Minggu, 30 September 2012

Lomba Menulis Pengajar Inspiratif @aksisemangat (DL 6 Oktober 2012)

Lomba nulis dg tema Pengajar Inspiratif berhadiah uang tunai 3 Juta + Paket menarik dr @aksisemangat


Lomba nulis dg tema Pengajar Inspiratif berhadiah uang tunai 3 Juta + Paket menarik dr  info cek http://bit.ly/aksisemangat2
  terms & condition aksisemangat
persyaratan dan ketentuan kompetisi 

  1. Warga Negara Indonesia dan berdomisili di Indonesia saat mengikuti kompetisi ini
  2. Memiliki KTP/SIM/Kartu Pelajar
  3. Tema kompetisi adalah ‘Cerita Inspiratif Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
  4. Sosok yang dianggap Inspiratif tersebut harus berdomisili di Indonesia (Guru sekolah, Pembimbing, Dosen, Guru ngaji, Mentor dll).
  5. Dalam kisah tersebut, peserta harus mampu memberikan alasan mengapa sosok tersebut produktif dan inspiratif, dengan minimal 500 karakter.
  6. Kisah Sosok Produktif harus disubmit ke website http://www.aksisemangat.com
  7. Batas waktu Submit Kisah Sosok Produktif 2 adalah 6 Oktober 2012
  8. Memiliki akun social media twitter dan facebook, atau salah satunya
  9. Akan dipilih 5 cerita terbaik sebagai finalis untuk di-vote, dan ajaklah teman-temanmu untuk mem-vote ceritamu di website http://www.aksisemangat.com.
  10. Satu pemenang ter-favorite mendapatkan hadiah uang tunai Rp 3.000.000,- (tiga juta rupiah), dan 4 besar lainnya akan mendapatkan paket menarik dari Fatigon Group
  11. Pemenang di tentukan oleh jumlah Vote (Jumlah Like dan Share Twitter dan FB, serta coment )
  12. Karya yang diikutsertakan harus merupakan hasil karya asli dari peserta kompetisi menulis ini dan bertanggung jawab penuh terhadap hasil karyanya tersebut.
  13. Karya belum pernah dipublikasikan sebelumnya, Juri berhak mendiskualifikasi jika menemukan cerita yang pernah dipublikasikan sebelumnya.
  14. Panitia berhak menyeleksi semua tulisan yang masuk dan berhak tidak mempublikasikan tulisan yang mengandung muatan SARA, politik, atau unsur lain yang dinilai kurang pantas dan kurang sesuai dengan etika dan tema Kisah Sosok Produktif
  15. Peserta membebaskan Fatigon group  dan perusahaan atau pihak-pihak manapun yang berhubungan dengan penyelenggaraan kompetisi ini  dari segala bentuk tuntutan dari pihak-pihak lain tersebut terkait dengan hasil karya peserta yang diikutsertakan di dalam kompetisi. 
  16. Bila di kemudian hari peserta melakukan pelanggaran atas persyaratan lomba yang disebutkan oleh panitia, terbukti merupakan karya plagiat/bukan hasil buatan sendiri, pemberian data yang keliru dan/atau tidak benar, maka peserta akan didiskualifikasi. 
  17. Pengumuman pemenang Kisah Sosok Produktif ini, akan diumumkan melalui website Aksisemangat.com, Facebook Fatigon Aksi Semangat, dan twitter @aksisemangat. Pemenang akan dihubungi langsung oleh pihak panitia
  18. Lomba berlangsung tanpa dipungut biaya apapun kepada setiap peserta, termasuk pajak bagi para pemenang. 
  19. Keputusan juri bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.

MAMI

Oleh: Helvy Tiana Rosa

Ada beberapa hal yang kusukai dari orang-orang Cina. Ketekunan, keuletan, dan kedisiplinan diri serta langkah-langkah mereka yang selalu penuh perhitungan. Kita dapat melihat faktor-faktor tersebut sebenarnya merupakan kunci dari keberhasilan mereka di negeri kita ini. Tentunya mereka raih semua itu dengan kerja, bukan dengan main-main.

Makanya aku sering tidak simpati pada orang yang selalu mencela dan menghina keberdaan orang-orang Tionghoa di sini. Memang, sih, banyak juga di antara orang-orang Tionghoa itu yang sikapnya membuat kita kurang sreg, yang menjalankan sistem perekonomian sedemikian, yang individualis… memang ada! Tapi jangan disamaratakan, dong! Banyak juga kan yang bersikap baik, apalagi yang kemudian jadi Muslim. Sering mereka mengorbankan harta pula untuk sabilillah yang mereka tempuh.

Ah, bercerita tentang Cina…, aku pun keturunan Cina. Tapi… duh, siapa yang mau percaya! Maklumlah aku lahir dari ‘kubu’ yang sangat berbeda dalam segala. Papi Aceh, Mami Cina. Namun rupaku terlalu mirip Papi! Satu-satunya ‘warisan’ Mami cuma mata sipit ini, itu pun tenggelam oleh kulitku yang hitam. Makanya tak ada rekan-rekan muslimah yang lantas percaya kalau aku ini keturunan Cina. Biasanya kalau mereka sudah lihat mimikku yang memelas setengah kesal, baru deh, mereka percaya.

“Vie!” Suara Mami dari arah dapur mengejutkanku.
“Ya, Mi!”
“Itu, kwetiaw gorengnya nanti dingin!”
Aku segera ke meja makan. Sarapan kwetiaw, sedap! Ya, kwetiaw ayam bikinan Mami memang tiada tandingnya. Nikmat dan halalan thayibah, dong!
“Vie…,” kudengar lagi suara Mami.
“Ya, Mi!”
“Mami mau pergi ke pasar dulu. Ini jangan lupa!” kulihat sebuah payung di tangan Mami.
“Nggak usah deh, Mi… berat!” kataku.
“Kamu tuh ke mana-mana harus bawa payung, Nak. Bukan untuk nahan hujan aja, tapi juga buat mukul orang yang macam-macam sama kamu!” kata Mami sambil memasukkan payung itu ke tasku.
Aku meringis. Duh Mami… sejauh itu pemikiran beliau!
                                                                                     ***
Di bus yang menuju arah Pasar Minggu, aku jadi melamun sendiri. Akhir-akhir ini aku memang suka mikirin Mami. Mami itu baik, baik banget! Ia adalah wanita yang amat kucintai di kolong langit ini. Tak ada wanita yang lebih baik dari Mami. Mami itu ‘super mom’ tetapi….
Aku menarik napas panjang. Ya, ada satu hal yang tak kusuka dari Mami. Aku sendiri bingung, apakah hal yang tak kusuka itu merupakan kelebihan atau kekurangan Mami. Mami tuh terlalu care padaku, juga kepada kedua adikku. Karena sikap beliau itu aku sering merasa diperlakukan seperti anak kecil.
 
Beberapa waktu yang lalu, ketika aku hendak pergi ke kampus untuk mengambil nilai semesteran dan membayar uang kuliah, di rumah, Mami sudah sibuk ‘mengurusiku’.
“Jangan pakai baju itu, Nak!” komentar Mami melihat baju rok dan blus biru yang kupakai bersama jilbab biru muda itu.
“Lho, mengapa Mi?” tanyaku heran.
“Kamu ini gimana, sih? Cari dong yang berkantong! Biar bisa taruh uang!” kata Mami sambil masuk ke kamarnya. Tak lama Mami keluar sambil membawa sebuah baju. Ya ampun, warnanya nge-pink. Ngejreng banget! “Nih, pakai. Kan lengan panjang juga!” kata Mami lembut, tetapi bernada perintah.
“Tapi, Mi.”
“Ini bagus punya. Tante Elly Chan kirim dari Taiwan!” suara Mami setengah memaksa.
Dengan enggan, akhirnya kuturuti juga. Kupakai baju itu. Dan, ketika aku berkaca di cermin kamar… duh norak sekali! Malah kedodoran banget! Dan yang paling bikin aku mau nangis, kantongnya banyak sekali! Di depan empat, di belakang empat. Duh, apa kata teman-teman nanti? Gimana komentar mereka di kampus nanti?
“Wah, keren banget anak Mami!” Mami tersenyum.
Aku cemberut.
“Nih uang buat bayar kuliah.”
Uang berjumlah Rp. Lebih dari sejuta itu itu diletakkan Mami di kantong atas, sebelumnya… ya ampun! Uang bergambar para pahlawan itu cekrek-cekrek dulu! Setelah itu Mami mengeluarkan beberapa peniti dari tasnya. Dengan tenang, kantong di kiri atas bajuku di penitiin. Aku terperangah.
“Mi, nggak usah digituin, deh!” kataku cemberut.
Mami diam saja. Di kantong kanan atas ditaruhnya lagi dana kesejahteraan mahasiswa yang diminta fakultas. Hanya seratus ribu… dan duh, dimasukkannya uang sekitar dua puluh ribu rupiah untuk ongkos dan jajanku. Sedangkan di kantong terakhir (dari depan) dimasukkannya sebungkus tisu.
“Nah aman. Sekarang boleh berangkat,” kata Mami sambil mencium pipiku.

Duh Mami! Aku kesal! Dengan nggak niat akhirnya aku pergi juga ke kampusku di Depok. Di tengah jalan kubuka satu per satu peniti di sekitar kantongku. Bodo deh! Aku kan bukan anak kecil lagi!
Nggak hanya itu. Hari ini kebetulan karena ke kampus, aku bisa bebas di atas bus untuk sekedar menyandarkan tangan di jendela dan menikmati pemandangan Jakarta serta semilir angin sejuk pagi hari. Kalau pergi berdua Mami, ‘kacau’ lagi. Beliau akan cepat-cepat menarik tanganku seraya menutup tiga perempat kaca jendela sambil menceramahiku. “Nanti disambar mobil dari belakang, baru tahu!” beliau menutup ‘ceramah’nya.

Bulan lalu, waktu sepatuku bodol… Mami mengajakku ke proyek Senen. Pernahkan lihat seorang Ibu yang membawa anak-anak kecilnya yang berusia sepuluh tahun untuk beli sepatu? Nah, kurang lebih seperti itu cara Mami memperlakukanku. Mami memilihkan, mencobakan sepatu itu ke kakiku. Beberapa kali aku ditertawakan oleh para pedagang itu. Aku sendiri berusaha bilang pada Mami apa yang aku mau. Tapi Mami bilang: “Itu jelek” atau “Ini nggak kuat, bukan kulit” atau “Ini warnanya terlalu kusam’ dan yang lain-lain lagi. Dan hasilnya … kulihat sepatu volkadot hitam yang kupakai sekarang ini.
“Sepatu nyentrik,” kata anak-anak kampus. “Sepatu paling indah di Universitas Indonesia,” kata teman-teman sejurusan. Huh!
 
Mami memang benar-benar over perhatian. Bayangkan saja, setiap malam sebelum tidur, selalu kudengar suara Mami keras. “Anak-anak semua, Evi, Rani, Eron… jangan lupa cuci kaki, sikat gigi! Kebut dulu tempat tidur kalian!” Atau kalau kebetulan Mami tahu kami habis makan permen atau coklat. “Awas ya kalau Mami tahu kalian belum sikat gigi!”
Coba! Mami benar-benar memperlakukanku seperti anak SD. Aku kan sudah gede. Sudah dewasa. April kemarin usiaku sudah dua puluh tahun. Aku sudah tingkat dua di Fakultas Ilmu Budaya. Anak tertua lagi!
Kemarin, saat sedang nonton siaran berita, aku ingat sekali, Mami menanyakanku sebuah buku sastra yang baru kubeli.
“Udah kamu beli, Nak… buku Konstelasi Sastra?” Coba, nama bukuku itu pun Mami tahu!
“Udah, Mi.”
“Coba bawa sini. Mami mau lihat.”
Agak segan kulangkahkan kaki ke kamar. Kuambil sebuah buku tebal berwarna biru tua yang baru kubeli di kampus.
“Dinamain dong, Nak! Nanti ketukar sama teman-teman yang lain.”
Setengah jam kemudian, buku itu sudah kembali berada di tanganku. Kali ini dengan sampul coklat polos yang dilapisi dengan sampul plastik. Didepannya tertulis nama lengkapku, jurusan, fakultas sampai universitasku! O… O, aku nyengir. Mirip buku si Eva, anak Om Yan yang baru kelas empat SD itu.
Mami memang selalu begitu. Coba mana ada sih Ibu yang ngurusin anak yang berusia dua puluh tahun lebih, sampai gitu-gitu amat! Ya, Mami itulah! Sungguh, aku tahu kalau Mami itu sayang banget sama aku… tetapi cara beliau itu, lho.
 
Bus yang kunaiki dari tadi baru sampai di Pancoran. Biasa… macet. Entah, mungkin gara-gara si Komo atau mungkin juga bapaknya “Si Komo” baru lewat. Macet lagi. Kulirik seorang wanita yang duduk disebelahku. Tampaknya sebaya dengan Mami. Tapi… ah, terlalu gemerlap. Sedang Mamiku itu sedehana. Kulihat lagi dengan sembunyi-sembunyi Ibu itu. Eh, nggak tahunya ia sadar sedang diperhatikan. Ia ganti memandangku. Ya Allah, dari ujung jilbab sampai ujung kaos kaki! Dan tatapannya malah bikin hatiku miris. Itu lho, tatap curiga! Ia menggeser duduknya, lebih menjauhiku.
 
Tanpa sadar aku membandingkan wanita tadi dengan Mami. Oh ya, Mami itu super ramah sama orang. Dan… ya, baru kuingat! Super perhatian pula sama para muslimah, para jilbaber teman-temanku itu. Sampai pernah ada temanku seorang jilbaber yang hijrah gara-gara ‘disiksa’ sama orang tuanya. Eh, Mami yang marah. Malah Mami mau nyamperin tuh ortu segala. Akhirnya Mami rela kalau temanku itu tinggal di rumah kami. Dan Mami perhatian banget juga sama dia.
Mami… Mami. Tentang over perhatian beliau yang banget-banget kepadaku, sebenarnya aku ingin sendiri ingin deh, ngomong blak-blakan sama Mami, tetapi aku merasa nggak enak. Aku takut wanita yang paling halus perasaannya itu tersinggung. Aku takut hal itu menyakitinya. Aku tak mau hal itu terjadi.
 
Cara yang paling tepat untuk menegur Mami sebenarnya adalah lewat orang yang paling dekat dengannya, siapa lagi kalau bukan Papi. Sebenarnya aku sudah beberapa kali membicarakan hal ini dengan Papi, tetapi waktu itu Papi hanya tersenyum. Malah kata beliau, “Tuh kan Papi nggak salah milih istri!” nadanya gembira. Lha, aku melongo!
“Minggu! Minggu habis! Pasar Minggu!”
Suara kenek bus membuyarkan lamunanku. Aku segera turun dari bus dan melanjutkan perjalanan dengan miniarta jurusan Depok.
                                                                                 ***
“Seharusnya kamu bersyukur kepada Allah karena memiliki Ibu seperti Mami,” kata Fathimah, teman dekatku. “Meskipun beliau keturunan Tionghoa, tapi tidak terlalu tercelup nilai-nilai adat atau agamis yang dianut oleh keluarga besar beliau sampai saat ini. Mengenai beliau terlalu perhatian… percayalah itu takkan lama lagi. Insya Allah ketika Mami sadar kamu sudah dewasa, Mami akan benar-benar menyerahkan segala sesuatu yang memang urusan kamu, padamu.”
“Kapan, Fath, kapan? Sekarang ini usiaku menjelang dua puluh satu tahun!” kataku.
“Sabarlah, akan tiba waktunya.”
Aku diam. Bukan apa-apa, salahnya mungkin over perhatian Mami itu karena Mami keturunan Tionghoa, sayangnya orang-orang sekitarku, sanak kerabat Mami begitu deh, rata-rata sama anaknya. Bahkan perhatian Oma sama Mami sampai saat ini, menurutku ya, over juga! Tapi hal ini tak kukatakan kepada Fathimah.
“Beruntung sekali kamu punya Ibu kayak Mami,” kata sahabatku yang lain, Diah. “Aku belum pernah diperhatikan sejauh itu sama Mamaku. Beliau terlalu sibuk. Bahagia sekali dong, kalau punya Ibu seperti Mami. Kadang kita sering merindukan Ibu kita memperhatikan hal-hal kecil tentang diri kita.”
Aku menarik napas panjang.
“Mami? Kamu bilang Mami over perhatian? Kamu gimana, sih? Selama itu bukan mengekang kebebasan, seperti yang Mami lakukan, wajar saja!” ini kata Yulita, jilbaber yang lain juga cukup dengan Mami. “Apalagi Mami tidak menggugat hal-hal yang kamu yakini dalam menjalankan syariat Islam. Apa lagi?” sambungnya.
Aku hanya diam. Buntut-buntutnya semua temanku mengatakan aku harus sabar. Semua toh berproses, Ikhlaskan semua. Biar lapang. Sabar… sabar. Aku harus bersabar, sampai Mami sadar. Aku sudah dewasa.
 
Dan tibalah hari itu, hari di mana kurenungi lagi semua perkataan teman-temanku itu. Dan hari ini sesuatu menyentak hatiku: Mami sakit! Maka hari ini tak kudengar tegur-teguran, saran-saran, petuah-petuah Mami. Mami hanya terbaring di tempat tidur. Lemah. Hari ini aku bisa melakukan apa saja. Bisa memilih apa saja. Tak ada yang ‘mencereweti’. Jauh dilubuk hati, aku merasa ada kehampaan. Ada sesuatu yang kurasa kosong betul.
 
Entah mengapa hari ini kusadari betul omongan Fathimah, Diah atau Yulita. Mami hanya bermaksud menyayangiku. Perhatiannya yang berlebih adalah pengamalan kasihnya. Beliau lebih mampu mewujudkannya dengan cara itu. Ya, buktinya… tanpa suara Mami, hari jadi seperti bisu. Ya, hariku!
Seminggu kurasa kebisuan seperti melanda rumah kami. Tanpa tawa, tanpa suara Mami yang terkadang terdengar bingar itu. Seminggu kurasakan… ah! Aku rindu sapa, teguran beliau! Aku rindu! Sungguh!
                                                                                ***
Sampai akhirnya seminggu yang berat pun berlalu. Dan senja ini ketika aku pulang kuliah, pintu rumah tak terkunci. Pintu kamar Mami tampak terbuka lebar. Beliau sedang shalat.
Kuhampiri. Tampaknya Mami sedang ayik bermunajat kepada Allah. Beliau kelihatan sudah membaik. Ya, Mami memang punya penyakit jantung yang cukup gawat. Tahun kemarin saja sampai berobat ke Hongkong karena pembuluh darah beliau menyempit. Alhamdulillah, aku lega, kesehatan beliau memulih. Setelah Mami mengusap wajahnya dan mengucapkan amin, kuucapkan salam. Kucium tangan beliau.
“Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh,” sambut Mami tersenyum.
Aku segera memeluk Mami.
“Eh, ada apa ini, ayo mau minta apa nih, dari Mami! Mentang-mentang Mami udah sehat.” Mami tertawa.
“Idiiiih Mami, su’udzan aja!” kataku nyengir.
“Sana makan dulu! Mami masak He Ci, tuh!”
“Oke bos, emang laper sih!” Dengan riang aku melangkah menuju meja makan. Senang, tampaknya Mami telah sembuh. Sudah bisa masakin kami lagi!
Baru saja aku ingin menyuapkan makanan ke mulut….
“Vie, cuci tangan dulu, sayang! Jangan minum air es, kamu kan agak batuk. Eh, jangan lupa ambil centong nasi yang kering untuk menyendok nasi! Nanti nasinya basiii!” kata Mami beruntun dari dalam kamar.

Aku cuek meneruskan makan. Tak ada kesal. Tak ada gundah. Tak ada cemberut. Lapang. Dan tampaknya Mamiku sudah betul-betul sembuh! Terimakasih Allah untuk Mami yang seperti ini!
                                                                          ***

Sabtu, 29 September 2012

Senyum Kekal Ayah

Ahad kelabu. Mega di luar sana abu-abu. Mulai meringis dan tak lama menangis. Menitik perlahan membasahi bumi yang rindu langit mengais gerimis…
 
Rinai belum juga usai membalut kota—ditemani bau tanah kering yang sekonyong-konyong menyeruak—serasa menuai sembilu. Ada rindu. Ada pilu. Ada penyesalan yang tak lekang. Ada asa yang tak tergapai sehingga kumerasa malang. Adapula pengaktualisasian cinta yang tak sempat kuucap sayang.

Aku menatap jalan dari bilik jendela kamar berteralis besi yang berkarat merah. Di sana terlihat tanaman perdu memenuhi sebagian tepi jalan. Jalan yang sempat kuukir kenangan bersamanya. Di jalan itu—ketika dulu—aku sempat uring-uringan padanya. Memaksanya untuk menggendongku tanpa memedulikan asam uratnya yang belum kunjung binasa. Dan di jalan itu pula—kali terakhir aku menatap wujudnya penuh nelangsa—mengantarkannya menuju pusara.

Air mataku belum usai menitik. Pilu benar-benar tengah memagut di sela awan berkabut. Rindu rasanya mencekik. Lisan sudah tak kuasa memekik. Allah… Mengapa Kau ciptakan aku seorang yang picik? Mengapa Kau gelapkan hatiku yang sudah tak terlihat, terlebih tak bisa merasa. Allah… Mengapa Kau baru tampar aku dengan kasih sayang? Mengapa kini Kau baru terangi, Kau bumbui hatiku dengan rasa setelah Kau silaukan aku dengan caya-Mu. Penyesalanku berkelebat hebat.

Rindu tengah mendera. Penyesalan juga meraja. Semua itu tengah kutujukan untuk seorang hamba semata. Dia yang selalu kucerca hatinya. Dia yang dulu selalu kurongrongi ini itu tak ada habisnya. Dia yang sekali pun tak pernah meletupkan amarahnya. Dan dia yang memiliki senyum kekal di raut wajahnya. Dia … adalah ayah.

Ya, ayah. Dia seorang hamba yang bersahaja, juga tak banyak bicara. Ayah yang tak pernah kuhitung berapa kali ia telah berbuat baik padaku. Sejatinya, tak patut jika aku menghitung kebaikannya sebab memang takkan pernah bisa terhitung.

Aku kembali memandangi langit-langit kamar yang bersawang halus. Mengamati sisi-sisi dinding yang bercatkan pudar. Lalu aku menatap satu per satu benda-benda yang tersaji di kamarku. Aku meraih satu bingkai foto yang masih tertata rapi di meja kecil samping ranjang tidurku. Di foto itu, ada aku, ibu, ayah, dan Fadli, adikku yang usianya terpaut empat tahun lebih muda dariku. Tampak di foto itu, meliuk manis bibir-bibir mereka yang merekah, tidak seperti aku. Raut wajahku tak ada bagusnya. Aku ingat jelas, ketika itu ayah memaksaku berfoto. Aku sedang marah besar padanya sebab ia selalu ingkar dengan janji. Alhasil, wajahkulah yang paling tak enak dipandang setelah hasil jepretan foto dicetak.

“Jadi kapan ayah belikan aku sepeda?” tanyaku saat itu dengan intonasi meninggi. Ayah menatapku lekat-lekat dengan rasa iba. Serasa ada sembilu di batinnya sebab tak dapat memenuhi keinginanku. Tak lama ia mengulas senyum lalu menjawab, “Sabar ya, Ga. Pasti nanti Ayah belikan sepeda.”
“Ayah janji mulu deh. Yang kemarin aja ayah belum belikan  kaos,” tukasku setengah membentak.
“Iiiiih… Mas Angga ini lhooo. Kayak anak kecil. Sabar napa?” sela Fadli sambil memasang wajah cemberut. Ia memang lebih dewasa dalam bersikap dibandingkanku. Sementara ibu tersenyum datar memandangi keegoisanku.
“Heeeh… dasar anak kecil! Jangan sok tahu. Ayah itu udah berapa kali janji dan udah berapa kali bohong?” aku langsung memalingkan wajah. Memendarkan pandangan pada sederet etalase di mall.
“Iya. Tapi kan Mas…“
“Halaaaaah… diam kamu! Mas kesel sama ayah yang tukang janji!” ketusnya. Fadli menundukkan wajahnya yang mengerut. Air mata hampir berlinang di pelupuk mata. Ayah hanya menelan ludah. Seolah ada getir yang masuk di kerongkongannya tatkala terhempas kata-kata dari lisan putra sulungnya. Ada semraut sedih yang tersimpan di balik wajah ayah meski senyum ia tebarkan untukku. Namun, aku tak begitu peduli. Yang kuingini ialah ayah dapat menepati janji dan memenuhi permintaan-permintaanku yang belum terbayar.
***
Semustinya, sejak dulu aku sadar. Siapa aku, siapa ayahku, bagaimana keadaan dapur kami. Ayah hanya seorang pegawai negeri sipil yang bergolongan rendah. Uang gajinya tiap bulan pun sebagian besar untuk memenuhi dapur agar tetap mengebul. Sementara sisanya digunakan untuk ongkos aku dan Fadli ke sekolah sehari-hari. Entah, apakah ayah bisa menikmati penuh gajinya? Aku pun tak ingin tahu itu.

Entah, mengapa kala itu Allah menutup hatiku untuk memiliki rasa iba? Setiap apa yang kupinta, ayah tak pernah menolak selagi yang terbaik untukku. Entah, mengapa kala itu Allah menjadikanku seorang anak sulung yang egois? Jauh berbanding terbalik dengan sikap Fadli yang tak rewel ini itu. Permintaan demi permintaan tak ada henti aku sodorkan tatkala ayah pulang kerja tanpa memikirkan peluhnya yang belum menyurut. Namun, lagi-lagi amarahnya tak pernah tersurat untukku. Senyum ranumnya yang lembut selalu disemainya di hadapanku.
***
Aku beranjak dewasa. Siswa Kelas II SMA tengah kujabat dengan penuh bangga. Prestasi-prestasi yang kugenggam di dunia tulis-menulis pun kuukir untuk nama harum sekolah. Ditambah lagi aku diamanahkan sebagai Ketua OSIS. Tak sedikit wanita di sekolah yang menyatakan perasaannya terhadapku. Namun, kukatakan tidak untuk cinta. Sebab cinta itu laksana elegi yang menukik hati. Sakit dan pedih.

Namaku melangit di sekolah. Semua warga sekolah tanpa terkecuali pasti mengenalku: Angga Setiawan Putra, Sang Ketua OSIS yang unggul di akademik dan organisasi. Semakin menjulang pula keinginanku untuk menyeimbangi predikat yang tengah kurengkuh. Mulai dari sepatu hingga sepeda motor akan menjadi targetanku ketika ayah pulang dari kantor.

Sore itu hujan turun lebat. Berkali-kali petir menghantar—mengejutkan bumi—seolah membelah langit. Aku duduk di serambi rumah. Menanti kedatangan ayah guna menyampaikan keinginanku yang tengah membumbung tinggi. Beberapa jam aku lewati, menanti kehadirannya. Sedikit pun bayangannya belum tampak. Aku gelisah. Ada sedikit  kesal sebab tak seperti biasanya ayah pulang telat seperti ini. Berulang kali ibu menyuruhku makan, tapi aku menolaknya. Detik demi detik aku amati dengan sempurna. ‘Lama sekali ayah ini’ desisku samar-samar terdengar.

“Ayah lama sekali sih, Bu?” tanyaku tak sabar mendekati ibu.
“Hujan, Ga. Mungkin kalau reda, ayah segera sampai rumah,” tutur ibu sambil menyiapkan lauk-pauk untuk ayah. Disajikan nasi putih hangat, sayur bening, serta tempe bacam kesukaan ayah.
“Gara-gara hujan nih, ayah jadi telat pulang. Aarrghh…” repetku lalu kembali menuju serambi.

Senja mengantarkan malam. Hujan pun mereda. Aku masih duduk di serambi depan menanti kedatangan ayah. Dari sekian penantianku,  terlihat dari kejauhan sayup-sayup sosok yang berpakaian baju dinas basah kuyup. ‘Akhirnya ayah sampai’ desisku kembali lalu segera memakai sandal jepit dan mendekati kedatangan ayah. Setelah ia mematikan gas motornya di halaman rumah, ayah masuk. Diletakkannya helm di amben lalu mengibas-ngibaskan rambutnya yang menua.

“Yah, aku butuh motor buat sekolah,” kataku langsung tanpa basa-basi sambil mengintili ayah. Malam itu wajah ayah terlihat sedikit pucat. Ada seberkas kelelahan yang menumpuk di kedua pundaknya. Namun, lagi-lagi aku tak peduli. Yang kuinginkan ialah jawaban ‘nanti ayah belikan’ yang keluar dari bibirnya.
“Aku malu, Yah. Ketua OSIS harus keren dikit,” tambahku lagi.
“Memang kenapa kalau naik angkot, Ga?” tanya ayah dengan nada melirih. Didudukinya kursi rotan. Fadli yang ketika itu tahu ayahnya pulang, segera menghampiri lalu mencium punggung tangan pria yang ditakziminya itu.
“Bagaimana, Yah?” tanyaku setengah memaksa agar ayah menjawab ‘ya’. Sejenak ayah bergeming. Wajahnya semakin pucat. Sesekali ia mengerutkan kening. Seperti menahan rasa sakit yang membumbung di kepalanya. Fadli paham. Ia segera mengambil segelas air hangat untuk ayah.
“Ayah abis kehujanan nih,” Fadli menyodorkan segelas air hangat. Ayah tersenyum tipis lalu meminumnya dengan segera. Sementara aku tak lagi meneruskan permintaanku. Aku menuju kamar. Meskipun ayah tak langsung menjawab ‘ya’, tapi aku yakin ayah sudah tahu mauku. Meskipun ayah sering menipu untuk memenuhi mauku, namun tak jarang sudah beberapa permintaanku dikabulkannya. Hanya saja sepeda yang sejak dulu aku pinta, belum juga diwujudkan. Ah, tak apalah. Sekarang yang kupinta adalah motor. Semoga ayah benar-benar paham dengan kedudukanku di sekolah.
***
Sejak Allah mengirimkan hujan hingga melewati senja emas, ayah mulai jatuh sakit. Sudah tiga hari ia tak berangkat kerja. Kata dokter ayah demam biasa. Syukurlah, semoga bukan sakit yang berkepanjangan. Aku berharap ayah lekas sembuh.

Hari ini aku berpamitan pada ayah, ibu, dan Fadli. Di sekolah ada kemah organisasi gabungan yang memakan waktu tiga hari. Aku sebagai ketua OSIS harus turut serta dalam perkemahan itu. Selintas ada iba dengan keadaan ayah. Ada segumpal kecemasan yang terbesit di pikiran. Ada pula rasa tak tega jika meninggalkannya. Ayah tersenyum sambil mengelus pundakku sebagai sarat menyuruhku untuk segera berangkat.

Hari ke-2 kemah organisasi gabungan. Sudah dua hari pula aku tak dapat kabar ayah. Telpon seluler aku tak punya sehingga sulit menghubungi orang rumah sekadar ingin tahu keadaan ayah. ‘Ah, apa kubilang. Aku minta dibelikan handphone tidak didengar ayah. Ini nih yang aku khawatirkan. Aku kesusahan ingin menghubungi ayah’ repetku kembali.

Malam tiba. Angin liar menyapu wajah. Sementara tulang-tulang inci rasanya seperti ditusuk-tusuk. Dingin memagut tubuh. Aku melipat kedua lengan di dada. Dinginnya semilir angin makin menggerogoti tiap pori kulit. Aku menarik diri dari agenda api unggun. Entah mengapa, pikiranku tak tenang. Ada resah serta gelisah. Ada khawatir yang membuncah. Ada sedih yang merambat secara tak sadar sehingga air mataku jatuh dari sudut mata. Sekuat mungkin aku menggenggam jemariku keras-keras untuk melenyapkan sedih, meleburkan gelisah, serta mematikan kesepianku yang mencuat. ‘Bagaimana keadaan ayah?’ batinku selalu bertanya. Rasa khawatir sesuka hati berserakan dalam jiwa.
***
Aku selalu ingat bahwa Tuhan telah memegang kuasa-Nya berupa rezeki, jodoh, dan maut. Satu pun hamba-Nya takkan pernah tahu kapan rezekinya datang,  jodohnya menyapa, serta kapan maut menyusul. Dan kini aku tengah merasakan kuasa Tuhan yang merayap hebat di batinku. Hatiku sekonyong-konyong menjadi semraut. Sembilu benar-benar menggelayuti dada. Ya Allah…
Innalillahi wa innailaihi rojiun….” nadaku melirih setengah terbata. Air mata tak mampu lagi kubendung. Siluet indah di langit rasanya percuma menampakkan wujudnya di bayang mata. Aku terisak hebat setelah mendapat kabar dari rumah. Tengah malam tadi, ayah menghembuskan napas terakhir. Allahu akbar

Aku menyeruak dari tenda kemah. Tanpa peduli aktivitas kawan-kawan, aku memnta izin pada bapak pembina. Aku sampaikan tentang sembilu yang tengah merambat sekujur tubuhku hingga lututku terasa lemas. Karena khawatir dengan keadaanku, Bayu, sekretaris OSIS yang berwajah tirus, mengantarku pulang ke rumah. Motor yang dikendarai Bayu melesat dengan cepat menuju rumah.
Aku tiba di rumah. Beberapa puluh meter dari keberadaanku, bendera kuning dipasang. Simbol berduka tak bisa dihindarkan. Aku berjalan gontai. Lututku makin lemas. Kepalaku terasa berat dan sakit. Tubuhku seketika gemetar. Pilu menjadi pukat hariku. Lidahku ikutan kelu. Ingin menjerit histeris, seperti ada yang menahan. ‘Ayah…’ gumamku lemas dan tubuhku benar-benar tak ada energi. Belum sampai di muka pintu, aku terjatuh. Aku pingsan. Aku tak bisa menerima kenyataan yang Allah sajikan untukku.


Teruntuk putra sulung ayah…
Maafkan ayah tak pernah bisa memberi yang terbaik apa yang kau pinta. Sebab ternyata Allah tengah mempersiapkanmu dengan sejuta kesabaran.
Maafkan ayah tak pernah bisa menepati janji atas semua pintamu. Sebab ternyata Allah tengah mengajarkanmu hakikat menjadi sosok yang jujur.
Maafkan ayah tak pernah elok dalam bersikap. Sebab ternyata Allah tengah menunjukkanmu bagaimana memiliki akhlak mulia.
Maafkan ayah dengan sejuta kekurangan. Sebab ternyata Allah tengah mengajarkanmu arti ketidaksempurnaan atas setiap makhluk ciptaan-Nya.















Aku melipat surat yang sempat ayah goreskan tintanya di secarik kertas sebelum rindu Allah menjemputnya. Air mataku hari itu bagaikan bah yang menganak. Inilah nada paling miris yang kuterima dari sekian catatan hidup yang Allah beri. Aku memeluk ibu juga Fadli. Sebelum ayah dikafankan, aku mencium kening serta pipinya yang dingin. Tatapan wajah terakhir dan setelah itu aku hanya mampu mengenang. Senyum kekalnya tetap menghantar batinku. Takkan bisa lekang.
***
Ayah memang tak membelikanku motor sesuai dengan permintaanku. Namun, ternyata ia telah menyiapkan sepeda untukku tatkala hujan menghunjam di senja itu. Beberapa hari sepeninggalan ayah, ada kiriman sepeda dari pihak toko. Salah seorang yang mengantarkan sepeda itu berkata bahwa ayah membayarkan barang itu secara kredit hampir genap setahun. Sebab pihak toko tidak akan mengizinkan barang dagangannya dibawa pulang jika tidak lunas.

Air mataku banjir kembali. Dadaku terasa dipukul-pukul genderang dan aku mengerang kesakitan. Allah… mengapa selama ini Kau tutup hatiku untuk menerima kasih sayang ayah yang melangit? Allah… mengapa selama ini Kau jadikan lisanku kelu berucap terima masih padanya? Allah… mengapa selama ini Kau kunci pendengaranku dari nasihat-nasihatnya yang menyejukkan? Allah… mengapa semua ini Kau tuangkan dalam diriku? Astaghfirullah, ya Allah… maafkan hamba yang menyalahi-Mu. Hamba sungguh hina.

Sepeda dari ayah, kugunakan baik-baik. Kepergiaan ayah, kumaknai dengan hati lapang. Setelah sepeninggalannya, ternyata aku bisa menggantikan posisi ayah meski tak sepenuhnya dan sebijak ayah. Setidaknya, aku dapat merasakan kerja paruh waktu setelah pulang sekolah. Lelah yang tak henti. Mungkin ini yang ayah rasa. Mungkin semakin pedih tatkala permintaanku membebani kedua pundaknya. Aku kerja paruh waktu hingga lulus kuliah dan mendapatkan kerja yang layak.
***
Hampir genap sepuluh tahun rindu tak juga menyurut. Aku kembali menggenggam surat usang dari ayah. Membacanya penuh lirih. Air mataku menitik. Surat terakhir yang ayah beri ketika itu, masih kusimpan rapi. Kubaca dan kuselami dalam. Aku terhanyut dan terkulai lemas. Rindu hadirnya. Rindu senyum kekalnya yang terpaut dalam bayang-bayang.

Tiba-tiba suara anak pintu dibuka perlahan. Seseorang datang menghampiriku.
“Angga, ayo buruan,” suara setengah parau hinggap di telinga. Aku hafal jelas idiolek itu. Ibu datang membuyarkan kepedihanku yang meratap.
“Salsa dan keluarga sudah menunggu. Dia tadi telpon kamu tapi kamu nggak angkat-angkat,” tambah ibu.
“Mas Angga. Ayo buruan! Nanti Mas ditinggal pergi penghulu lho!” ledek Fadli sambil menaikkan kedua alisnya. Aku terkesiap. Aku hampir linglung jika hari ini waktunya menggenapkan separuh dinku di hadapan Allah. Melabuhkan hatiku pada Salsabila, wanita lembut—berbudi baik—teman kampusku yang diam-diam aku sukai. Aku tergila-gila dengan tulisannya di beberapa buku karyanya yang berhasil mendulang best seller. Aku segera bergegas meraih jas hitam yang telah disiapkan semalam. Kukenakan jas itu. Tak dipungkiri aku tampan. Perawakan ayah sangat kental diwarisi padaku.

Perlahan aku membuka laci meja. Meraih kotak kecil yang berisi mahar emas permintaan Salsa. Aku meliukkan sejumput senyum pada cincin manis pilihan calon bidadariku itu. Kulirik sekali lagi diriku di cermin. Selintas seperti ada senyum ayah kulihat. Aku mengerjapkan mata sejenak lalu menghirup udara lepas. Rindu menyeruak untuk ayah. ‘Doakan aku, Yah. Agar aku dapat menjadi sosok sepertimu’ aku membatin lalu bergegas menuju pernikahan suciku.
***

Membedakan Sifat-Sifat dan Ragam Bahasa

Silakan pahami narasi-narasi berikut sehingga Saudara dapat memahami perbedaan sifat-sifat bahasa! 1. Fakta sejarah bahwa orang atau kelompo...