Mengapa ada tangis?
Bukankah lara itu sejak dulu Kau yang seduh, tapi baru Kau teguk kini.
Nikmatilah.
Minggu, 11 November 2012
Sabtu, 10 November 2012
Kekhalifahan Abu Bakar Shiddiq RA
Oleh: Samin Barkah, Lc
Ketika
Rasulullah saw wafat, para sahabat berselisih pandangan. Sebagian
sahabat mengatakan bahwa Rasulullah saw telah wafat dan sebagian yang
lain mengatakan bahwa Rasulullah saw tidak meninggal. Ketika berita
kematian Rasulullah saw sampai ke Abu Bakar Shiddiq RA, beliau
mendatangi rumah Rasulullah saw dan membuka penutup wajah lalu
menciumnya dan telah ternyata Rasulullah saw telah wafat. Kemudian
beliau keluar dan menemui para sahabat lalu berkata,
“Barang siapa yang menyembah Muhammad, ketahuilah bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad saw telah wafat. Barang siapa yang menyembah Allah Taala, ketahuilah bahwa Allah Hidup, tidak wafat. Allah berfirman,
Setelah mendengar ayat ini, hati mereka menjadi tenang dan hilanglah segala kegundahan dan keraguan. Kemudian kaum muslimin berkumpul di Saqifah Bani Sa’adah. Di sana mereka bermusyawarah perihal pengganti Rasulullah saw sebagai pemimpin tertinggi kaum muslimin.
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam, antara kaum sahabat Anshar dan sahabat Muhajirin. Masing-masing mengunggulkan kandidat-kandidat kaumnya untuk tampil sebagai khalifah. Pemuka Anshar, Basyir bin Saad r.a, menentramkan kaumnya dengan mengingatkan bahwa kaum Anshar membela Islam semata-mata untuk mencari ridha Allah Taala serta sebagai bentuk ketaatan pada Rasulullah saw hingga tidak pada tempatnya untuk berebut kekuasaan dengan Muhajirin. Taushiyah yang disampaikan dengan sangat bijaksana ini akhirnya mampu mendinginkan hati sahabat Anshar.
Dari sahabat Muhajirin, Abu Bakar RA mengusulkan untuk mengangkat Umar bin Khathab RA dan Abu Ubaidah bin Jarrah r.a untuk menjadi khalifah pengganti Rasulullah saw. Namun keduanya langsung menolak, bahkan Umar bin Khathab langsung memegang tangan Abu Bakar r.a dan membaiatnya menjadi khalifah diikuti oleh Abu Ubaidah r.a, Basyir bin Saad r.a, dan para sahabat lainnya.
Abu Bakar Shiddiq RA adalah salah seorang sahabat yang pertama masuk Islam. Beliau giat melakukan dakwah meski di bawah tekanan, dan beliaulah sahabat Rasul saw yang secara eksplisit namanya diabadikan dalam Al-Quran. (At-Taubah:40)
Selain itu track record beliau sebagai orang yang ‘bersih’, berani, tegas, dan memiliki keberpihakan pada masyarakat kecil telah diakui oleh para konstituennya tersebut. Selain itu sifat rendah hati Abu Bakar Ash-Shiddiq RA tidak luntur meski dia terpilih menjadi khalifah secara aklamasi.
Tidak ada seorang pun yang menolaknya, termasuk Ali bin Abi Thalib (sebagian orang menyangka bahwa ia telat berbaiat kepada Abu Bakar Shiddiq r.a).
Ibnu Katsir berkata, “Baiat Ali bin Abi Thalib kepada Abu Bakar Shiddiq RA terjadi pada hari pertama atau hari kedua pengangkatannya. Sesungguhnya Ali bin Abi Thalib tidak pernah berselisih paham dengan Abu Bakar Shiddiq RA dan tidak ada satu shalat pun yang dikerjakan Ali tidak berjamaah mengikuti Abu Bakar Shiddiq RA Ali bin Abi Thalib r.a juga ikut Abu Bakar Shiddiq RA ke Dzul Qishah untuk memerangi penduduk yang murtad dari agama Islam. Akan tetapi terjadi sesuatu pada Fathimah RA yang mencela Abu Bakar Shiddiq RA karena dia menyangka bahwa dia akan mendapatkan warisan dari Rasulullah saw sebagai anak. Fathimah RA sendiri belum mengetahui hadits Rasulullah saw kepada Abu Bakar Shiddiq RA dan para sahabat yang menyebutkan,
Perselisihan antara Fathimah RA dan Abu Bakar Shiddiq RA meninggalkan celah menganga di internal kaum muslimin dengan kemunculan kelompok Ar-Rafidhah.
Pidato Politik Pertama Abu Bakar Shidddiq r.a:
“Barang siapa yang menyembah Muhammad, ketahuilah bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad saw telah wafat. Barang siapa yang menyembah Allah Taala, ketahuilah bahwa Allah Hidup, tidak wafat. Allah berfirman,
وَمَا
مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ
مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ
عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ
الشَّاكِرِينَ
“Dan Tidaklah Muhammad itu, melainkan seorang Rasul. Telah wafat sebelum ini para Rasul. Apakah jika Rasul wafat atau terbunuh, kalian akan berpaling dari ajarannya?”Abu Bakar membacakan ayat ini kepada para sahabat, termasuk kepada Umar bin Khathab RA Saat itu seakan-akan mereka baru pertama kali mendengar ayat tersebut.
Setelah mendengar ayat ini, hati mereka menjadi tenang dan hilanglah segala kegundahan dan keraguan. Kemudian kaum muslimin berkumpul di Saqifah Bani Sa’adah. Di sana mereka bermusyawarah perihal pengganti Rasulullah saw sebagai pemimpin tertinggi kaum muslimin.
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam, antara kaum sahabat Anshar dan sahabat Muhajirin. Masing-masing mengunggulkan kandidat-kandidat kaumnya untuk tampil sebagai khalifah. Pemuka Anshar, Basyir bin Saad r.a, menentramkan kaumnya dengan mengingatkan bahwa kaum Anshar membela Islam semata-mata untuk mencari ridha Allah Taala serta sebagai bentuk ketaatan pada Rasulullah saw hingga tidak pada tempatnya untuk berebut kekuasaan dengan Muhajirin. Taushiyah yang disampaikan dengan sangat bijaksana ini akhirnya mampu mendinginkan hati sahabat Anshar.
Dari sahabat Muhajirin, Abu Bakar RA mengusulkan untuk mengangkat Umar bin Khathab RA dan Abu Ubaidah bin Jarrah r.a untuk menjadi khalifah pengganti Rasulullah saw. Namun keduanya langsung menolak, bahkan Umar bin Khathab langsung memegang tangan Abu Bakar r.a dan membaiatnya menjadi khalifah diikuti oleh Abu Ubaidah r.a, Basyir bin Saad r.a, dan para sahabat lainnya.
Abu Bakar Shiddiq RA adalah salah seorang sahabat yang pertama masuk Islam. Beliau giat melakukan dakwah meski di bawah tekanan, dan beliaulah sahabat Rasul saw yang secara eksplisit namanya diabadikan dalam Al-Quran. (At-Taubah:40)
Selain itu track record beliau sebagai orang yang ‘bersih’, berani, tegas, dan memiliki keberpihakan pada masyarakat kecil telah diakui oleh para konstituennya tersebut. Selain itu sifat rendah hati Abu Bakar Ash-Shiddiq RA tidak luntur meski dia terpilih menjadi khalifah secara aklamasi.
Tidak ada seorang pun yang menolaknya, termasuk Ali bin Abi Thalib (sebagian orang menyangka bahwa ia telat berbaiat kepada Abu Bakar Shiddiq r.a).
Ibnu Katsir berkata, “Baiat Ali bin Abi Thalib kepada Abu Bakar Shiddiq RA terjadi pada hari pertama atau hari kedua pengangkatannya. Sesungguhnya Ali bin Abi Thalib tidak pernah berselisih paham dengan Abu Bakar Shiddiq RA dan tidak ada satu shalat pun yang dikerjakan Ali tidak berjamaah mengikuti Abu Bakar Shiddiq RA Ali bin Abi Thalib r.a juga ikut Abu Bakar Shiddiq RA ke Dzul Qishah untuk memerangi penduduk yang murtad dari agama Islam. Akan tetapi terjadi sesuatu pada Fathimah RA yang mencela Abu Bakar Shiddiq RA karena dia menyangka bahwa dia akan mendapatkan warisan dari Rasulullah saw sebagai anak. Fathimah RA sendiri belum mengetahui hadits Rasulullah saw kepada Abu Bakar Shiddiq RA dan para sahabat yang menyebutkan,
إِنَّا مَعْشَرَ الأَنْبِيَاءِ لا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ
“Sesungguhnya kami, para nabi tidak meninggalkan warisan dan apa-apa yang kami tinggalkan adalah sedekah buat kaum muslimin.”Dengan dasar hadits tersebut, Abu Bakar Shiddiq RA tidak memberikan warisan kepada Fathimah RA dan istri-istri Rasul. Ketika Fathimah RA meminta Ali bin Abi Thalib RA untuk menanyakan tanah yang di Khaibar, Abu Bakar Shiddiq RA tidak menjawabnya karena dalam pandangan Abu Bakar Shiddiq RA dialah yang mengurus semua peninggalan Rasulullah saw. Peristiwa itu menambah kecewa dan marahnya Fathimah RA hingga ia tidak mau berbicara dengan Abu Bakar Shiddiq RA sampai Fathimah meninggal, enam bulan sejak wafatnya Rasulullah saw. Kondisi inilah yang membuat Ali merasa perlu memperbaharui baiatnya kepada Abu Bakar agar ketegangan antara Fathimah RA dan Abu Bakar Shiddiq RA tidak menimbulkan fitnah bagi kaum muslimin.
Perselisihan antara Fathimah RA dan Abu Bakar Shiddiq RA meninggalkan celah menganga di internal kaum muslimin dengan kemunculan kelompok Ar-Rafidhah.
Pidato Politik Pertama Abu Bakar Shidddiq r.a:
Amma ba’du…
Wahai para sahabat, aku telah diserahi tugas sebagai khalifah, padahal aku bukanlah orang terbaik di antara kalian. Karena itu, jika aku melakukan kebaikan, maka bantulah aku, jika aku berbuat salah, maka ingatkanlah aku.
Jujur itu amanah, sedang dusta itu khianat.
Orang lemah di antara kalian adalah orang kuat di sisiku hingga aku berikan haknya insya Allah, dan orang kuat di antara kalian adalah orang lemah di sisiku hingga aku mengambil haknya darinya insya Allah.
Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah, melainkan Allah akan menjadikan mereka hina dan dihinakan, tidaklah perbuatan kotor menyebar di suatu kaum, melainkan Allah akan menyebarkan malapetaka di tengah-tengah mereka. Untuk itu, taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya, maka kalian tidak wajib mentaatiku. Dirikanlah shalat, semoga Allah merahmati kalian.”
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/10/23275/kekhalifahan-abu-bakar-shiddiq-r-a/#ixzz2BpXdHjXZ
Sepi
Mencari Jejak
Pagi-pagi aku merayap
Mencari langkah-langkah lenyap
Yang termakan surya
Di senja berkarat
Pagi-pagi aku menyibak
Mimpi yang mencekam dalam balutan lelap
Tergopoh aku bicara
Tentang luka
Tentang rindu
Tentang engkau
serta jejakmu
yang bisu bersama deburan ombak
menampar bibir pantai
lalu ditelan gelap
Aku hampa...
Mencari langkah-langkah lenyap
Yang termakan surya
Di senja berkarat
Pagi-pagi aku menyibak
Mimpi yang mencekam dalam balutan lelap
Tergopoh aku bicara
Tentang luka
Tentang rindu
Tentang engkau
serta jejakmu
yang bisu bersama deburan ombak
menampar bibir pantai
lalu ditelan gelap
Aku hampa...
Singkatan dan Akronim
Singkatan ialah satu huruf atau lebih bentuk singkat yang terdiri atas | |||||||||||||||||||||||||||||||
a. | Singkatan nama orang, nama gelar, sapaan, jabatan, atau pangkat diikuti dengan tanda titik di belakang tiap-tiap singkatan itu. | ||||||||||||||||||||||||||||||
Misalnya:
|
|||||||||||||||||||||||||||||||
b. | Singkatan nama resmi lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, badan atau organisasi, serta nama dokumen resmi yang terdiri atas gabungan huruf awal kata ditulis dengan huruf kapital dan tidak diikuti dengan tanda titik. | ||||||||||||||||||||||||||||||
Misalnya:
|
|||||||||||||||||||||||||||||||
c. | 1) | Singkatan kata yang berupa gabungan huruf diikuti dengan tanda titik. | |||||||||||||||||||||||||||||
Misalnya:
|
|||||||||||||||||||||||||||||||
2) | Singkatan gabungan kata yang terdiri atas tiga huruf diakhiri dengan tanda titik. | ||||||||||||||||||||||||||||||
Misalnya: |
-
-
dll. dan lain lain dsb. dan sebagainya dst. dan seterusnya sda. sama dengan atas ybs. yang bersangkutan Yth. Yang terhormat
Catatan: - Singkatan itu dapat digunakan untuk keperluan khusus, seperti dalam pembuatan catatan rapat dan kuliah.
d. Singkatan gabungan kata yang terdiri atas dua huruf (lazim digunakan dalam surat-menyurat) masing-masing diikuti oleh tanda titik. Misalnya: -
a.n. atas nama d.a. dengan alamat u.b. untuk beliau u.p. untuk perhatian
e. Lambang kimia, singkatan satuan ukuran, takaran, timbangan, dan mata uang tidak diikuti tanda dengan titik. Misalnya: -
Cu kuprum cm sentimeter kg kilogram kVA kilovolt ampere l liter Rp rupiah TNT trinitrotoluene
2. Akronim ialah singkatan dari dua kata atau lebih yang diperlakukan sebagai sebuah kata. a. Akronim nama diri yang berupa gabungan huruf awal unsur-unsur nama diri ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa tanda titik. Misalnya: -
LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LAN Lembaga Administrasi Negara PASI Persatuan Atletik Seluruh Indonesia SIM surat izin mengemudi
b. Akronim nama diri yang berupa singkatan dari beberapa unsur ditulis dengan huruf awal kapital. Misalnya: -
Bulog Badan Urusan Logistik Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Iwapi Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia Kowani Kongres Wanita Indonesia
c. Akronim bukan nama diri yang berupa singkatan dari dua kata atau lebih ditulis dengan huruf kecil. Misalnya: -
pemilu pemilihan umum iptek ilmu pengetahuan dan teknologi
-
|
|||||||||||
|
Catatan:
|
Penggunaan Huruf Kapital
1. | Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai huruf pertama kata pada awal kalimat. | |||||||||||||||
Misalnya:
|
||||||||||||||||
2. | Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama petikan langsung. | |||||||||||||||
Misalnya:
|
||||||||||||||||
3. | Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama dalam kata dan ungkapan yang berhubungan dengan agama, kitab suci, dan Tuhan, termasuk kata ganti untuk Tuhan. | |||||||||||||||
Misalnya:
|
-
-
Bimbinglah hamba-Mu, ya Tuhan, ke jalan yang Engkau beri rahmat.
4. a. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang diikuti nama orang. Misalnya: - Mahaputra Yamin
- Sultan Hasanuddin
- Haji Agus Salim
- Imam Syafii
- Nabi Ibrahim
b. Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang tidak diikuti nama orang. Misalnya: - Dia baru saja diangkat menjadi sultan.
- Pada tahun ini dia pergi naik haji.
- Ilmunya belum seberapa, tetapi lagaknya sudah seperti kiai.
5. a. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama jabatan yang diikuti nama orang, nama instansi, atau nama tempat yang digunakan sebagai pengganti nama orang tertentu. Misalnya: - Wakil Presiden Adam Malik
- Perdana Menteri Nehru
- Profesor Supomo
- Laksamana Muda Udara Husein Sastranegara
- Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian
- Gubernur Jawa Tengah
b. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama jabatan atau nama instansi yang merujuk kepada bentuk lengkapnya. Misalnya: - Sidang itu dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia.
- Sidang itu dipimpin Presiden.
- Kegiatan itu sudah direncanakan oleh Departemen Pendidikan Nasional.
- Kegiatan itu sudah direncanakan oleh Departemen.
c. Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama jabatan dan pangkat yang tidak merujuk kepada nama orang, nama instansi, atau nama tempat tertentu. Misalnya: - Berapa orang camat yang hadir dalam rapat itu?
- Devisi itu dipimpin oleh seorang mayor jenderal.
- Di setiap departemen terdapat seorang inspektur jenderal.
6. a. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur unsur nama orang. Misalnya: - Amir Hamzah
- Dewi Sartika
- Wage Rudolf Supratman
- Halim Perdanakusumah
- Ampere
Catatan: -
-
-
(1) Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama seperti pada de, van, dan der (dalam nama Belanda), von (dalam nama Jerman), atau da (dalam nama Portugal). Misalnya: - J.J de Hollander
- J.P. van Bruggen
- H. van der Giessen
- Otto von Bismarck
- Vasco da Gama
(2) Dalam nama orang tertentu, huruf kapital tidak dipakai untuk menuliskan huruf pertama kata bin atau binti. Misalnya: - Abdul Rahman bin Zaini
- Ibrahim bin Adham
- Siti Fatimah binti Salim
- Zaitun binti Zainal
b. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama singkatan nama orang yang digunakan sebagai nama jenis atau satuan ukuran. Misalnya: -
pascal second Pas J/K atau JK-1 joule per Kelvin N Newton
c. Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama orang yang digunakan sebagai nama jenis atau satuan ukuran. Misalnya: - mesin diesel
- 10 volt
- 5 ampere
7. a. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa. Misalnya: - bangsa Eskimo
- suku Sunda
- bahasa Indonesia
b. Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa, suku, dan bahasa yang digunakan sebagai bentuk dasar kata turunan. Misalnya: - pengindonesiaan kata asing
- keinggris-inggrisan
- kejawa-jawaan
8. a. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama tahun, bulan, hari, dan hari raya. Misalnya: -
tahun Hijriah tarikh Masehi bulan Agustus bulan Maulid hari Jumat hari Galungan hari Lebaran hari Natal
b. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur unsur nama peristiwa sejarah. Misalnya:
- Perang Candu
- Perang Dunia I
- Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
-
-
c. Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama peristiwa sejarah yang tidak digunakan sebagai nama. Misalnya: - Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia.
- Perlombaan senjata membawa risiko pecahnya perang dunia.
9. a. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur unsur nama diri geografi. Misalnya: -
Banyuwangi Asia Tenggara Cirebon Amerika Serikat Eropa Jawa Barat
b. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur unsur nama geografi yang diikuti nama diri geografi. Misalnya: -
Bukit Barisan Danau Toba Dataran Tinggi Dieng Gunung Semeru Jalan Diponegoro Jazirah Arab Ngarai Sianok Lembah Baliem Selat Lombok Pegunungan Jayawijaya Sungai Musi Tanjung Harapan Teluk Benggala Terusan Suez
c. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama diri atau nama diri geografi jika kata yang mendahuluinya menggambarkan kekhasan budaya. Misalnya: -
ukiran Jepara pempek Palembang tari Melayu sarung Mandar asinan Bogor sate Mak Ajad
d. Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama unsur geografi yang tidak diikuti oleh nama diri geografi. Misalnya: -
berlayar ke teluk mandi di sungai menyeberangi selat berenang di danau
e. Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama diri geografi yang digunakan sebagai penjelas nama jenis. Misalnya: - nangka belanda
- kunci inggris
- petai cina
- pisang ambon
10. a. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua unsur nama resmi negara, lembaga resmi, lembaga ketatanegaraan, badan, dan nama dokumen resmi, kecuali kata tugas, seperti dan, oleh, atau, dan untuk. Misalnya: - Republik Indonesia
- Departemen Keuangan
- Majelis Permusyawaratan Rakyat
- Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 1972
- Badan Kesejahteraan Ibu dan Anak
-
b. Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama kata yang bukan nama resmi negara, lembaga resmi, lembaga ketatanegaraan, badan, dan nama dokumen resmi. Misalnya: - beberapa badan hukum
- kerja sama antara pemerintah dan rakyat
- menjadi sebuah republik
- menurut undang-undang yang berlaku
Catatan: - Jika yang dimaksudkan ialah nama resmi negara, lembaga resmi, lembaga ketatanegaraan, badan, dan dokumen resmi pemerintah dari negara tertentu, misalnya Indonesia, huruf awal kata itu ditulis dengan huruf kapital.
Misalnya: - Pemberian gaji bulan ke 13 sudah disetujui Pemerintah.
- Tahun ini Departemen sedang menelaah masalah itu.
- Surat itu telah ditandatangani oleh Direktur.
11. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama setiap unsur bentuk ulang sempurna yang terdapat pada nama lembaga resmi, lembaga ketatanegaraan, badan, dokumen resmi, dan judul karangan. Misalnya: - Perserikatan Bangsa-Bangsa
- Rancangan Undang-Undang Kepegawaian
- Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial
- Dasar-Dasar Ilmu Pemerintahan
12. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua kata (termasuk semua unsur kata ulang sempurna) di dalam judul buku, majalah, surat kabar, dan makalah, kecuali kata tugas seperti di, ke, dari, dan, yang, dan untuk yang tidak terletak pada posisi awal. Misalnya: - Saya telah membaca buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma.
- Bacalah majalah Bahasa dan Sastra.
- Dia adalah agen surat kabar Sinar Pembangunan.
- Ia menyelesaikan makalah “Asas-Asas Hukum Perdata”.
13. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur singkatan nama gelar, pangkat, dan sapaan yang digunakan dengan nama diri. Misalnya: -
Dr. doktor S.E. sarjana ekonomi S.H. sarjana hukum S.S. sarjana sastra S.Kp. sarjana keperawatan M.A. master of arts M.Hum. magister humaniora Prof. profesor K.H. kiai haji Tn. Ny.
Sdr.tuan nyonya
saudara
|
||||||
Catatan:
|
||||||
14. | a. | Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan, seperti bapak, ibu, saudara, kakak, adik, dan paman, yang digunakan dalam penyapaan atau pengacuan. | ||||
Misalnya:
|
||||||
b. | Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan yang tidak digunakan dalam pengacuan atau penyapaan. | |||||
Misalnya:
|
||||||
15. | Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata Anda yang digunakan dalam penyapaan. | |||||
Misalnya:
|
||||||
16. | Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama pada kata,
seperti keterangan, catatan, dan misalnya yang didahului oleh pernyataan
lengkap dan diikuti oleh paparan yang berkaitan dengan pernyataan
lengkap itu. (Lihat contoh pada I B, I C, I E, dan II F15).
sumber: http://id.wikisource.org/wiki/Pedoman_Umum_Ejaan_Bahasa_Indonesia_yang_Disempurnakan |
Hilang, Kataku
Rasanya aku hilang tiap malam. Sebab rindu yang mencekik.
Sudah lama kutunggu. Lebih dari ribuan senja yang padam. Tetap menunggu.
Hampa menikam terus-terusan. Rindu. Pedih. Kamu tahu itu? Atau mungkin Kau tak bisa membaca air mata?
Merindu itu indah atau sakit?
Kehilangan itu laksana warna yang tergores di kanvas atau garis hitam yang bertalu-talu.
Aku hanya ingin bilang: "rindu." titik. Aku hanya ingin jerit: "Hilang, kataku"
Musim-musim tertelan, kau tetap hilang.
Lagi kusampaikan: aku rindu. Tapi Kau hilang, melulu.
untuk kamu, malam pahit
Kamis, 08 November 2012
Menabuh Mimpi di Pulau Bali
Sejak dulu, salah satu mimpi besarku dapat bertandang di Pulau Bali—tempat yang diagung-agungkan banyak orang—menikmati sunset di Kuta. Persis di film! Ditemani langit yang bergaris keemasan serta deburan ombak yang berakhir di bibir pantai. Bercengkerama bersama turis dengan modal kemampuan bahasa Inggrisku yang belepotan. Wah, tak terbayangkan!
Kupikir
mimpi tetaplah mimpi laksana bunga tidur yang jarang terealisasi. Ternyata
Allah memang Mahabaik. Segala keinginanku cepat-lambat selalu dikabulkan-Nya. Meski
mimpi itu kutanam di usia belasan, aku dapat memetiknya di usia 21 tahun. Oh
... Bali, betapa molek setiap lekukan pantai, daratan, serta sisi budayamu. Aku
terkesiap menyaksikan keindahan yang Allah berikan padamu. Mimpiku tak sekadar
mimpi! Bali kunikmati di depan mata.
***
Beasiswa
Unila, ‘cair’ juga. Aku makin girang. Suka-cita melonjak hebat di air mukaku. Mengapa
tidak? Perjalanan ke Bali dengan memegang uang saku, tak membuat aku gigit
jari. Eiits ... sebenarnya, ada tiga
kota yang akan kutapaki: Yogyakarta, Solo, dan Bali. Sebenarnya juga nih, itu
merupakan agenda Kuliah Kerja Lapangan (KKL) bersama teman-teman serta beberapa
dosen di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Lampung.
Namun, aku menganggapnya bukanlah matakuliah yang tengah kuemban, melainkan traveling yang sepanjang jalan
mengandung pemandangan yang mengejutkan. Yaah...
kurang lebih sambil menyelam minum air. Setiap lesapan roda bus kunikmati
dengan saksama dengan mata telanjang. Menjamah pemandangan di sisi kanan-kiri.
Tak acap aku tertidur di dalamnya.
Rabu,
27 Januari 2010. Singgahan pertama, kaki kami mendarat di Kota Gudeg, Yogyakarta.
Di kota itu, kami melakukan presentasi mengenai Lampung di Universitas Sarjanawiyata
Tamansiswa. Hari berikutnya, perjalanan pun tiba di Universitas Negeri Sebelas
Maret, Surakarta. Di kota yang terkenal dengan nasi liwet itu, kami diterima
penuh takzim. Salah satu persembahan kami, yang menunjukkan identitas Lampung
ialah pembacaan pepaccur. Pepaccur merupakan salah satu jenis
sastra lisan Lampung berbentuk puisi yang berisikan nasihat. Selintas aku
menatap wajah para mahasiswa yang mengenakan jaket almamater biru muda itu.
Mereka penuh kagum terhadap kami, tetapi tak sedikit pula yang mengernyitkan
kening. Mereka bingung, tak tahu arti setiap kata isi pepaccur yang dilisankan dalam dialek A bahasa Lampung itu.
Sore
menuju senja. Alhamdulillah, sederet
agenda telah rampung di Yogyakarta dan Solo. Wah, entah mengapa, kala itu yang terlintas di pikiranku setelah berkunjung
ke sana ialah rumput tetangga selalu
tampak lebih hijau. Aku lihat dari kacamata kebersihan dan mutu pendidikan
di kedua kota itu sudah baik. Juga terasa nyaman dan asri. Astaghfirullah, bukan berarti tak patuh akan pepatah daripada
hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri.
Ah, Bandarlampung, kota tapis berseri tetap di hati.
Badanku
terasa lengket sebab belum mandi. Aku mulai kelelahan. Sudah dua hari pula aku
tak bersama keluarga. Tiba-tiba rindu menguak untuk orang rumah. Air mata pun
menitik. Sementara tour guide yang
menemani kami dari Lampung, berdiri tepat tak jauh dariku. Dengan nada akrab,
Beliau memberitahu bahwa perjalanan berikutnya menuju Bali. Aku setengah
terperanjat. Mataku berbinar. Hatiku melonjak senang. Wah, Kute, Sanur... tak disangka, mimpiku yang dulu meremas asa,
sebentar lagi aku di sana. “Bali... akhirnya kujamah Kau!” seruku bergelora.
***
Jumat,
29 Januari 2010, pukul 11.00 WIB aku dan rombongan tiba di Pelabuhan Ketapang,
Jawa Timur. Wah, deg-degan beradu
gembira mengguncang hati. Seperti mimpi, tetapi nyatanya mataku sedang tak
terpejam. Setibanya di kapal, kami disambut bocah-bocah koin yang bermain di
laut. Mereka berharap para wisatawan melemparkan koin-koin untuk mereka. Dengan
segera, aku merogoh beberapa koin dari saku lalu melemparnya untuk mereka.
Sekitar pukul 12.00
WITA, aku dan rombongan sampai di Pelabuhan Gilimanuk, Bali. Namun, kami tak
semudah itu masuk ke pulau yang menjadi destinasi para domestik itu. Alih-alih
ada pemeriksaan KTP. Dengan alasan sejak ada pemboman di Bali (2002) silam,
orang-orang yang masuk ke Bali, diperiksa KTP terlebih dulu. Alhamdulillah, tak ada masalah dalam
pemeriksaan, perjalanan kami lanjutkan lagi. Tancap!
Kurang lebih
Pukul 13.00 WITA, aku beserta rombongan tiba di objek wisata pertama, Tanah
Lot, Bali. Tanah Lot terletak di Desa Braban, Bali. Kata Tanah Lot memunyai
makna dari kata Tanah yang diartikan
sebagai batu karang yang menyerupai gili atau pulau kecil, sedangkan kata Lot atau Lod memunyai arti laut. Sehingga nama Tanah Lot diartikan sebagai
batu karang yang terapung di tengah lautan. Di sana terdapat Pura Tanah Lot
yang di dalamnya bersemayam ular suci berwarna hitam-putih melingkar. Konon
ular itu dianggap sebagai penjaga Pura Tanah Lot.
Tak
mau membuang momen yang ada, aku, kawan-kawan, serta dosenku mendokumentasikan
diri di sana. Tak hanya itu, kami pun sempat mencoba ritual singkat di Tanah
Lot: air, beras, dan bunga kamboja. Aku dan kawan-kawan mencicipi pancuran air
bening tawar yang dianggap suci. Seorang lelaki baya memercikkan air wewangian
di kepala kami lalu menempeli beberapa butir beras putih sebagai tanda
pemberkatan. Tak ketinggalan, sekuntum kamboja diselipkannya pula di telinga
kiri kami. Ia lakukan dengan hormat. Aku sempat bertanya pada bapak yang
melayaniku. Beliau berkata bahwa beras dan kamboja mengandung makna tersendiri.
Beras memiliki makna agar diri kita senantiasa dapat berpikir seputih beras. Sementara
bunga yang diselipkan di telinga kiri menandakan bahwa diri ini mau mendengarkan
nasihat dari orang lain: siapapun itu, tanpa melihatnya secara fisik dan kasta.
Menurutku,
Bali merupakan surga objek wisata. Tak rugi para pelancong melabuhkan dirinya
di pulau yang sarat dengan keaslian budaya itu. Namun demikian, bila kita melancong
ke Bali, ada hal-hal yang mesti dijaga. Sebab Bali memiliki cukup larangan yang
tidak boleh dilakukan: menginjak sajen dengan sengaja, memotret dengan blitsz pada saat upacara keagamaan. Juga
larangan bagi wanita yang sedang datang bulan masuk ke pura. Sebab pura
dianggap tempat suci sehingga wanita yang sedang tidak suci (datang bulan)
dilarang keras masuk. Aku ingat betul kalimat-kalimat itu disampaikan guide tour kami yang dipanggil dengan
sebutan Beli (dibaca: Bli).
Kami
mengunjungi beberapa objek wisata di Bali: Tanah Lot, Kuta, Sanur, Hutan Pala
Sangeh, Batubulan (menikmati tari Barong), Pasar Sukowati, pusat perbelanjaan
khas Bali, dan berakhir di Bedugul. Semuanya telah memberikan kesan yang indah.
Hingga kutuliskan kisah ini, satu momen pun belum bisa terlupakan. Namun, saat
ini, cukup aku ceritakan traveling-ku
beserta rombongan di Tanah Lot dan Bedugul. Mengapa demikian? Ini soal hati. Titik.
Oh, tidak! Aku hanya bercanda. Ini lebih terkait degan rasa. Sungguh kekuasaan
Allah yang Mahaindah telah menanugerahkan Indonesia dengan pemandangan yang
luar biasa.
Baiklah,
aku lanjutkan ceritaku lagi. Minggu, 31 Januari 2010, Bus Darma Duta yang setia
menemani kami, melaju, menuju objek wisata selanjutnya. Setelah sebelumnya, aku
dan rombongan membeli oleh-oleh khas Bali. Ada beberapa bungkus kacang bali
yang kusimpan guna buah tangan untuk keluarga dan sanak famili di
Bandarlampung. Bli menyampaikan bahwa destinasi wisata selanjutnya ialah Bedugul.
Awalnya aku tak begitu interest dengan
istilah Bedugul. Kata yang belum pernah kudengar sebelumnya. Perjalanannya
cukup jauh. Sambil menunggu, aku ngalor
ngidul sejenak. Cukup menghilangkan kejenuhan di bus. Sementara kamera selalu
siap di tangan. Bila ada objek yang view-nya
bagus, kamera di tangan siap membidik dengan cepat.
Perjalanan
semakin menanjak. Bli masih setia ‘mendongengkan’ kami dengan cerita-cerita
rakyat di Bali. Telingaku menyimak, tetapi mata menyisir di setiap pemandangan
di sisi kiriku. Bli mnghentikan sejenak ceritanya. Ia menunjuk pada satu pohon
kelapa yang menurutku aneh. Ya, aneh! Mengapa demikian? Baru kali ini aku
menemukan pohon kelapa yang bercabang empat. Subhanallah... Lagi-lagi kekuasaan Allah berkata. Masyarakat setempat
menganggap pohon tersebut suci, sama halnya ketika aku dan rombongan mampir di
Hutan Pala Sangeh. Di sana ada Pohon Lanang Wadon yang di bagian tengah
batangnya terdapat bentuk yang menyerupai kelamin laki-laki dan perempuan. Mungkin
karena bentuknya demikian sehingga disebut Pohon Lanang Wadon.
Ternyata
Bedugul itu indah. Letaknya di daerah pegunungan, Desa Candikuning. Meski udara
cukup menusuk tulang saking dinginnya, semua itu terobati tatkala mataku
terhipnotis oleh pemandangan yang memukau. Satu pemandangan yang sungguh luar
biasa tersuguhkan di sana. Danau Beratan menghiasi Bedugul, memesonakan mata.
Ketika itu,
kabut tengah tebal. Namun, aku tak begitu peduli. Bahkan aku dan kawan-kawan
menyewa satu kapal boot untuk
menyeberangi Danau Beratan yang airnya tenang. Tak ketinggalan, kami
mengabadikan beberapa jepretan foto di sana. Kabut cukup gelap, suasana makin dingin. Waktu
menunjukkan pukul 16.35 WITA. Kami masih menikmati keindahan danau yang tak
bisa kami komentari, selain kata indah. Ternyata masih ada keindahan lain lagi
yang disajikan di Bedugul, yaitu Pura Ulun Danu. Aku setengah tercenung
sambil memikirkan rupa Pura Ulun Danu. Beberapa detik berlalu ... dan yapp! Aku baru ingat. Pura itu yang ada
di cetakan uang 50 ribuan. Wah, subhanallah...
aku bisa melihatnya secara langsung! Pesona-pesona yang sungguh menakjubkan
mata.
Berdasarkan
info yang kuperoleh, Pura Ulun Danu Beratan terdiri atas empat kompleks pura: Lingga
Petak, Penataran Pucak Mangu, Terate Bang, dan Dalem Purwa berfungsi untuk
memuja keagungan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Tri Murti, guna
memohon anugerah kesuburan, kemakmuran, kesejahteraan manusia, dan lestarinya
alam semesta. Kurang lebih sekitar sepuluh menit berlalu penyeberangan dengan
kapal boot dan akhirnya berhenti
tepat seperti dermaga kecil. Kupikir kakiku sedang berpijak di tempat
pemandangan serupa. Akan tetapi, ini berbeda. Ternyata di hadapanku mentereng villa
mewah. Namanya Bedugul Wana Villas Bali. Aku terkesiap dengan ornamen bangunan
yang ada. Lagi-lagi kukatan subhanallah...
dan woow!
Ponselku tiba-tiba berdering. Salah
satu teman menghubungi untuk segera kembali sebab kabut makin gelap. Sementara
rombongan sudah menanti aku dan beberapa teman di bus. Aku dan teman-teman riang.
Kami tertawa lepas. Menikmati danau, menemani kabut, memuji kebesaran Allah
yang tak ada hentinya. Sejenak aku pandangi kabut yang tak lagi pucat. Teringat
orang-orang rumah. Teringat akan semua mimpi yang kupahat satu per satu di
ingatan. Dan satu lagi, hari itu aku menabuh mimpi kembali. Mimpi di Pulau
Bali. Mimpi akan mengajak bapak, ibu, mbak-kakak, serta saudara kembarku,
Destiana. Semoga.
***
Rabu, 07 November 2012
Welcome To Blog Kakgilbert: Kamu... Kamu... Kamu!!!
http://destianiku.blogspot.com/Welcome To Blog Kakgilbert: Kamu... Kamu... Kamu!!!: "Pasti becandaan itu masih disimpen di hati :D Kalo becandaan itu gak lucu, jangan salahkan aku, karena hanya satu, niatku hanya mengha...
Rabu, 24 Oktober 2012
Bila Kau
Bila Kau kira ucapku dusta,
silakan
Bila Kau kira mataku berteman dendam,
keliru
Bila Kau kira puisiku omong kosong
Lantas,
Buat apa hari-hari kuukir namamu?
Pada kertas-kertas putih
yang bungkam
(Senja, 24 Oktober ’12)
Senin, 22 Oktober 2012
Mereka, Orang-orang Pilihan Allah
oleh Destiani
Motor kulaju dengan kecepatan cukup tinggi sehingga beberapa hampir keserempet pengendara lain. Namun, Alhamdulillah, Allah tetap menjaga keselamatanku.Gas motor kumatikan tepat di parkiran depan Masjid Daarul Hikmah. Hanya tersisa kurang lebih dua puluh meter, Kelas Tajwid segera kudapatkan. Kuperlambat langkah kakiku sambil memerhatikan kelas-kelas yang kulewati. Di sisi kanan dariku, ada kelas Murobbi, subhanallah, para murobbiyah yang ada di dalam sana, yang berdakwah sambil membawa buah hati mereka. Langsung terlintas di pikiranku, kalau niat, komitmen, dan ikhlas sudah tertanam, dunia takkan menjadi apa-apa. Semoga kelak aku dapat menyusul para pendakwah itu, aamiin ya Rabb.
Tepat di depan Kelas Tahsin Tajwid, aku melepas sepasang sandalku yang mulai bulul--hadiah pemberian mbak pertamaku--hadiah miladku yang ke-24 tahun. Masih di ruangan yang sama, persis satu minggu lalu. Di ruangan itu, dibagian menjadi dua sekat. Sekat bagian kanan digunakan untuk program cek tilawah, sementara sekat yang satunya untuk program yang tengah kuambil: tahsin tajwid. Seketika hatiku bergetar, bangga, serta asma-asma Allah selalu terucap dalam hati. Betapa indahnya suara-suara yang keluar dari lisan para pembaca Quran yang letaknya bersampingan denganku. Decak kagum. Subhanallah, subhanallah, subhanallah... Allahuakbar. Makhrojul, panjang-pendek, serta kelancaran bertilawah, membuatku rasanya ingin sepandai melantunkan Alquranul karim. Subhanallah... Sementara di bagian sekat--tempat program tahsin tajwid--masih dipenuhi beberapa pebelajar. Ada aku, Vivi, Hisna dan Pak Rohim. Namun, beberapa saat disusul dengan kehadiran Pak Muslim, Pak Fuad, Pak Apri, juga Harly. Dan tak ketinggalan Pak Ust.Mufid yang memesona sebab tilawahnya yang menyejukkan hati. Lamat-lamat kupandangi wajah mereka satu-satu. Seperti Pak Muslim, Pak Rohim, dan Pak Fuad--mereka sudah cukup berumur--semangat luar biasa untuk bisa mengaji membuatku makin bersemangat. Aku ingat jelas dengan ayat Allah yang artinya
" Bacalah (Wahai Muhammad) Dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan (sekalian makhluk), Ia menciptakan manusia dari sebuku darah beku; Bacalah, dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah, Yang mengajar manusia melalui Pena dan tulisan,Ia mengajarkan manusia apa Yang tidak diketahuinya." (Al-'Alaq : 1--5)
Dalam hati kuberkata, wajah-wajah yang mulai tengah berkerut itu, yang pelan-pelan memelajari makhrojul huruf, yang pelan-pelan pula memperbaiki bacaannya, juga dengan sabar mendengar penjelasan ustad, sesungguh mereka akan tersenyum di hari akhir kelak sebab dengan usia yang menua, namun tak letih untu terus belajar kalam Allah. Semangat mereka, senyum malu mereka lantaran terdapat bacaan yang salah, kesabaran, ketekunan, serta merelakan waktu yang terbuang untuk belajar yang mungkin bisa jadi waktunya bisa digunakan untuk beristirahat dan berkumpul dengan keluarga. Subhanallah...Mempratikkan dengan pembacaan Alquran yang benar ialah fardhu 'ain, itu artinya tanpa terkecuali ketika melantunkan ayah-ayat Allah harus sesuai dengan aturan yang telah ditetapka. Sesungguhnya Allah akan memudahkan bagi hamba-Nya yang mempelajari Alquran.Itulah janji Allah.Senja mulai datang. Jam tahsin kami pun selesai. Para pebelajar sudah bermaburan, termasuk aku yang sebelumnya berpamitan dengan teman-teman. Sebelum kuinjak keras engkol motor tuaku, sejenak aku menuju kamar mandi yang letaknya tepat di belakang masjid. Mataku setengah menilik ke dalam, melihat orang yang sedang tepekur dalam masjid. Ada raut yang sangat kukenal. Oh, ternyata, Beliau adalah rekan di kantorku. Panggilannya ialah Abi Ozi--lulusan Kairo, Mesir--kebetulan berteman dengan penulis terkenal se-Asia: Habiburrahman El-Shirazi. Yang membuat kukagum ialah ketekunannya, kekhusyukannya, mata-hati yang dijaga Allah untuk tidak letihnya membaca mushaf itu. Subahanallah, tak henti-henti kulontarkan dalam hati.
Senja hampir mengiringi azan. Semilir angin semayup-mayup menusuki tulang inci. Aku mulai kedinginan. Namun, semangatku tak henti untuk belajar tatkala teringat wajah-wajah pilihan Allah itu yang giat memelajari Alquran. Lagi-lagi mataku terhenti di satu titik pelataran masjid. Di sana ada Pak Rohim--pebelajar kelas tajwid--yang sudah kusampaikan di awal. Ia masih berkutat dengan buku diktat tajdiwnya. Aku menegurnya sesaat, "Wah, subhanallah, Pak, sudah selesai tapi masih belajar saja." Dengan sunggingan senyum sambil menyerinai beberapa gigi depannya, ia pun menjawab "Iya, biar saya bisa."
Subhanallah, aku terenyuh dengan jawabnanya. Sesaat aku menunduk, menatap tanah yang basah lalu sekilas juga menatap langit senja yang mendung. Wahai tanah, langit, serta seisi yang ada di bumi ini, kalianlah adalah sakti untu para pebelajar, untuk mereka--orang-orang pilihan Allah--yang giat mempelajari Alquran. Kuyakin, di hari akhir kelas, huruf-huruf itu akan menghampiri orang-orang yang menekuni ayat-ayatmu, ya Rabb. Semoga kita selalu terjaga dengan Alquran. Semoga Alquran menjadi nahkoda hidup kita.
Sabtu, 21.23 WIB
Minggu, 30 September 2012
Lomba Menulis Pengajar Inspiratif @aksisemangat (DL 6 Oktober 2012)
Lomba nulis dg tema Pengajar Inspiratif berhadiah uang tunai 3 Juta + Paket menarik dr @aksisemangat
Lomba nulis dg tema Pengajar Inspiratif berhadiah uang tunai 3 Juta + Paket menarik dr @aksisemangat info cek http://bit.ly/aksisemangat2
persyaratan dan ketentuan kompetisi
- Warga Negara Indonesia dan berdomisili di Indonesia saat mengikuti kompetisi ini
- Memiliki KTP/SIM/Kartu Pelajar
- Tema kompetisi adalah ‘Cerita Inspiratif Pahlawan Tanpa Tanda Jasa’
- Sosok yang dianggap Inspiratif tersebut harus berdomisili di Indonesia (Guru sekolah, Pembimbing, Dosen, Guru ngaji, Mentor dll).
- Dalam kisah tersebut, peserta harus mampu memberikan alasan mengapa sosok tersebut produktif dan inspiratif, dengan minimal 500 karakter.
- Kisah Sosok Produktif harus disubmit ke website http://www.aksisemangat.com
- Batas waktu Submit Kisah Sosok Produktif 2 adalah 6 Oktober 2012
- Memiliki akun social media twitter dan facebook, atau salah satunya
- Akan dipilih 5 cerita terbaik sebagai finalis untuk di-vote, dan ajaklah teman-temanmu untuk mem-vote ceritamu di website http://www.aksisemangat.com.
- Satu pemenang ter-favorite mendapatkan hadiah uang tunai Rp 3.000.000,- (tiga juta rupiah), dan 4 besar lainnya akan mendapatkan paket menarik dari Fatigon Group
- Pemenang di tentukan oleh jumlah Vote (Jumlah Like dan Share Twitter dan FB, serta coment )
- Karya yang diikutsertakan harus merupakan hasil karya asli dari peserta kompetisi menulis ini dan bertanggung jawab penuh terhadap hasil karyanya tersebut.
- Karya belum pernah dipublikasikan sebelumnya, Juri berhak mendiskualifikasi jika menemukan cerita yang pernah dipublikasikan sebelumnya.
- Panitia berhak menyeleksi semua tulisan yang masuk dan berhak tidak mempublikasikan tulisan yang mengandung muatan SARA, politik, atau unsur lain yang dinilai kurang pantas dan kurang sesuai dengan etika dan tema Kisah Sosok Produktif
- Peserta membebaskan Fatigon group dan perusahaan atau pihak-pihak manapun yang berhubungan dengan penyelenggaraan kompetisi ini dari segala bentuk tuntutan dari pihak-pihak lain tersebut terkait dengan hasil karya peserta yang diikutsertakan di dalam kompetisi.
- Bila di kemudian hari peserta melakukan pelanggaran atas persyaratan lomba yang disebutkan oleh panitia, terbukti merupakan karya plagiat/bukan hasil buatan sendiri, pemberian data yang keliru dan/atau tidak benar, maka peserta akan didiskualifikasi.
- Pengumuman pemenang Kisah Sosok Produktif ini, akan diumumkan melalui website Aksisemangat.com, Facebook Fatigon Aksi Semangat, dan twitter @aksisemangat. Pemenang akan dihubungi langsung oleh pihak panitia
- Lomba berlangsung tanpa dipungut biaya apapun kepada setiap peserta, termasuk pajak bagi para pemenang.
- Keputusan juri bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
MAMI
Oleh: Helvy Tiana Rosa
Ada beberapa hal yang kusukai dari orang-orang Cina. Ketekunan,
keuletan, dan kedisiplinan diri serta langkah-langkah mereka yang selalu
penuh perhitungan. Kita dapat melihat faktor-faktor tersebut sebenarnya
merupakan kunci dari keberhasilan mereka di negeri kita ini. Tentunya
mereka raih semua itu dengan kerja, bukan dengan main-main.
Makanya aku sering tidak simpati pada orang yang selalu mencela dan menghina keberdaan orang-orang Tionghoa di sini. Memang, sih, banyak juga di antara orang-orang Tionghoa itu yang sikapnya membuat kita kurang sreg, yang menjalankan sistem perekonomian sedemikian, yang individualis… memang ada! Tapi jangan disamaratakan, dong! Banyak juga kan yang bersikap baik, apalagi yang kemudian jadi Muslim. Sering mereka mengorbankan harta pula untuk sabilillah yang mereka tempuh.
Ah, bercerita tentang Cina…, aku pun keturunan Cina. Tapi… duh, siapa yang mau percaya! Maklumlah aku lahir dari ‘kubu’ yang sangat berbeda dalam segala. Papi Aceh, Mami Cina. Namun rupaku terlalu mirip Papi! Satu-satunya ‘warisan’ Mami cuma mata sipit ini, itu pun tenggelam oleh kulitku yang hitam. Makanya tak ada rekan-rekan muslimah yang lantas percaya kalau aku ini keturunan Cina. Biasanya kalau mereka sudah lihat mimikku yang memelas setengah kesal, baru deh, mereka percaya.
“Vie!” Suara Mami dari arah dapur mengejutkanku.
“Ya, Mi!”
“Itu, kwetiaw gorengnya nanti dingin!”
Aku segera ke meja makan. Sarapan kwetiaw, sedap! Ya, kwetiaw ayam bikinan Mami memang tiada tandingnya. Nikmat dan halalan thayibah, dong!
“Vie…,” kudengar lagi suara Mami.
“Ya, Mi!”
“Mami mau pergi ke pasar dulu. Ini jangan lupa!” kulihat sebuah payung di tangan Mami.
“Nggak usah deh, Mi… berat!” kataku.
“Kamu tuh ke mana-mana harus bawa payung, Nak. Bukan untuk nahan hujan aja, tapi juga buat mukul orang yang macam-macam sama kamu!” kata Mami sambil memasukkan payung itu ke tasku.
Aku meringis. Duh Mami… sejauh itu pemikiran beliau!
***
Di bus yang menuju arah Pasar Minggu, aku jadi melamun sendiri. Akhir-akhir ini aku memang suka mikirin Mami. Mami itu baik, baik banget! Ia adalah wanita yang amat kucintai di kolong langit ini. Tak ada wanita yang lebih baik dari Mami. Mami itu ‘super mom’ tetapi….
Aku menarik napas panjang. Ya, ada satu hal yang tak kusuka dari Mami. Aku sendiri bingung, apakah hal yang tak kusuka itu merupakan kelebihan atau kekurangan Mami. Mami tuh terlalu care padaku, juga kepada kedua adikku. Karena sikap beliau itu aku sering merasa diperlakukan seperti anak kecil.
Beberapa waktu yang lalu, ketika aku hendak pergi ke
kampus untuk mengambil nilai semesteran dan membayar uang kuliah, di
rumah, Mami sudah sibuk ‘mengurusiku’.
“Jangan pakai baju itu, Nak!” komentar Mami melihat baju rok dan blus biru yang kupakai bersama jilbab biru muda itu.
“Lho, mengapa Mi?” tanyaku heran.
“Kamu ini gimana, sih? Cari dong yang berkantong! Biar bisa taruh uang!” kata Mami sambil masuk ke kamarnya. Tak lama Mami keluar sambil membawa sebuah baju. Ya ampun, warnanya nge-pink. Ngejreng banget! “Nih, pakai. Kan lengan panjang juga!” kata Mami lembut, tetapi bernada perintah.
“Tapi, Mi.”
“Ini bagus punya. Tante Elly Chan kirim dari Taiwan!” suara Mami setengah memaksa.
Dengan enggan, akhirnya kuturuti juga. Kupakai baju itu. Dan, ketika aku berkaca di cermin kamar… duh norak sekali! Malah kedodoran banget! Dan yang paling bikin aku mau nangis, kantongnya banyak sekali! Di depan empat, di belakang empat. Duh, apa kata teman-teman nanti? Gimana komentar mereka di kampus nanti?
“Wah, keren banget anak Mami!” Mami tersenyum.
Aku cemberut.
“Nih uang buat bayar kuliah.”
Uang berjumlah Rp. Lebih dari sejuta itu itu diletakkan Mami di kantong atas, sebelumnya… ya ampun! Uang bergambar para pahlawan itu cekrek-cekrek dulu! Setelah itu Mami mengeluarkan beberapa peniti dari tasnya. Dengan tenang, kantong di kiri atas bajuku di penitiin. Aku terperangah.
“Mi, nggak usah digituin, deh!” kataku cemberut.
Mami diam saja. Di kantong kanan atas ditaruhnya lagi dana kesejahteraan mahasiswa yang diminta fakultas. Hanya seratus ribu… dan duh, dimasukkannya uang sekitar dua puluh ribu rupiah untuk ongkos dan jajanku. Sedangkan di kantong terakhir (dari depan) dimasukkannya sebungkus tisu.
“Nah aman. Sekarang boleh berangkat,” kata Mami sambil mencium pipiku.
“Jangan pakai baju itu, Nak!” komentar Mami melihat baju rok dan blus biru yang kupakai bersama jilbab biru muda itu.
“Lho, mengapa Mi?” tanyaku heran.
“Kamu ini gimana, sih? Cari dong yang berkantong! Biar bisa taruh uang!” kata Mami sambil masuk ke kamarnya. Tak lama Mami keluar sambil membawa sebuah baju. Ya ampun, warnanya nge-pink. Ngejreng banget! “Nih, pakai. Kan lengan panjang juga!” kata Mami lembut, tetapi bernada perintah.
“Tapi, Mi.”
“Ini bagus punya. Tante Elly Chan kirim dari Taiwan!” suara Mami setengah memaksa.
Dengan enggan, akhirnya kuturuti juga. Kupakai baju itu. Dan, ketika aku berkaca di cermin kamar… duh norak sekali! Malah kedodoran banget! Dan yang paling bikin aku mau nangis, kantongnya banyak sekali! Di depan empat, di belakang empat. Duh, apa kata teman-teman nanti? Gimana komentar mereka di kampus nanti?
“Wah, keren banget anak Mami!” Mami tersenyum.
Aku cemberut.
“Nih uang buat bayar kuliah.”
Uang berjumlah Rp. Lebih dari sejuta itu itu diletakkan Mami di kantong atas, sebelumnya… ya ampun! Uang bergambar para pahlawan itu cekrek-cekrek dulu! Setelah itu Mami mengeluarkan beberapa peniti dari tasnya. Dengan tenang, kantong di kiri atas bajuku di penitiin. Aku terperangah.
“Mi, nggak usah digituin, deh!” kataku cemberut.
Mami diam saja. Di kantong kanan atas ditaruhnya lagi dana kesejahteraan mahasiswa yang diminta fakultas. Hanya seratus ribu… dan duh, dimasukkannya uang sekitar dua puluh ribu rupiah untuk ongkos dan jajanku. Sedangkan di kantong terakhir (dari depan) dimasukkannya sebungkus tisu.
“Nah aman. Sekarang boleh berangkat,” kata Mami sambil mencium pipiku.
Duh Mami! Aku kesal! Dengan nggak niat akhirnya aku pergi juga ke kampusku di Depok. Di tengah jalan kubuka satu per satu peniti di sekitar kantongku. Bodo deh! Aku kan bukan anak kecil lagi!
Nggak hanya itu. Hari ini kebetulan karena ke kampus, aku bisa bebas di atas bus untuk sekedar menyandarkan tangan di jendela dan menikmati pemandangan Jakarta serta semilir angin sejuk pagi hari. Kalau pergi berdua Mami, ‘kacau’ lagi. Beliau akan cepat-cepat menarik tanganku seraya menutup tiga perempat kaca jendela sambil menceramahiku. “Nanti disambar mobil dari belakang, baru tahu!” beliau menutup ‘ceramah’nya.
Bulan lalu, waktu sepatuku bodol… Mami mengajakku ke proyek Senen. Pernahkan lihat seorang Ibu yang membawa anak-anak kecilnya yang berusia sepuluh tahun untuk beli sepatu? Nah, kurang lebih seperti itu cara Mami memperlakukanku. Mami memilihkan, mencobakan sepatu itu ke kakiku. Beberapa kali aku ditertawakan oleh para pedagang itu. Aku sendiri berusaha bilang pada Mami apa yang aku mau. Tapi Mami bilang: “Itu jelek” atau “Ini nggak kuat, bukan kulit” atau “Ini warnanya terlalu kusam’ dan yang lain-lain lagi. Dan hasilnya … kulihat sepatu volkadot hitam yang kupakai sekarang ini.
“Sepatu nyentrik,” kata anak-anak kampus. “Sepatu paling indah di Universitas Indonesia,” kata teman-teman sejurusan. Huh!
Mami
memang benar-benar over perhatian. Bayangkan saja, setiap malam sebelum
tidur, selalu kudengar suara Mami keras. “Anak-anak semua, Evi, Rani,
Eron… jangan lupa cuci kaki, sikat gigi! Kebut dulu tempat tidur
kalian!” Atau kalau kebetulan Mami tahu kami habis makan permen atau
coklat. “Awas ya kalau Mami tahu kalian belum sikat gigi!”
Coba! Mami benar-benar memperlakukanku seperti anak SD. Aku kan sudah gede. Sudah dewasa. April kemarin usiaku sudah dua puluh tahun. Aku sudah tingkat dua di Fakultas Ilmu Budaya. Anak tertua lagi!
Kemarin, saat sedang nonton siaran berita, aku ingat sekali, Mami menanyakanku sebuah buku sastra yang baru kubeli.
“Udah kamu beli, Nak… buku Konstelasi Sastra?” Coba, nama bukuku itu pun Mami tahu!
“Udah, Mi.”
“Coba bawa sini. Mami mau lihat.”
Agak segan kulangkahkan kaki ke kamar. Kuambil sebuah buku tebal berwarna biru tua yang baru kubeli di kampus.
“Dinamain dong, Nak! Nanti ketukar sama teman-teman yang lain.”
Setengah jam kemudian, buku itu sudah kembali berada di tanganku. Kali ini dengan sampul coklat polos yang dilapisi dengan sampul plastik. Didepannya tertulis nama lengkapku, jurusan, fakultas sampai universitasku! O… O, aku nyengir. Mirip buku si Eva, anak Om Yan yang baru kelas empat SD itu.
Mami memang selalu begitu. Coba mana ada sih Ibu yang ngurusin anak yang berusia dua puluh tahun lebih, sampai gitu-gitu amat! Ya, Mami itulah! Sungguh, aku tahu kalau Mami itu sayang banget sama aku… tetapi cara beliau itu, lho.
Coba! Mami benar-benar memperlakukanku seperti anak SD. Aku kan sudah gede. Sudah dewasa. April kemarin usiaku sudah dua puluh tahun. Aku sudah tingkat dua di Fakultas Ilmu Budaya. Anak tertua lagi!
Kemarin, saat sedang nonton siaran berita, aku ingat sekali, Mami menanyakanku sebuah buku sastra yang baru kubeli.
“Udah kamu beli, Nak… buku Konstelasi Sastra?” Coba, nama bukuku itu pun Mami tahu!
“Udah, Mi.”
“Coba bawa sini. Mami mau lihat.”
Agak segan kulangkahkan kaki ke kamar. Kuambil sebuah buku tebal berwarna biru tua yang baru kubeli di kampus.
“Dinamain dong, Nak! Nanti ketukar sama teman-teman yang lain.”
Setengah jam kemudian, buku itu sudah kembali berada di tanganku. Kali ini dengan sampul coklat polos yang dilapisi dengan sampul plastik. Didepannya tertulis nama lengkapku, jurusan, fakultas sampai universitasku! O… O, aku nyengir. Mirip buku si Eva, anak Om Yan yang baru kelas empat SD itu.
Mami memang selalu begitu. Coba mana ada sih Ibu yang ngurusin anak yang berusia dua puluh tahun lebih, sampai gitu-gitu amat! Ya, Mami itulah! Sungguh, aku tahu kalau Mami itu sayang banget sama aku… tetapi cara beliau itu, lho.
Bus yang kunaiki dari
tadi baru sampai di Pancoran. Biasa… macet. Entah, mungkin gara-gara si
Komo atau mungkin juga bapaknya “Si Komo” baru lewat. Macet lagi.
Kulirik seorang wanita yang duduk disebelahku. Tampaknya sebaya dengan
Mami. Tapi… ah, terlalu gemerlap. Sedang Mamiku itu sedehana. Kulihat
lagi dengan sembunyi-sembunyi Ibu itu. Eh, nggak tahunya ia sadar sedang
diperhatikan. Ia ganti memandangku. Ya Allah, dari ujung jilbab sampai
ujung kaos kaki! Dan tatapannya malah bikin hatiku miris. Itu lho, tatap
curiga! Ia menggeser duduknya, lebih menjauhiku.
Tanpa sadar aku
membandingkan wanita tadi dengan Mami. Oh ya, Mami itu super ramah sama
orang. Dan… ya, baru kuingat! Super perhatian pula sama para muslimah,
para jilbaber teman-temanku itu. Sampai pernah ada temanku seorang
jilbaber yang hijrah gara-gara ‘disiksa’ sama orang tuanya. Eh, Mami
yang marah. Malah Mami mau nyamperin tuh ortu segala. Akhirnya Mami rela
kalau temanku itu tinggal di rumah kami. Dan Mami perhatian banget juga
sama dia.
Mami… Mami. Tentang over perhatian beliau yang banget-banget kepadaku, sebenarnya aku ingin sendiri ingin deh, ngomong blak-blakan sama Mami, tetapi aku merasa nggak enak. Aku takut wanita yang paling halus perasaannya itu tersinggung. Aku takut hal itu menyakitinya. Aku tak mau hal itu terjadi.
Mami… Mami. Tentang over perhatian beliau yang banget-banget kepadaku, sebenarnya aku ingin sendiri ingin deh, ngomong blak-blakan sama Mami, tetapi aku merasa nggak enak. Aku takut wanita yang paling halus perasaannya itu tersinggung. Aku takut hal itu menyakitinya. Aku tak mau hal itu terjadi.
Cara yang paling tepat
untuk menegur Mami sebenarnya adalah lewat orang yang paling dekat
dengannya, siapa lagi kalau bukan Papi. Sebenarnya aku sudah beberapa
kali membicarakan hal ini dengan Papi, tetapi waktu itu Papi hanya
tersenyum. Malah kata beliau, “Tuh kan Papi nggak salah milih istri!”
nadanya gembira. Lha, aku melongo!
“Minggu! Minggu habis! Pasar Minggu!”
Suara kenek bus membuyarkan lamunanku. Aku segera turun dari bus dan melanjutkan perjalanan dengan miniarta jurusan Depok.
***
“Seharusnya kamu bersyukur kepada Allah karena memiliki Ibu seperti Mami,” kata Fathimah, teman dekatku. “Meskipun beliau keturunan Tionghoa, tapi tidak terlalu tercelup nilai-nilai adat atau agamis yang dianut oleh keluarga besar beliau sampai saat ini. Mengenai beliau terlalu perhatian… percayalah itu takkan lama lagi. Insya Allah ketika Mami sadar kamu sudah dewasa, Mami akan benar-benar menyerahkan segala sesuatu yang memang urusan kamu, padamu.”
“Kapan, Fath, kapan? Sekarang ini usiaku menjelang dua puluh satu tahun!” kataku.
“Sabarlah, akan tiba waktunya.”
Aku diam. Bukan apa-apa, salahnya mungkin over perhatian Mami itu karena Mami keturunan Tionghoa, sayangnya orang-orang sekitarku, sanak kerabat Mami begitu deh, rata-rata sama anaknya. Bahkan perhatian Oma sama Mami sampai saat ini, menurutku ya, over juga! Tapi hal ini tak kukatakan kepada Fathimah.
“Beruntung sekali kamu punya Ibu kayak Mami,” kata sahabatku yang lain, Diah. “Aku belum pernah diperhatikan sejauh itu sama Mamaku. Beliau terlalu sibuk. Bahagia sekali dong, kalau punya Ibu seperti Mami. Kadang kita sering merindukan Ibu kita memperhatikan hal-hal kecil tentang diri kita.”
Aku menarik napas panjang.
“Mami? Kamu bilang Mami over perhatian? Kamu gimana, sih? Selama itu bukan mengekang kebebasan, seperti yang Mami lakukan, wajar saja!” ini kata Yulita, jilbaber yang lain juga cukup dengan Mami. “Apalagi Mami tidak menggugat hal-hal yang kamu yakini dalam menjalankan syariat Islam. Apa lagi?” sambungnya.
Aku hanya diam. Buntut-buntutnya semua temanku mengatakan aku harus sabar. Semua toh berproses, Ikhlaskan semua. Biar lapang. Sabar… sabar. Aku harus bersabar, sampai Mami sadar. Aku sudah dewasa.
“Minggu! Minggu habis! Pasar Minggu!”
Suara kenek bus membuyarkan lamunanku. Aku segera turun dari bus dan melanjutkan perjalanan dengan miniarta jurusan Depok.
***
“Seharusnya kamu bersyukur kepada Allah karena memiliki Ibu seperti Mami,” kata Fathimah, teman dekatku. “Meskipun beliau keturunan Tionghoa, tapi tidak terlalu tercelup nilai-nilai adat atau agamis yang dianut oleh keluarga besar beliau sampai saat ini. Mengenai beliau terlalu perhatian… percayalah itu takkan lama lagi. Insya Allah ketika Mami sadar kamu sudah dewasa, Mami akan benar-benar menyerahkan segala sesuatu yang memang urusan kamu, padamu.”
“Kapan, Fath, kapan? Sekarang ini usiaku menjelang dua puluh satu tahun!” kataku.
“Sabarlah, akan tiba waktunya.”
Aku diam. Bukan apa-apa, salahnya mungkin over perhatian Mami itu karena Mami keturunan Tionghoa, sayangnya orang-orang sekitarku, sanak kerabat Mami begitu deh, rata-rata sama anaknya. Bahkan perhatian Oma sama Mami sampai saat ini, menurutku ya, over juga! Tapi hal ini tak kukatakan kepada Fathimah.
“Beruntung sekali kamu punya Ibu kayak Mami,” kata sahabatku yang lain, Diah. “Aku belum pernah diperhatikan sejauh itu sama Mamaku. Beliau terlalu sibuk. Bahagia sekali dong, kalau punya Ibu seperti Mami. Kadang kita sering merindukan Ibu kita memperhatikan hal-hal kecil tentang diri kita.”
Aku menarik napas panjang.
“Mami? Kamu bilang Mami over perhatian? Kamu gimana, sih? Selama itu bukan mengekang kebebasan, seperti yang Mami lakukan, wajar saja!” ini kata Yulita, jilbaber yang lain juga cukup dengan Mami. “Apalagi Mami tidak menggugat hal-hal yang kamu yakini dalam menjalankan syariat Islam. Apa lagi?” sambungnya.
Aku hanya diam. Buntut-buntutnya semua temanku mengatakan aku harus sabar. Semua toh berproses, Ikhlaskan semua. Biar lapang. Sabar… sabar. Aku harus bersabar, sampai Mami sadar. Aku sudah dewasa.
Dan tibalah hari itu, hari di mana kurenungi lagi semua
perkataan teman-temanku itu. Dan hari ini sesuatu menyentak hatiku: Mami
sakit! Maka hari ini tak kudengar tegur-teguran, saran-saran,
petuah-petuah Mami. Mami hanya terbaring di tempat tidur. Lemah. Hari
ini aku bisa melakukan apa saja. Bisa memilih apa saja. Tak ada yang
‘mencereweti’. Jauh dilubuk hati, aku merasa ada kehampaan. Ada sesuatu
yang kurasa kosong betul.
Entah mengapa hari ini kusadari betul
omongan Fathimah, Diah atau Yulita. Mami hanya bermaksud menyayangiku.
Perhatiannya yang berlebih adalah pengamalan kasihnya. Beliau lebih
mampu mewujudkannya dengan cara itu. Ya, buktinya… tanpa suara Mami,
hari jadi seperti bisu. Ya, hariku!
Seminggu kurasa kebisuan seperti melanda rumah kami. Tanpa tawa, tanpa suara Mami yang terkadang terdengar bingar itu. Seminggu kurasakan… ah! Aku rindu sapa, teguran beliau! Aku rindu! Sungguh!
***
Seminggu kurasa kebisuan seperti melanda rumah kami. Tanpa tawa, tanpa suara Mami yang terkadang terdengar bingar itu. Seminggu kurasakan… ah! Aku rindu sapa, teguran beliau! Aku rindu! Sungguh!
***
Sampai akhirnya seminggu yang
berat pun berlalu. Dan senja ini ketika aku pulang kuliah, pintu rumah
tak terkunci. Pintu kamar Mami tampak terbuka lebar. Beliau sedang
shalat.
Kuhampiri. Tampaknya Mami sedang ayik bermunajat kepada Allah. Beliau kelihatan sudah membaik. Ya, Mami memang punya penyakit jantung yang cukup gawat. Tahun kemarin saja sampai berobat ke Hongkong karena pembuluh darah beliau menyempit. Alhamdulillah, aku lega, kesehatan beliau memulih. Setelah Mami mengusap wajahnya dan mengucapkan amin, kuucapkan salam. Kucium tangan beliau.
“Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh,” sambut Mami tersenyum.
Aku segera memeluk Mami.
“Eh, ada apa ini, ayo mau minta apa nih, dari Mami! Mentang-mentang Mami udah sehat.” Mami tertawa.
“Idiiiih Mami, su’udzan aja!” kataku nyengir.
“Sana makan dulu! Mami masak He Ci, tuh!”
“Oke bos, emang laper sih!” Dengan riang aku melangkah menuju meja makan. Senang, tampaknya Mami telah sembuh. Sudah bisa masakin kami lagi!
Baru saja aku ingin menyuapkan makanan ke mulut….
“Vie, cuci tangan dulu, sayang! Jangan minum air es, kamu kan agak batuk. Eh, jangan lupa ambil centong nasi yang kering untuk menyendok nasi! Nanti nasinya basiii!” kata Mami beruntun dari dalam kamar.
Kuhampiri. Tampaknya Mami sedang ayik bermunajat kepada Allah. Beliau kelihatan sudah membaik. Ya, Mami memang punya penyakit jantung yang cukup gawat. Tahun kemarin saja sampai berobat ke Hongkong karena pembuluh darah beliau menyempit. Alhamdulillah, aku lega, kesehatan beliau memulih. Setelah Mami mengusap wajahnya dan mengucapkan amin, kuucapkan salam. Kucium tangan beliau.
“Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh,” sambut Mami tersenyum.
Aku segera memeluk Mami.
“Eh, ada apa ini, ayo mau minta apa nih, dari Mami! Mentang-mentang Mami udah sehat.” Mami tertawa.
“Idiiiih Mami, su’udzan aja!” kataku nyengir.
“Sana makan dulu! Mami masak He Ci, tuh!”
“Oke bos, emang laper sih!” Dengan riang aku melangkah menuju meja makan. Senang, tampaknya Mami telah sembuh. Sudah bisa masakin kami lagi!
Baru saja aku ingin menyuapkan makanan ke mulut….
“Vie, cuci tangan dulu, sayang! Jangan minum air es, kamu kan agak batuk. Eh, jangan lupa ambil centong nasi yang kering untuk menyendok nasi! Nanti nasinya basiii!” kata Mami beruntun dari dalam kamar.
Aku cuek meneruskan makan. Tak ada kesal. Tak ada gundah. Tak ada cemberut. Lapang. Dan tampaknya Mamiku sudah betul-betul sembuh! Terimakasih Allah untuk Mami yang seperti ini!
***
Langganan:
Postingan (Atom)
Membedakan Sifat-Sifat dan Ragam Bahasa
Silakan pahami narasi-narasi berikut sehingga Saudara dapat memahami perbedaan sifat-sifat bahasa! 1. Fakta sejarah bahwa orang atau kelompo...
-
Salah satu kebahagiaan jika dapat berkumpul bersama keluarga sambil menikmati menu makanan. Sepertinya, tak banyak orang dapat melumat makan...
-
Sejak dulu, salah satu mimpi besarku dapat bertandang di Pulau Bali—tempat yang diagung-agungkan banyak orang—menikmati sunset di Kuta. ...
-
Bertepatan pada tanggal 22 Desember yaitu Hari Ibu, PJ Event beserta AE Publishing mengajak kalian semua untuk menulis ‘surat’ untuk Ibu. ...