Sabtu, 20 Juli 2013

Cahaya di Teluk Betung



“Aku nggak mau ngajar lagi!” protes Feby lalu menjatuhkan tubuhnya di kasur. Kepalanya dibenamkan di bantal yang tergeletak sembarang. Ada sebongkah beban yang mengguncangi pikiran. Rasa malu masih mengitari ingatannya. Feby amat geram dengan bocah-bocah tengil tak tahu diri itu. Mengingat tingkah laku mereka, ingin sekali ia mencubiti satu-satu tangan mereka yang jahil sampai menangis sejadinya. Gigi-gigi Feby bergemeretak. Masih merepet keluh-kesalnya. Sementara Lidya, tersenyum kecil, menerima kabar tak mengenakkan dari sahabatnya itu.

“Sendalku itu masih baru, Lid. Gila, sudah hilang. Mana mahalll...” racau Feby, beringsut, membuang bantal di sembarang tempat.
“Feby... harap maklumlah. Mereka anak-anak, ya harus...”
“Harus sopan dengan yang lebih tua!” potong Feby. “Aku ini guru mereka lho!” sambung Feby berapi-api. Napasnya naik-turun. Hidungnya kembang-kempis menahan marah. Aliran darahnya terasa mendidih. Sedang Lidya cuma geleng-geleng menanggapi sikap Feby tak mau kalah dengan anak-anak.

Matahari hampir tenggelam. Angin mendesir di bibir pesisir. Langit merah berkarat. Segerombol anak menuju musala guna tunaikan tiga rakaat menghadap Sang Ilah. Setelah itu, belajar mengaji, mengenali lebih dekat Sang Pencipta semesta melalui lantunan kalam Alquran. A ba ta tsa dan seterusnya, dieja pelan-pelan. Lidya ikut mengajari mereka—murid-murid Sekolah Gema –Ical, Deri, Butet, Emil, dan Asha. Ical yang paling susah diajarkan ngaji. Seringkali terbalik membedakan ja dan kha. Lidya tertawa kecil, geli sendiri akan tingkah anak-anak didiknya.

Feby lebih memilih tinggal di kos. Menyiapkan seragam mengajar, selembar jilbab, dan buku-buku pelajaran untuk esok. Ah, entah, bila malam tiba lalu teringat aktivitas rutinnya tiap pagi, gairah mengajar rasanya lindap. Sejak Feby mengenal segerombol bocah nakal, hidupnya merasa tak nyaman. Tak tentram. Agenda kuliahnya jadi tak bermakna. Barang-barang yang dibawanya ke sekolah, pasti hilang. Yang menghilangkan, siapa lagi kalau bukan lima kurcaci itu, sebutan untuk lima bocah kecil yang selalu menjahilinya: Ical, Deri, Butet, Emil, dan Asha.

“Ibu kalau ngajar jangan galak-galak, Bu!” celetuk Ical.
“Iya, Bu. Hidup kami sudah susah, masa’ belajar juga susah,” tambah Butet lalu mengelap ingus dari hidungnya.
“Betul!” tandas Emil.
“Iya. Betul!” seru lainnya serempak. Sekonyong-konyong Feby tersudut, merah menyalalah wajahnya. Amarah tak bisa ia hindari. Meja sempat digebraknya. Siswa-siswa pinggir pesisir itu terperanjat ketakutan, tapi tak lama mereka tertawa hebat. Entah, apa yang membuat mereka merasa lucu. Mungkin karena sikap Feby yang terlalu serius menanggapi komentar-komentar bocah yang belum genap dua belas tahun.

Raib. Sejak Feby sekali—dua kali marah, sepatu bermereknya, hilang sebelah. Murid-murid hanya menggeleng, tanda tak tahu. Namun, di antaranya ada yang terkikik pelan. Feby menelan ludah. Menahan marah.

Dua—tiga kali. Hilang lagi! Belum lama sepatu, komik Jepang yang dibawanya ke kelas, sekarang sandal-sepatu tali yang dibelinya satu minggu lalu. Merek impor pula! Sengaja ia persiapkan untuk tunaikan matakuliahnya di Teluk Betung, daerah pesisir yang mayoritas penduduknya nelayan dan berumahkan di pinggir laut. 

Kali itu, Feby marah hebat. Hampir semua siswa dijemur dengan mengangkat satu kaki, sedang tangan menjewer telinga masing-masing dengan cara menyilang. Murid-murid mulai meringis. Tak tahan menahan panas. Wajah sudah merah terpanggang matahari. Menepis peluh yang banjir. Tapi, ada juga yang malah tertawa kecil. Seperti sengaja mencibir. Siapa lagi kalau bukan Ical Cs, biang ulah keributan di kelas. Alhasil, Feby ditegur kepala dusun di sana. Untungnya, ia masih diizinkan mengajar.

“Mau kayak mana lagi coba ngadepin kurcaci-kurcaci itu? Mau diem aja?” Feby marah-marah tak keruan, setengah berjingkat-jingkat meluapkan amarah. Lidya menoleh, menanggapi enteng persoalan Feby. Kembali melanjutkan tulisannya yang tengah diedit di layar komputer. Feby diam. Menciptakan hening. Seolah berpikir bagaimana caranya agar ia mengajar bisa dihargai murid-murid layaknya guru lain.

“Aku nggak mau kalau barang-barangku hilang terus. Pokoknya kalau sampai terjadi lagi, lebih baik aku stop mengajar. Nilai E mungkin lebih terhormat, Lid,” sambung Feby. Lidya membuang napas. Penat tiap sampai di kosan, ia laiknya bak sampah yang selalu menimbun keluhan Feby.

“Ya sudah. Besok ikut aku ngajar,” ajak Lidya, singkat. Feby setengah terlonjak.
“Buat apa?” tanyanya penasaran.
“Jangan banyak tanya. Ikut saja besok. Pakai pakaian yang rapi,” jawabnya singkat.

Angin malam mendesir. Menabuh-nabuh kulit. Feby keluar kosan. Ia menyisiri jalan. Suasana mengurung sepi. Terpasung di bola matanya, ada bocah kecil tengah berdiri memandang lepas lautan. Seperti menunggu sesuatu yang datang dari sana. Feby lama memerhatikan. Bentuk tubuh dan rambut ikal yang menjuntai mengingatkannya pada salah satu muridnya yang menyebalkan di sekolah. Butet! Ia, dia butet. Sedang apa dia malam-malam gini? Ah, dasar bocah nakal. Bukannya istirahat di rumah, malah keluar malam-malam, Feby membatin. Ia tak hirau.
***
Pagi datang. Matahari kembali menantang. Berdiri gagah dengan menyeruakkan caya panas. Feby dan Lidya berpakaian rapi. Pakaian atas-bawah berwarna coklat muda senada. Juga jilbab yang dipakai indah. Mencirikan muslimah yang tahu aturan agama. Aksesori yang mengait di jilbab, makin memaniskan rupa.

“Aku nanti ngapain, Lid?” tanya Feby mengikuti ritme langkah Lidya menuju sekolah. Letak sekolah yang tak begitu jauh dari kosan mereka. Berkisar tiga ratus meter. Napas Feby mulai naik-turun. Hidungnya kembang-kempis. Keringat mulai bercucuran di pelipisnya. Lidya melirik lalu tersenyum. Dirogohnya saku, diberikannya tisu. Feby menerima tanpa basa-basi.
“Kamu lihat aku saja nanti. Tak perlu komentar.” Feby manggut-manggut, tanda mengerti.

Lidya masuk ke kelas yang berukuran tak besar seperti kelas-kelas yang ada di sekolah pada umumnya. Mengucapkan salam lalu dijawab serempak murid-murid di kelas. Mereka menyambarkan senyum yang paling manis dipunya. Tatapan kasih sayang Lidya, ia tebarkan pada tiap sudut mata anak didiknya. Semua surut dalam hening. Mata-mata itu berbinar. Tak sabar menanti Lidya segera mengajar. 

Feby membuat catatan kecil. Menuliskan poin-poin yang tak ia lakukan seperti Lidya. Ical cs tertawa kecil. Feby langsung menjatuhkan dua bola matanya pada bocah-bocah tengil itu. Menatapnya setengah sinis.
“Ibu Feby ngapain tuh ikut-ikut Ibu Lidya?” Deri celetuk asal. Ical, Emil, dan Asha tertawa geli. Sementara Butet, tak terlihat pagi itu.
“Pasti nanti nggak seru,” sambung Emil.
“Iya, betul!” tandas Asha, disambung riuh Deri, Ical, dan Emil. Feby diam. Ia sekuat mungkin menahan gemuruh hatinya. Kalau tidak memandang Lidya, ingin sekali ia cubiti satu-satu bocah-bocah tengil itu. 

Lidya menyeringai senyum. Memulai pelajaran dengan menyelipkan satu kisah inspiratif untuk murid-muridnya. Bercerita dengan alur yang membuat anak didiknya tenggelam dalam kisah. Antusias dipasangnya erat-erat. Mereka sampai lupa dan tak hirau dengan guru yang tak mereka suka: Feby. Sedang Feby, ia mencatati poin demi poin hal apa saja yang dilakukan Lidya dalam mengajar. Sungguh, amat berbeda dengannya. Feby turut menikmati pelajaran yang diberikan Lidya yang penuh keibuan. Pelajaran berhitung yang dibuat Lidya pun menjadi mudah dan menyenangkan.

Feby tercenung. Sesekali ia tersadar lalu kembali menuliskan poin-poin penting yang terlepas darinya sebagai calon guru. Sebagai mahasiswa yang duduk di bangku keguruan, tapi tak sedikit pun memiliki jiwa welas asih untuk murid-murid. Hati Feby rasanya melonjak-lonjak. Malu, sudahlah pasti. Ia tersudut di mata murid-muridnya, khususnya, Ical cs.yang tak suka cara mengajarnya. Terlalu serius. Menakutkan. Seperti monster, kata mereka.

Feby sadar, mereka adalah kotak kosong yang mesti diisi hal positif, menyenangkan, dan kreatif. Sebab hari-hari mereka telah dipenuhi kejenuhan harapan agar perut dapat terisi terus, tak melulu bergantung pada angin yang membawa ayah-ayah mereka mencari rezeki di tengah lautan yang membahayakan. Selama ini Feby mengubah ujudnya jadi monster yang memiliki keahlian mengajar. Menjadikan anak-anak berwajah polos itu seperti robot. Mengikuti maunya mengerjakan tugas dan tugas. Mendapatkan ilmu dalam ketakutan yang menggigil.

Malam. Feby menciptakan hening. Tak banyak ia bicara setelah menyaksikan bagaimana Lidya mengajar. Hanya kata terima kasih yang disampaikan tatkala senja meringkuk.
Angin kembali menyisir. Untuk malam berikutnya, ia menapaki jalan. Ditemui kembali gadis kecil berambut ikal. Ia memandangi lautan. Seperti masih berharap sama: menanti kapal yang datang dari seberang sana.

“Butet,” sapa Feby, lembut. Ia menoleh. Kikuk geraknya. Ada segurat cemas di wajah. “Sedang apa?” lanjutnya. Butet tak menjawab. Beringsut perlahan lalu buru-buru pergi meninggalkan Feby. Feby bergeming. Air bening mengalir dari pelupuk mata. Sengeri itukah dirinya di mata Butet.
***
Masuk bulan pertama Feby mengajar di Teluk Betung. Sejumput kisah ia rekam di memorinya. Segenggam rasa sayang bertunas di hatinya. Kasih itu tiba-tiba saja mencuat. Segenap perasaan yang mulai ia tebar untuk murid-muridnya.

Feby masuk kelas, diawali salam. Semua siswa di kelas terkejut dengan salam yang diberikan guru monsternya itu.
Wa...a...lai...kum sa...lam...” jawab serempak penuh kikuk. Ada yang tersenyum senang. Ada yang merasa aneh. Ada yang tertawa kecil. Pun ada yang diam saja. Takut-takut Feby menggebrak meja kembali. Feby membalas semua ekspresi mereka dengan senyum. Penuh sayang.

Poin-poin besar yang menjadi catatan dirinya dalam mengajar, diubahnya drastis. Mengajar penuh rileks, diselingi gurauan agar tak dipandang monster. Feby juga mengikuti cara mengajar Lidya. Menyelipkan kisah keislaman agar murid-murid makin mengenali Tuhannya.

Hari pertama dalam perubahan mengajarnya, memang tak seindah ekspektasi yang dibayangkan. Tak apalah, meski Ical cs.menganggapnya monster jadi-jadian berubah jadi bidadari, tak menyurutkan kasih sayang Feby untuk mengajar. Hari kedua, Asha mulai menegur Feby saat istirahat. Disusul Deri dan Emil. Sementara Ical, ia masih enggan. Butet sudah beberapa hari tak sekolah.

Senja tiba. Gerimis berjatuhan. Daun-daun ranting menari-nari tertiup angin liar. Tiga rakaat wajib tertunaikan. Anak-anak berlarian menuju musala. Kembali mengaji. Mengenali Allah melalui kalam-Nya. Ini kali kedua Feby mengurungkan diri untuk berdiam di kos. Bersama Lidya, ia ikut mengajar ngaji. A ba ta tsa dilafal Emil satu-satu. Feby bahagia.

Tiba-tiba Ical datang. Mengambil posisi duduk di depan Feby.
“Bu Guru, saya mau ngaji juga,”  katanya ramah, polos. Feby terhentak. Menahan haru. Hanya anggukan dan senyum disemainya. Pelan-pelan, terbata-bata, Ical melafalkan sederet huruf hijaiyah. Feby membimbingnya. Pelan-pelan, penuh kasih.

Esoknya mengajar. Feby datang menjuntaikan salam. Semua siswa menjawab lalu disusul suasana hening. Feby menatap satu-satu bola mata murid-muridnya. Ical sc.hanya diam. Feby menggelayutkan pertanyaan dalam batin tatkala Butet hadir di pertemuannya.

Butet menghampiri Feby. Di tangan kanannya dipenuhi satu kotak terbungkus rapi. Ia melangkah pelan, mendekati Feby. Sambil setengah menunduk. Masih takut dengan perangai Feby.

“Ini untuk Ibu,” katanya pelan. Belum sempat Feby tanya ketidakhadiran Butet beberapa hari lalu, satu pertanyaan baru menyembul. Satu kotak diberikan untuknya. Hari ini bukan hari kelahirannya. Semrawutan pertanyaan di kepala.
“Dibuka saja, Bu,” saran Ical lalu terkekeh.
“Iya, Bu,” jawab yang lain.
Feby tak percaya. Ia menilik satu-satu ekspresi guratan wajah muridnya. Khawatir bocah-bocah tengil itu akan berbuat iseng. Penuh hati-hati, Feby membuka bungkus kotak segi empat di hadapannya.

Hening...
Dalam hitungan detik, Feby menahan haru. Ada air mata yang membayang lembut. Seuntai kalimat menyuruknya dalam sedih. ‘Maafkan kenakalan kami, Bu’. Lagi, Feby kembali menatap wajah-wajah polos itu. Tak kuat menahan bendungan hebat air mata di pelupuk. Mengalir begitu saja, membasahi pipi kanan-kirinya. Sepatu heels, beberapa komik Jepang, sepatu-sandal, dan barang lainnya yang sempat raib, kini ada di depan mata. Tersaji manis dalam kemasa kotak yang diberikan Butet.

“Maaf, Bu. Komiknya saya pinjam,” celetuk Butet. “Nunggu abah pulang dari laut, jadi saya baca komik Ibu,” tambahnya lalu cengengesan. Yang lain tertawa. Riuh tercipta. Feby mengangguk-angguk, tak mengapa batinnya berucap.
“Sepatu ibu yang tinggi, saya jadiin ganjalan pintu, Bu. Emak udah ngomel-ngomel sama Abah yang susah bener betulin pintu,” papar Ical. Kelas makin riuh. Tawa melingkupi. Feby haru. Air matanya belum usai menganak.
“Terima kasih, anak-anakku,” jawabnya lirih.

Haru-biru menyurut. Belajar kembali berlanjut. Tunas kasih sayang Feby melangit. Di kelas itu, ia diajarkan berhati lembut, bukan monster yang berwujud guru. Di kelas itu, ia temui mata-mata berbinar yang butuh sosok guru yang ikhlas. Belajar menanam harap agar ilmu dan perut dapat terisi setelah ayah mereka masing-masing pulang, lelah dari melaut. Feby temukan cahaya itu dari jiwa-jiwa mereka. Para cahaya di pesisir Teluk Betung. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Membedakan Sifat-Sifat dan Ragam Bahasa

Silakan pahami narasi-narasi berikut sehingga Saudara dapat memahami perbedaan sifat-sifat bahasa! 1. Fakta sejarah bahwa orang atau kelompo...