya yang ingin belajar tanpa ada pandangan mata yang memicing. * 




Membedakan Sifat-Sifat dan Ragam Bahasa

Silakan pahami narasi-narasi berikut sehingga Saudara dapat memahami perbedaan sifat-sifat bahasa! 1. Fakta sejarah bahwa orang atau kelompo...