Sejak
tiga belas tahun lalu, aku tak mau sepeda baru. Tidak juga baju baru laiknya
bocah kecil seusiaku. Aku hanya ingin ayah meski desau kulalui.
Saat kutulis kisah ini, senja telah lama
berjingkat. Langit berganti gelap. Malam dan dingin menyandingiku bersama rasa
tawar yang hambar. Kantuk menggigit perih dua bola mataku. Bunga tidur merajuk
manja—memintaku agar segera usai menulis—meluruhkan lelah dengan melelapkan
mata. Hentikan mimpiku barang sejenak.
Mimpi.
Masih pantaskah aku bermimpi? Ingin ini dan itu, sementara separuh hidupku
merapuh sejak lama. Mimpi. Masih layakkah ia kukejar, sementara salah satu
“sayapku” susut begitu saja. Aku nestapa. Ayah, tahukah kau? Ada lirih yang
menggigil inginkan engkau.
Ayah,
mungkin kau tahu, aku bukanlah buah hatimu yang pandai meraung bila satu hadiah
saja kau tak penuhi. Ayah, mungkin kau juga hafal siapa anakmu yang paling rajin
sajikan secangkir kopi di pagi hari tatkala dengkuranmu masih nyaring-mengudara.
Ayah, tahukah kau ada sembilu di dada. Menari-mengukiri putaran waktu tiap
desah napasku.
Ayah,
aku ingat sekali. Kala itu aku masih duduk di bangku SMP. Waktu menunjukkan
pukul 14.00. Para siswa berhamburan dari kelas. Begitu juga aku. Mereka
berlari, menuju ayahnya yang sudah duduk manis menjemput putra-putrinya. Sementara
aku tak temui engkau di sana. Aku menahan sedih amat kentara. Aku harus
berjalan cukup jauh hingga kutemui mobil angkutan umum menuju rumah. Aku iri
dengan mereka, Yah. Satu-satu temanku melambaikan tangannya lalu hilang dari
pandangan. Sedih itu kutahan dalam batin, Yah. Tahukah engkau, ayah?