oleh Destiani
Hampir dua minggu belakangan ini, rinai setia mengguyuri
Bandarlampung, tak terkecuali untuk hari ini. Seperti biasa, agenda
mingguan wajibku jelang senja: tahsin tajwid di Daarul Hikmah. Langit
murung kutatap. Sebelu berangkat, rasa enggan berkelebat hebat di
diriku. sore itu aku tengah kusyuk menulis--hobiku sejak SMP--sehingga
rasanya malas untuk mengerjakan hal lain, termasuk keluar rumah lalu
menuju Daarul Hikmah. Setengah bersungut-sungut aku mencoba mengumpulkan
semangat, mengingat niat yang kuluruhkan dalam sukma, serta asaku untuk
menjadi guru ngaji, insyaAllah. Alhasil, badan masih kumel karena belum
mandi sejak pagi, buru-buru kuserbu kamar mandi dan kuguyuri sekujur
badan.Jarum jam menunjuk pukul 15.40, itu artinya aku harus segera
sampai dalam waktu 20 menit dari Telukbetung Selatan--Gedong Meneng.
Motor kulaju dengan kecepatan cukup tinggi sehingga beberapa hampir keserempet pengendara lain. Namun,
Alhamdulillah,
Allah tetap menjaga keselamatanku.Gas motor kumatikan tepat di parkiran
depan Masjid Daarul Hikmah. Hanya tersisa kurang lebih dua puluh meter,
Kelas Tajwid segera kudapatkan. Kuperlambat langkah kakiku sambil
memerhatikan kelas-kelas yang kulewati. Di sisi kanan dariku, ada kelas
Murobbi, subhanallah, para murobbiyah yang ada di dalam sana, yang
berdakwah sambil membawa buah hati mereka. Langsung terlintas di
pikiranku, kalau niat, komitmen, dan ikhlas sudah tertanam, dunia takkan
menjadi apa-apa. Semoga kelak aku dapat menyusul para pendakwah itu,
aamiin ya Rabb.
Tepat di depan Kelas Tahsin Tajwid, aku melepas sepasang sandalku
yang mulai bulul--hadiah pemberian mbak pertamaku--hadiah miladku yang
ke-24 tahun. Masih di ruangan yang sama, persis satu minggu lalu. Di
ruangan itu, dibagian menjadi dua sekat. Sekat bagian kanan digunakan
untuk program cek tilawah, sementara sekat yang satunya untuk program
yang tengah kuambil: tahsin tajwid. Seketika hatiku bergetar, bangga,
serta asma-asma Allah selalu terucap dalam hati. Betapa indahnya
suara-suara yang keluar dari lisan para pembaca Quran yang letaknya
bersampingan denganku. Decak kagum.
Subhanallah, subhanallah, subhanallah... Allahuakbar. Makhrojul, panjang-pendek, serta kelancaran bertilawah, membuatku rasanya ingin sepandai melantunkan Alquranul karim.
Subhanallah...
Sementara di bagian sekat--tempat program tahsin tajwid--masih dipenuhi
beberapa pebelajar. Ada aku, Vivi, Hisna dan Pak Rohim. Namun, beberapa
saat disusul dengan kehadiran Pak Muslim, Pak Fuad, Pak Apri, juga
Harly. Dan tak ketinggalan Pak Ust.Mufid yang memesona sebab tilawahnya
yang menyejukkan hati. Lamat-lamat kupandangi wajah mereka satu-satu.
Seperti Pak Muslim, Pak Rohim, dan Pak Fuad--mereka sudah cukup
berumur--semangat luar biasa untuk bisa mengaji membuatku makin
bersemangat. Aku ingat jelas dengan ayat Allah yang artinya
" Bacalah (Wahai Muhammad) Dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan
(sekalian makhluk), Ia menciptakan manusia dari sebuku darah beku;
Bacalah, dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah, Yang mengajar manusia melalui
Pena dan tulisan,Ia mengajarkan manusia apa Yang tidak diketahuinya." (Al-'Alaq : 1--5)
Dalam hati kuberkata, wajah-wajah yang mulai tengah berkerut itu,
yang pelan-pelan memelajari makhrojul huruf, yang pelan-pelan pula
memperbaiki bacaannya, juga dengan sabar mendengar penjelasan ustad,
sesungguh mereka akan tersenyum di hari akhir kelak sebab dengan usia
yang menua, namun tak letih untu terus belajar kalam Allah. Semangat
mereka, senyum malu mereka lantaran terdapat bacaan yang salah,
kesabaran, ketekunan, serta merelakan waktu yang terbuang untuk belajar
yang mungkin bisa jadi waktunya bisa digunakan untuk beristirahat dan
berkumpul dengan keluarga. Subhanallah...Mempratikkan dengan pembacaan
Alquran yang benar ialah fardhu 'ain, itu artinya tanpa terkecuali
ketika melantunkan ayah-ayat Allah harus sesuai dengan aturan yang telah
ditetapka. Sesungguhnya Allah akan memudahkan bagi hamba-Nya yang
mempelajari Alquran.Itulah janji Allah.Senja mulai datang. Jam tahsin
kami pun selesai. Para pebelajar sudah bermaburan, termasuk aku yang
sebelumnya berpamitan dengan teman-teman. Sebelum kuinjak keras engkol
motor tuaku, sejenak aku menuju kamar mandi yang letaknya tepat di
belakang masjid. Mataku setengah menilik ke dalam, melihat orang yang
sedang tepekur dalam masjid. Ada raut yang sangat kukenal. Oh, ternyata,
Beliau adalah rekan di kantorku. Panggilannya ialah Abi Ozi--lulusan
Kairo, Mesir--kebetulan berteman dengan penulis terkenal se-Asia:
Habiburrahman El-Shirazi. Yang membuat kukagum ialah ketekunannya,
kekhusyukannya, mata-hati yang dijaga Allah untuk tidak letihnya membaca
mushaf itu. Subahanallah, tak henti-henti kulontarkan dalam hati.
Senja hampir mengiringi azan. Semilir angin semayup-mayup menusuki
tulang inci. Aku mulai kedinginan. Namun, semangatku tak henti untuk
belajar tatkala teringat wajah-wajah pilihan Allah itu yang giat
memelajari Alquran. Lagi-lagi mataku terhenti di satu titik pelataran
masjid. Di sana ada Pak Rohim--pebelajar kelas tajwid--yang sudah
kusampaikan di awal. Ia masih berkutat dengan buku diktat tajdiwnya. Aku
menegurnya sesaat, "Wah, subhanallah, Pak, sudah selesai tapi masih
belajar saja." Dengan sunggingan senyum sambil menyerinai beberapa gigi
depannya, ia pun menjawab "Iya, biar saya bisa."
Subhanallah, aku terenyuh dengan jawabnanya. Sesaat aku menunduk,
menatap tanah yang basah lalu sekilas juga menatap langit senja yang
mendung. Wahai tanah, langit, serta seisi yang ada di bumi ini,
kalianlah adalah sakti untu para pebelajar, untuk mereka--orang-orang
pilihan Allah--yang giat mempelajari Alquran. Kuyakin, di hari akhir
kelas, huruf-huruf itu akan menghampiri orang-orang yang menekuni
ayat-ayatmu, ya Rabb. Semoga kita selalu terjaga dengan Alquran. Semoga
Alquran menjadi nahkoda hidup kita.
Sabtu, 21.23 WIB