Sejak dulu, salah satu mimpi besarku dapat bertandang di Pulau Bali—tempat yang diagung-agungkan banyak orang—menikmati sunset di Kuta. Persis di film! Ditemani langit yang bergaris keemasan serta deburan ombak yang berakhir di bibir pantai. Bercengkerama bersama turis dengan modal kemampuan bahasa Inggrisku yang belepotan. Wah, tak terbayangkan!
Kupikir
mimpi tetaplah mimpi laksana bunga tidur yang jarang terealisasi. Ternyata
Allah memang Mahabaik. Segala keinginanku cepat-lambat selalu dikabulkan-Nya. Meski
mimpi itu kutanam di usia belasan, aku dapat memetiknya di usia 21 tahun. Oh
... Bali, betapa molek setiap lekukan pantai, daratan, serta sisi budayamu. Aku
terkesiap menyaksikan keindahan yang Allah berikan padamu. Mimpiku tak sekadar
mimpi! Bali kunikmati di depan mata.
***
Beasiswa
Unila, ‘cair’ juga. Aku makin girang. Suka-cita melonjak hebat di air mukaku. Mengapa
tidak? Perjalanan ke Bali dengan memegang uang saku, tak membuat aku gigit
jari. Eiits ... sebenarnya, ada tiga
kota yang akan kutapaki: Yogyakarta, Solo, dan Bali. Sebenarnya juga nih, itu
merupakan agenda Kuliah Kerja Lapangan (KKL) bersama teman-teman serta beberapa
dosen di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Lampung.
Namun, aku menganggapnya bukanlah matakuliah yang tengah kuemban, melainkan traveling yang sepanjang jalan
mengandung pemandangan yang mengejutkan. Yaah...
kurang lebih sambil menyelam minum air. Setiap lesapan roda bus kunikmati
dengan saksama dengan mata telanjang. Menjamah pemandangan di sisi kanan-kiri.
Tak acap aku tertidur di dalamnya.
Rabu,
27 Januari 2010. Singgahan pertama, kaki kami mendarat di Kota Gudeg, Yogyakarta.
Di kota itu, kami melakukan presentasi mengenai Lampung di Universitas Sarjanawiyata
Tamansiswa. Hari berikutnya, perjalanan pun tiba di Universitas Negeri Sebelas
Maret, Surakarta. Di kota yang terkenal dengan nasi liwet itu, kami diterima
penuh takzim. Salah satu persembahan kami, yang menunjukkan identitas Lampung
ialah pembacaan pepaccur. Pepaccur merupakan salah satu jenis
sastra lisan Lampung berbentuk puisi yang berisikan nasihat. Selintas aku
menatap wajah para mahasiswa yang mengenakan jaket almamater biru muda itu.
Mereka penuh kagum terhadap kami, tetapi tak sedikit pula yang mengernyitkan
kening. Mereka bingung, tak tahu arti setiap kata isi pepaccur yang dilisankan dalam dialek A bahasa Lampung itu.
Sore
menuju senja. Alhamdulillah, sederet
agenda telah rampung di Yogyakarta dan Solo. Wah, entah mengapa, kala itu yang terlintas di pikiranku setelah berkunjung
ke sana ialah rumput tetangga selalu
tampak lebih hijau. Aku lihat dari kacamata kebersihan dan mutu pendidikan
di kedua kota itu sudah baik. Juga terasa nyaman dan asri. Astaghfirullah, bukan berarti tak patuh akan pepatah daripada
hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri.
Ah, Bandarlampung, kota tapis berseri tetap di hati.
Badanku
terasa lengket sebab belum mandi. Aku mulai kelelahan. Sudah dua hari pula aku
tak bersama keluarga. Tiba-tiba rindu menguak untuk orang rumah. Air mata pun
menitik. Sementara tour guide yang
menemani kami dari Lampung, berdiri tepat tak jauh dariku. Dengan nada akrab,
Beliau memberitahu bahwa perjalanan berikutnya menuju Bali. Aku setengah
terperanjat. Mataku berbinar. Hatiku melonjak senang. Wah, Kute, Sanur... tak disangka, mimpiku yang dulu meremas asa,
sebentar lagi aku di sana. “Bali... akhirnya kujamah Kau!” seruku bergelora.
***
Jumat,
29 Januari 2010, pukul 11.00 WIB aku dan rombongan tiba di Pelabuhan Ketapang,
Jawa Timur. Wah, deg-degan beradu
gembira mengguncang hati. Seperti mimpi, tetapi nyatanya mataku sedang tak
terpejam. Setibanya di kapal, kami disambut bocah-bocah koin yang bermain di
laut. Mereka berharap para wisatawan melemparkan koin-koin untuk mereka. Dengan
segera, aku merogoh beberapa koin dari saku lalu melemparnya untuk mereka.
Sekitar pukul 12.00
WITA, aku dan rombongan sampai di Pelabuhan Gilimanuk, Bali. Namun, kami tak
semudah itu masuk ke pulau yang menjadi destinasi para domestik itu. Alih-alih
ada pemeriksaan KTP. Dengan alasan sejak ada pemboman di Bali (2002) silam,
orang-orang yang masuk ke Bali, diperiksa KTP terlebih dulu. Alhamdulillah, tak ada masalah dalam
pemeriksaan, perjalanan kami lanjutkan lagi. Tancap!
Kurang lebih
Pukul 13.00 WITA, aku beserta rombongan tiba di objek wisata pertama, Tanah
Lot, Bali. Tanah Lot terletak di Desa Braban, Bali. Kata Tanah Lot memunyai
makna dari kata Tanah yang diartikan
sebagai batu karang yang menyerupai gili atau pulau kecil, sedangkan kata Lot atau Lod memunyai arti laut. Sehingga nama Tanah Lot diartikan sebagai
batu karang yang terapung di tengah lautan. Di sana terdapat Pura Tanah Lot
yang di dalamnya bersemayam ular suci berwarna hitam-putih melingkar. Konon
ular itu dianggap sebagai penjaga Pura Tanah Lot.
Tak
mau membuang momen yang ada, aku, kawan-kawan, serta dosenku mendokumentasikan
diri di sana. Tak hanya itu, kami pun sempat mencoba ritual singkat di Tanah
Lot: air, beras, dan bunga kamboja. Aku dan kawan-kawan mencicipi pancuran air
bening tawar yang dianggap suci. Seorang lelaki baya memercikkan air wewangian
di kepala kami lalu menempeli beberapa butir beras putih sebagai tanda
pemberkatan. Tak ketinggalan, sekuntum kamboja diselipkannya pula di telinga
kiri kami. Ia lakukan dengan hormat. Aku sempat bertanya pada bapak yang
melayaniku. Beliau berkata bahwa beras dan kamboja mengandung makna tersendiri.
Beras memiliki makna agar diri kita senantiasa dapat berpikir seputih beras. Sementara
bunga yang diselipkan di telinga kiri menandakan bahwa diri ini mau mendengarkan
nasihat dari orang lain: siapapun itu, tanpa melihatnya secara fisik dan kasta.
Menurutku,
Bali merupakan surga objek wisata. Tak rugi para pelancong melabuhkan dirinya
di pulau yang sarat dengan keaslian budaya itu. Namun demikian, bila kita melancong
ke Bali, ada hal-hal yang mesti dijaga. Sebab Bali memiliki cukup larangan yang
tidak boleh dilakukan: menginjak sajen dengan sengaja, memotret dengan blitsz pada saat upacara keagamaan. Juga
larangan bagi wanita yang sedang datang bulan masuk ke pura. Sebab pura
dianggap tempat suci sehingga wanita yang sedang tidak suci (datang bulan)
dilarang keras masuk. Aku ingat betul kalimat-kalimat itu disampaikan guide tour kami yang dipanggil dengan
sebutan Beli (dibaca: Bli).
Kami
mengunjungi beberapa objek wisata di Bali: Tanah Lot, Kuta, Sanur, Hutan Pala
Sangeh, Batubulan (menikmati tari Barong), Pasar Sukowati, pusat perbelanjaan
khas Bali, dan berakhir di Bedugul. Semuanya telah memberikan kesan yang indah.
Hingga kutuliskan kisah ini, satu momen pun belum bisa terlupakan. Namun, saat
ini, cukup aku ceritakan traveling-ku
beserta rombongan di Tanah Lot dan Bedugul. Mengapa demikian? Ini soal hati. Titik.
Oh, tidak! Aku hanya bercanda. Ini lebih terkait degan rasa. Sungguh kekuasaan
Allah yang Mahaindah telah menanugerahkan Indonesia dengan pemandangan yang
luar biasa.
Baiklah,
aku lanjutkan ceritaku lagi. Minggu, 31 Januari 2010, Bus Darma Duta yang setia
menemani kami, melaju, menuju objek wisata selanjutnya. Setelah sebelumnya, aku
dan rombongan membeli oleh-oleh khas Bali. Ada beberapa bungkus kacang bali
yang kusimpan guna buah tangan untuk keluarga dan sanak famili di
Bandarlampung. Bli menyampaikan bahwa destinasi wisata selanjutnya ialah Bedugul.
Awalnya aku tak begitu interest dengan
istilah Bedugul. Kata yang belum pernah kudengar sebelumnya. Perjalanannya
cukup jauh. Sambil menunggu, aku ngalor
ngidul sejenak. Cukup menghilangkan kejenuhan di bus. Sementara kamera selalu
siap di tangan. Bila ada objek yang view-nya
bagus, kamera di tangan siap membidik dengan cepat.
Perjalanan
semakin menanjak. Bli masih setia ‘mendongengkan’ kami dengan cerita-cerita
rakyat di Bali. Telingaku menyimak, tetapi mata menyisir di setiap pemandangan
di sisi kiriku. Bli mnghentikan sejenak ceritanya. Ia menunjuk pada satu pohon
kelapa yang menurutku aneh. Ya, aneh! Mengapa demikian? Baru kali ini aku
menemukan pohon kelapa yang bercabang empat. Subhanallah... Lagi-lagi kekuasaan Allah berkata. Masyarakat setempat
menganggap pohon tersebut suci, sama halnya ketika aku dan rombongan mampir di
Hutan Pala Sangeh. Di sana ada Pohon Lanang Wadon yang di bagian tengah
batangnya terdapat bentuk yang menyerupai kelamin laki-laki dan perempuan. Mungkin
karena bentuknya demikian sehingga disebut Pohon Lanang Wadon.
Ternyata
Bedugul itu indah. Letaknya di daerah pegunungan, Desa Candikuning. Meski udara
cukup menusuk tulang saking dinginnya, semua itu terobati tatkala mataku
terhipnotis oleh pemandangan yang memukau. Satu pemandangan yang sungguh luar
biasa tersuguhkan di sana. Danau Beratan menghiasi Bedugul, memesonakan mata.
Ketika itu,
kabut tengah tebal. Namun, aku tak begitu peduli. Bahkan aku dan kawan-kawan
menyewa satu kapal boot untuk
menyeberangi Danau Beratan yang airnya tenang. Tak ketinggalan, kami
mengabadikan beberapa jepretan foto di sana. Kabut cukup gelap, suasana makin dingin. Waktu
menunjukkan pukul 16.35 WITA. Kami masih menikmati keindahan danau yang tak
bisa kami komentari, selain kata indah. Ternyata masih ada keindahan lain lagi
yang disajikan di Bedugul, yaitu Pura Ulun Danu. Aku setengah tercenung
sambil memikirkan rupa Pura Ulun Danu. Beberapa detik berlalu ... dan yapp! Aku baru ingat. Pura itu yang ada
di cetakan uang 50 ribuan. Wah, subhanallah...
aku bisa melihatnya secara langsung! Pesona-pesona yang sungguh menakjubkan
mata.
Berdasarkan
info yang kuperoleh, Pura Ulun Danu Beratan terdiri atas empat kompleks pura: Lingga
Petak, Penataran Pucak Mangu, Terate Bang, dan Dalem Purwa berfungsi untuk
memuja keagungan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Tri Murti, guna
memohon anugerah kesuburan, kemakmuran, kesejahteraan manusia, dan lestarinya
alam semesta. Kurang lebih sekitar sepuluh menit berlalu penyeberangan dengan
kapal boot dan akhirnya berhenti
tepat seperti dermaga kecil. Kupikir kakiku sedang berpijak di tempat
pemandangan serupa. Akan tetapi, ini berbeda. Ternyata di hadapanku mentereng villa
mewah. Namanya Bedugul Wana Villas Bali. Aku terkesiap dengan ornamen bangunan
yang ada. Lagi-lagi kukatan subhanallah...
dan woow!
Ponselku tiba-tiba berdering. Salah
satu teman menghubungi untuk segera kembali sebab kabut makin gelap. Sementara
rombongan sudah menanti aku dan beberapa teman di bus. Aku dan teman-teman riang.
Kami tertawa lepas. Menikmati danau, menemani kabut, memuji kebesaran Allah
yang tak ada hentinya. Sejenak aku pandangi kabut yang tak lagi pucat. Teringat
orang-orang rumah. Teringat akan semua mimpi yang kupahat satu per satu di
ingatan. Dan satu lagi, hari itu aku menabuh mimpi kembali. Mimpi di Pulau
Bali. Mimpi akan mengajak bapak, ibu, mbak-kakak, serta saudara kembarku,
Destiana. Semoga.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar