Ahad kelabu. Mega di luar sana abu-abu. Mulai meringis
dan tak lama menangis. Menitik perlahan membasahi bumi yang rindu langit
mengais gerimis…
Rinai belum juga usai membalut kota—ditemani bau tanah kering yang
sekonyong-konyong menyeruak—serasa menuai sembilu. Ada rindu. Ada pilu.
Ada penyesalan yang tak lekang. Ada asa yang tak tergapai sehingga
kumerasa malang. Adapula pengaktualisasian cinta yang tak sempat kuucap
sayang.
Aku menatap jalan dari bilik jendela kamar berteralis besi yang
berkarat merah. Di sana terlihat tanaman perdu memenuhi sebagian tepi
jalan. Jalan yang sempat kuukir kenangan bersamanya. Di jalan itu—ketika
dulu—aku sempat uring-uringan padanya. Memaksanya untuk menggendongku
tanpa memedulikan asam uratnya yang belum kunjung binasa. Dan di jalan
itu pula—kali terakhir aku menatap wujudnya penuh
nelangsa—mengantarkannya menuju pusara.
Air mataku belum usai menitik. Pilu benar-benar tengah memagut di
sela awan berkabut. Rindu rasanya mencekik. Lisan sudah tak kuasa
memekik. Allah… Mengapa Kau ciptakan aku seorang yang picik? Mengapa Kau
gelapkan hatiku yang sudah tak terlihat, terlebih tak bisa merasa.
Allah… Mengapa Kau baru tampar aku dengan kasih sayang? Mengapa kini Kau
baru terangi, Kau bumbui hatiku dengan rasa setelah Kau silaukan aku
dengan caya-Mu. Penyesalanku berkelebat hebat.
Rindu tengah mendera. Penyesalan juga meraja. Semua itu tengah
kutujukan untuk seorang hamba semata. Dia yang selalu kucerca hatinya.
Dia yang dulu selalu kurongrongi ini itu tak ada habisnya. Dia yang
sekali pun tak pernah meletupkan amarahnya. Dan dia yang memiliki senyum
kekal di raut wajahnya. Dia … adalah ayah.
Ya, ayah. Dia seorang hamba yang bersahaja, juga tak banyak bicara.
Ayah yang tak pernah kuhitung berapa kali ia telah berbuat baik padaku.
Sejatinya, tak patut jika aku menghitung kebaikannya sebab memang takkan
pernah bisa terhitung.
Aku kembali memandangi langit-langit kamar yang bersawang halus.
Mengamati sisi-sisi dinding yang bercatkan pudar. Lalu aku menatap satu
per satu benda-benda yang tersaji di kamarku. Aku meraih satu bingkai
foto yang masih tertata rapi di meja kecil samping ranjang tidurku. Di
foto itu, ada aku, ibu, ayah, dan Fadli, adikku yang usianya terpaut
empat tahun lebih muda dariku. Tampak di foto itu, meliuk manis
bibir-bibir mereka yang merekah, tidak seperti aku. Raut wajahku tak ada
bagusnya. Aku ingat jelas, ketika itu ayah memaksaku berfoto. Aku
sedang marah besar padanya sebab ia selalu ingkar dengan janji. Alhasil,
wajahkulah yang paling tak enak dipandang setelah hasil jepretan foto
dicetak.
“Jadi kapan ayah belikan aku sepeda?” tanyaku saat itu dengan
intonasi meninggi. Ayah menatapku lekat-lekat dengan rasa iba. Serasa
ada sembilu di batinnya sebab tak dapat memenuhi keinginanku. Tak lama
ia mengulas senyum lalu menjawab, “Sabar ya, Ga. Pasti nanti Ayah
belikan sepeda.”
“Ayah janji mulu deh. Yang kemarin aja ayah belum belikan kaos,” tukasku setengah membentak.
“Iiiiih… Mas Angga ini lhooo. Kayak anak kecil. Sabar napa?” sela
Fadli sambil memasang wajah cemberut. Ia memang lebih dewasa dalam
bersikap dibandingkanku. Sementara ibu tersenyum datar memandangi
keegoisanku.
“Heeeh… dasar anak kecil! Jangan sok tahu. Ayah itu udah berapa kali
janji dan udah berapa kali bohong?” aku langsung memalingkan wajah.
Memendarkan pandangan pada sederet etalase di mall.
“Iya. Tapi kan Mas…“
“Halaaaaah… diam kamu! Mas kesel sama ayah yang tukang janji!”
ketusnya. Fadli menundukkan wajahnya yang mengerut. Air mata hampir
berlinang di pelupuk mata. Ayah hanya menelan ludah. Seolah ada getir
yang masuk di kerongkongannya tatkala terhempas kata-kata dari lisan
putra sulungnya. Ada semraut sedih yang tersimpan di balik wajah ayah meski senyum ia
tebarkan untukku. Namun, aku tak begitu peduli. Yang kuingini ialah ayah
dapat menepati janji dan memenuhi permintaan-permintaanku yang belum
terbayar.
***
Semustinya, sejak dulu aku sadar. Siapa aku, siapa ayahku, bagaimana
keadaan dapur kami. Ayah hanya seorang pegawai negeri sipil yang
bergolongan rendah. Uang gajinya tiap bulan pun sebagian besar untuk
memenuhi dapur agar tetap mengebul. Sementara sisanya digunakan untuk
ongkos aku dan Fadli ke sekolah sehari-hari. Entah, apakah ayah bisa
menikmati penuh gajinya? Aku pun tak ingin tahu itu.
Entah, mengapa kala itu Allah menutup hatiku untuk memiliki rasa iba?
Setiap apa yang kupinta, ayah tak pernah menolak selagi yang terbaik
untukku. Entah, mengapa kala itu Allah menjadikanku seorang anak sulung
yang egois? Jauh berbanding terbalik dengan sikap Fadli yang tak rewel
ini itu. Permintaan demi permintaan tak ada henti aku sodorkan tatkala
ayah pulang kerja tanpa memikirkan peluhnya yang belum menyurut. Namun,
lagi-lagi amarahnya tak pernah tersurat untukku. Senyum ranumnya yang
lembut selalu disemainya di hadapanku.
***
Aku beranjak dewasa. Siswa Kelas II SMA tengah kujabat dengan penuh
bangga. Prestasi-prestasi yang kugenggam di dunia tulis-menulis pun
kuukir untuk nama harum sekolah. Ditambah lagi aku diamanahkan sebagai
Ketua OSIS. Tak sedikit wanita di sekolah yang menyatakan perasaannya
terhadapku. Namun, kukatakan tidak untuk cinta. Sebab cinta itu laksana
elegi yang menukik hati. Sakit dan pedih.
Namaku melangit di sekolah. Semua warga sekolah tanpa terkecuali
pasti mengenalku: Angga Setiawan Putra, Sang Ketua OSIS yang unggul di
akademik dan organisasi. Semakin menjulang pula keinginanku untuk
menyeimbangi predikat yang tengah kurengkuh. Mulai dari sepatu hingga
sepeda motor akan menjadi targetanku ketika ayah pulang dari kantor.
Sore itu hujan turun lebat. Berkali-kali petir menghantar—mengejutkan
bumi—seolah membelah langit. Aku duduk di serambi rumah. Menanti
kedatangan ayah guna menyampaikan keinginanku yang tengah membumbung
tinggi. Beberapa jam aku lewati, menanti kehadirannya. Sedikit pun
bayangannya belum tampak. Aku gelisah. Ada sedikit kesal sebab tak
seperti biasanya ayah pulang telat seperti ini. Berulang kali ibu
menyuruhku makan, tapi aku menolaknya. Detik demi detik aku amati dengan
sempurna
. ‘Lama sekali ayah ini’ desisku samar-samar terdengar.
“Ayah lama sekali sih, Bu?” tanyaku tak sabar mendekati ibu.
“Hujan, Ga. Mungkin kalau reda, ayah segera sampai rumah,” tutur ibu
sambil menyiapkan lauk-pauk untuk ayah. Disajikan nasi putih hangat,
sayur bening, serta tempe bacam kesukaan ayah.
“Gara-gara hujan nih, ayah jadi telat pulang. Aarrghh…” repetku lalu kembali menuju serambi.
Senja mengantarkan malam. Hujan pun mereda. Aku masih duduk di
serambi depan menanti kedatangan ayah. Dari sekian penantianku,
terlihat dari kejauhan sayup-sayup sosok yang berpakaian baju dinas
basah kuyup.
‘Akhirnya ayah sampai’ desisku kembali lalu segera
memakai sandal jepit dan mendekati kedatangan ayah. Setelah ia
mematikan gas motornya di halaman rumah, ayah masuk. Diletakkannya helm
di
amben lalu mengibas-ngibaskan rambutnya yang menua.
“Yah, aku butuh motor buat sekolah,” kataku langsung tanpa basa-basi sambil
mengintili
ayah. Malam itu wajah ayah terlihat sedikit pucat. Ada seberkas
kelelahan yang menumpuk di kedua pundaknya. Namun, lagi-lagi aku tak
peduli. Yang kuinginkan ialah jawaban ‘nanti ayah belikan’ yang keluar
dari bibirnya.
“Aku malu, Yah. Ketua OSIS harus keren dikit,” tambahku lagi.
“Memang kenapa kalau naik angkot, Ga?” tanya ayah dengan nada
melirih. Didudukinya kursi rotan. Fadli yang ketika itu tahu ayahnya
pulang, segera menghampiri lalu mencium punggung tangan pria yang
ditakziminya itu.
“Bagaimana, Yah?” tanyaku setengah memaksa agar ayah menjawab ‘ya’.
Sejenak ayah bergeming. Wajahnya semakin pucat. Sesekali ia mengerutkan
kening. Seperti menahan rasa sakit yang membumbung di kepalanya. Fadli
paham. Ia segera mengambil segelas air hangat untuk ayah.
“Ayah abis kehujanan nih,” Fadli menyodorkan segelas air hangat. Ayah
tersenyum tipis lalu meminumnya dengan segera. Sementara aku tak lagi
meneruskan permintaanku. Aku menuju kamar. Meskipun ayah tak langsung
menjawab ‘ya’, tapi aku yakin ayah sudah tahu mauku. Meskipun ayah
sering menipu untuk memenuhi mauku, namun tak jarang sudah beberapa
permintaanku dikabulkannya. Hanya saja sepeda yang sejak dulu aku pinta,
belum juga diwujudkan. Ah, tak apalah. Sekarang yang kupinta adalah
motor. Semoga ayah benar-benar paham dengan kedudukanku di sekolah.
***
Sejak Allah mengirimkan hujan hingga melewati senja emas, ayah mulai
jatuh sakit. Sudah tiga hari ia tak berangkat kerja. Kata dokter ayah
demam biasa. Syukurlah, semoga bukan sakit yang berkepanjangan. Aku
berharap ayah lekas sembuh.
Hari ini aku berpamitan pada ayah, ibu, dan Fadli. Di sekolah ada
kemah organisasi gabungan yang memakan waktu tiga hari. Aku sebagai
ketua OSIS harus turut serta dalam perkemahan itu. Selintas ada iba
dengan keadaan ayah. Ada segumpal kecemasan yang terbesit di pikiran.
Ada pula rasa tak tega jika meninggalkannya. Ayah tersenyum sambil
mengelus pundakku sebagai sarat menyuruhku untuk segera berangkat.
Hari ke-2 kemah organisasi gabungan. Sudah dua hari pula aku tak
dapat kabar ayah. Telpon seluler aku tak punya sehingga sulit
menghubungi orang rumah sekadar ingin tahu keadaan ayah.
‘Ah, apa
kubilang. Aku minta dibelikan handphone tidak didengar ayah. Ini nih
yang aku khawatirkan. Aku kesusahan ingin menghubungi ayah’ repetku kembali.
Malam tiba. Angin liar menyapu wajah. Sementara tulang-tulang inci
rasanya seperti ditusuk-tusuk. Dingin memagut tubuh. Aku melipat kedua
lengan di dada. Dinginnya semilir angin makin menggerogoti tiap pori
kulit. Aku menarik diri dari agenda api unggun. Entah mengapa, pikiranku
tak tenang. Ada resah serta gelisah. Ada khawatir yang membuncah. Ada
sedih yang merambat secara tak sadar sehingga air mataku jatuh dari
sudut mata. Sekuat mungkin aku menggenggam jemariku keras-keras untuk
melenyapkan sedih, meleburkan gelisah, serta mematikan kesepianku yang
mencuat.
‘Bagaimana keadaan ayah?’ batinku selalu bertanya. Rasa khawatir sesuka hati berserakan dalam jiwa.
***
Aku selalu ingat bahwa Tuhan telah memegang kuasa-Nya berupa rezeki,
jodoh, dan maut. Satu pun hamba-Nya takkan pernah tahu kapan rezekinya
datang, jodohnya menyapa, serta kapan maut menyusul. Dan kini aku
tengah merasakan kuasa Tuhan yang merayap hebat di batinku. Hatiku
sekonyong-konyong menjadi semraut. Sembilu benar-benar menggelayuti
dada. Ya Allah…
“
Innalillahi wa innailaihi rojiun….” nadaku melirih setengah
terbata. Air mata tak mampu lagi kubendung. Siluet indah di langit
rasanya percuma menampakkan wujudnya di bayang mata. Aku terisak hebat
setelah mendapat kabar dari rumah. Tengah malam tadi, ayah menghembuskan
napas terakhir.
Allahu akbar…
Aku menyeruak dari tenda kemah. Tanpa peduli aktivitas kawan-kawan,
aku memnta izin pada bapak pembina. Aku sampaikan tentang sembilu yang
tengah merambat sekujur tubuhku hingga lututku terasa lemas. Karena
khawatir dengan keadaanku, Bayu, sekretaris OSIS yang berwajah tirus,
mengantarku pulang ke rumah. Motor yang dikendarai Bayu melesat dengan
cepat menuju rumah.
Aku tiba di rumah. Beberapa puluh meter dari keberadaanku, bendera
kuning dipasang. Simbol berduka tak bisa dihindarkan. Aku berjalan
gontai. Lututku makin lemas. Kepalaku terasa berat dan sakit. Tubuhku
seketika gemetar. Pilu menjadi pukat hariku. Lidahku ikutan kelu. Ingin
menjerit histeris, seperti ada yang menahan.
‘Ayah…’ gumamku
lemas dan tubuhku benar-benar tak ada energi. Belum sampai di muka
pintu, aku terjatuh. Aku pingsan. Aku tak bisa menerima kenyataan yang
Allah sajikan untukku.
|
|
Teruntuk putra sulung ayah…
Maafkan ayah tak pernah bisa memberi yang terbaik apa yang kau
pinta. Sebab ternyata Allah tengah mempersiapkanmu dengan sejuta
kesabaran.
Maafkan ayah tak pernah bisa menepati janji atas semua pintamu.
Sebab ternyata Allah tengah mengajarkanmu hakikat menjadi sosok yang
jujur.
Maafkan ayah tak pernah elok dalam bersikap. Sebab ternyata Allah tengah menunjukkanmu bagaimana memiliki akhlak mulia.
Maafkan ayah dengan sejuta kekurangan. Sebab ternyata Allah
tengah mengajarkanmu arti ketidaksempurnaan atas setiap makhluk
ciptaan-Nya.
|
|
Aku melipat surat yang sempat ayah goreskan tintanya di secarik
kertas sebelum rindu Allah menjemputnya. Air mataku hari itu bagaikan
bah yang menganak. Inilah nada paling miris yang kuterima dari sekian
catatan hidup yang Allah beri. Aku memeluk ibu juga Fadli. Sebelum ayah
dikafankan, aku mencium kening serta pipinya yang dingin. Tatapan wajah
terakhir dan setelah itu aku hanya mampu mengenang. Senyum kekalnya
tetap menghantar batinku. Takkan bisa lekang.
***
Ayah memang tak membelikanku motor sesuai dengan permintaanku. Namun,
ternyata ia telah menyiapkan sepeda untukku tatkala hujan menghunjam di
senja itu. Beberapa hari sepeninggalan ayah, ada kiriman sepeda dari
pihak toko. Salah seorang yang mengantarkan sepeda itu berkata bahwa
ayah membayarkan barang itu secara kredit hampir genap setahun. Sebab
pihak toko tidak akan mengizinkan barang dagangannya dibawa pulang jika
tidak lunas.
Air mataku banjir kembali. Dadaku terasa dipukul-pukul genderang dan
aku mengerang kesakitan. Allah… mengapa selama ini Kau tutup hatiku
untuk menerima kasih sayang ayah yang melangit? Allah… mengapa selama
ini Kau jadikan lisanku kelu berucap terima masih padanya? Allah…
mengapa selama ini Kau kunci pendengaranku dari nasihat-nasihatnya yang
menyejukkan? Allah… mengapa semua ini Kau tuangkan dalam diriku?
Astaghfirullah, ya Allah… maafkan hamba yang menyalahi-Mu. Hamba sungguh hina.
Sepeda dari ayah, kugunakan baik-baik. Kepergiaan ayah, kumaknai
dengan hati lapang. Setelah sepeninggalannya, ternyata aku bisa
menggantikan posisi ayah meski tak sepenuhnya dan sebijak ayah.
Setidaknya, aku dapat merasakan kerja paruh waktu setelah pulang
sekolah. Lelah yang tak henti. Mungkin ini yang ayah rasa. Mungkin
semakin pedih tatkala permintaanku membebani kedua pundaknya. Aku kerja
paruh waktu hingga lulus kuliah dan mendapatkan kerja yang layak.
***
Hampir genap sepuluh tahun rindu tak juga menyurut. Aku kembali
menggenggam surat usang dari ayah. Membacanya penuh lirih. Air mataku
menitik. Surat terakhir yang ayah beri ketika itu, masih kusimpan rapi.
Kubaca dan kuselami dalam. Aku terhanyut dan terkulai lemas. Rindu
hadirnya. Rindu senyum kekalnya yang terpaut dalam bayang-bayang.
Tiba-tiba suara anak pintu dibuka perlahan. Seseorang datang menghampiriku.
“Angga, ayo buruan,” suara setengah parau hinggap di telinga. Aku
hafal jelas idiolek itu. Ibu datang membuyarkan kepedihanku yang
meratap.
“Salsa dan keluarga sudah menunggu. Dia tadi telpon kamu tapi kamu nggak angkat-angkat,” tambah ibu.
“Mas Angga. Ayo buruan! Nanti Mas ditinggal pergi penghulu lho!”
ledek Fadli sambil menaikkan kedua alisnya. Aku terkesiap. Aku hampir
linglung jika hari ini waktunya menggenapkan separuh dinku di hadapan
Allah. Melabuhkan hatiku pada Salsabila, wanita lembut—berbudi
baik—teman kampusku yang diam-diam aku sukai. Aku tergila-gila dengan
tulisannya di beberapa buku karyanya yang berhasil mendulang
best seller.
Aku segera bergegas meraih jas hitam yang telah disiapkan semalam.
Kukenakan jas itu. Tak dipungkiri aku tampan. Perawakan ayah sangat
kental diwarisi padaku.
Perlahan aku membuka laci meja. Meraih kotak kecil yang berisi mahar
emas permintaan Salsa. Aku meliukkan sejumput senyum pada cincin manis
pilihan calon bidadariku itu. Kulirik sekali lagi diriku di cermin.
Selintas seperti ada senyum ayah kulihat. Aku mengerjapkan mata sejenak
lalu menghirup udara lepas. Rindu menyeruak untuk ayah.
‘Doakan aku, Yah. Agar aku dapat menjadi sosok sepertimu’ aku membatin lalu bergegas menuju pernikahan suciku.
***