Kamis, 08 November 2012

Menabuh Mimpi di Pulau Bali


Sejak dulu, salah satu mimpi besarku dapat bertandang di Pulau Bali—tempat yang diagung-agungkan banyak orang—menikmati sunset di Kuta. Persis di film! Ditemani langit yang bergaris keemasan serta deburan ombak yang berakhir di bibir pantai. Bercengkerama bersama turis dengan modal kemampuan bahasa Inggrisku yang belepotan. Wah, tak terbayangkan!

Kupikir mimpi tetaplah mimpi laksana bunga tidur yang jarang terealisasi. Ternyata Allah memang Mahabaik. Segala keinginanku cepat-lambat selalu dikabulkan-Nya. Meski mimpi itu kutanam di usia belasan, aku dapat memetiknya di usia 21 tahun. Oh ... Bali, betapa molek setiap lekukan pantai, daratan, serta sisi budayamu. Aku terkesiap menyaksikan keindahan yang Allah berikan padamu. Mimpiku tak sekadar mimpi! Bali kunikmati di depan mata.
***

Beasiswa Unila, ‘cair’ juga. Aku makin girang. Suka-cita melonjak hebat di air mukaku. Mengapa tidak? Perjalanan ke Bali dengan memegang uang saku, tak membuat aku gigit jari. Eiits ... sebenarnya, ada tiga kota yang akan kutapaki: Yogyakarta, Solo, dan Bali. Sebenarnya juga nih, itu merupakan agenda Kuliah Kerja Lapangan (KKL) bersama teman-teman serta beberapa dosen di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Lampung. Namun, aku menganggapnya bukanlah matakuliah yang tengah kuemban, melainkan traveling yang sepanjang jalan mengandung pemandangan yang mengejutkan. Yaah... kurang lebih sambil menyelam minum air. Setiap lesapan roda bus kunikmati dengan saksama dengan mata telanjang. Menjamah pemandangan di sisi kanan-kiri. Tak acap aku tertidur di dalamnya.  

Rabu, 27 Januari 2010. Singgahan pertama, kaki kami mendarat di Kota Gudeg, Yogyakarta. Di kota itu, kami melakukan presentasi mengenai Lampung di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa. Hari berikutnya, perjalanan pun tiba di Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta. Di kota yang terkenal dengan nasi liwet itu, kami diterima penuh takzim. Salah satu persembahan kami, yang menunjukkan identitas Lampung ialah pembacaan pepaccur. Pepaccur merupakan salah satu jenis sastra lisan Lampung berbentuk puisi yang berisikan nasihat. Selintas aku menatap wajah para mahasiswa yang mengenakan jaket almamater biru muda itu. Mereka penuh kagum terhadap kami, tetapi tak sedikit pula yang mengernyitkan kening. Mereka bingung, tak tahu arti setiap kata isi pepaccur yang dilisankan dalam dialek A bahasa Lampung itu.

Sore menuju senja. Alhamdulillah, sederet agenda telah rampung di Yogyakarta dan Solo. Wah, entah mengapa, kala itu yang terlintas di pikiranku setelah berkunjung ke sana ialah rumput tetangga selalu tampak lebih hijau. Aku lihat dari kacamata kebersihan dan mutu pendidikan di kedua kota itu sudah baik. Juga terasa nyaman dan asri. Astaghfirullah, bukan berarti tak patuh akan pepatah daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri. Ah, Bandarlampung, kota tapis berseri tetap di hati.

Badanku terasa lengket sebab belum mandi. Aku mulai kelelahan. Sudah dua hari pula aku tak bersama keluarga. Tiba-tiba rindu menguak untuk orang rumah. Air mata pun menitik. Sementara tour guide yang menemani kami dari Lampung, berdiri tepat tak jauh dariku. Dengan nada akrab, Beliau memberitahu bahwa perjalanan berikutnya menuju Bali. Aku setengah terperanjat. Mataku berbinar. Hatiku melonjak senang. Wah, Kute, Sanur... tak disangka, mimpiku yang dulu meremas asa, sebentar lagi aku di sana. “Bali... akhirnya kujamah Kau!” seruku bergelora.
***
Jumat, 29 Januari 2010, pukul 11.00 WIB aku dan rombongan tiba di Pelabuhan Ketapang, Jawa Timur. Wah, deg-degan beradu gembira mengguncang hati. Seperti mimpi, tetapi nyatanya mataku sedang tak terpejam. Setibanya di kapal, kami disambut bocah-bocah koin yang bermain di laut. Mereka berharap para wisatawan melemparkan koin-koin untuk mereka. Dengan segera, aku merogoh beberapa koin dari saku lalu melemparnya untuk mereka.

Sekitar pukul 12.00 WITA, aku dan rombongan sampai di Pelabuhan Gilimanuk, Bali. Namun, kami tak semudah itu masuk ke pulau yang menjadi destinasi para domestik itu. Alih-alih ada pemeriksaan KTP. Dengan alasan sejak ada pemboman di Bali (2002) silam, orang-orang yang masuk ke Bali, diperiksa KTP terlebih dulu. Alhamdulillah, tak ada masalah dalam pemeriksaan, perjalanan kami lanjutkan lagi. Tancap!

Kurang lebih Pukul 13.00 WITA, aku beserta rombongan tiba di objek wisata pertama, Tanah Lot, Bali. Tanah Lot terletak di Desa Braban, Bali. Kata Tanah Lot memunyai makna dari kata Tanah yang diartikan sebagai batu karang yang menyerupai gili atau pulau kecil, sedangkan kata Lot atau Lod memunyai arti laut. Sehingga nama Tanah Lot diartikan sebagai batu karang yang terapung di tengah lautan. Di sana terdapat Pura Tanah Lot yang di dalamnya bersemayam ular suci berwarna hitam-putih melingkar. Konon ular itu dianggap sebagai penjaga Pura Tanah Lot.


Tak mau membuang momen yang ada, aku, kawan-kawan, serta dosenku mendokumentasikan diri di sana. Tak hanya itu, kami pun sempat mencoba ritual singkat di Tanah Lot: air, beras, dan bunga kamboja. Aku dan kawan-kawan mencicipi pancuran air bening tawar yang dianggap suci. Seorang lelaki baya memercikkan air wewangian di kepala kami lalu menempeli beberapa butir beras putih sebagai tanda pemberkatan. Tak ketinggalan, sekuntum kamboja diselipkannya pula di telinga kiri kami. Ia lakukan dengan hormat. Aku sempat bertanya pada bapak yang melayaniku. Beliau berkata bahwa beras dan kamboja mengandung makna tersendiri. Beras memiliki makna agar diri kita senantiasa dapat berpikir seputih beras. Sementara bunga yang diselipkan di telinga kiri menandakan bahwa diri ini mau mendengarkan nasihat dari orang lain: siapapun itu, tanpa melihatnya secara fisik dan kasta.

Menurutku, Bali merupakan surga objek wisata. Tak rugi para pelancong melabuhkan dirinya di pulau yang sarat dengan keaslian budaya itu. Namun demikian, bila kita melancong ke Bali, ada hal-hal yang mesti dijaga. Sebab Bali memiliki cukup larangan yang tidak boleh dilakukan: menginjak sajen dengan sengaja, memotret dengan blitsz pada saat upacara keagamaan. Juga larangan bagi wanita yang sedang datang bulan masuk ke pura. Sebab pura dianggap tempat suci sehingga wanita yang sedang tidak suci (datang bulan) dilarang keras masuk. Aku ingat betul kalimat-kalimat itu disampaikan guide tour kami yang dipanggil dengan sebutan Beli (dibaca: Bli).

Kami mengunjungi beberapa objek wisata di Bali: Tanah Lot, Kuta, Sanur, Hutan Pala Sangeh, Batubulan (menikmati tari Barong), Pasar Sukowati, pusat perbelanjaan khas Bali, dan berakhir di Bedugul. Semuanya telah memberikan kesan yang indah. Hingga kutuliskan kisah ini, satu momen pun belum bisa terlupakan. Namun, saat ini, cukup aku ceritakan traveling-ku beserta rombongan di Tanah Lot dan Bedugul. Mengapa demikian? Ini soal hati. Titik. Oh, tidak! Aku hanya bercanda. Ini lebih terkait degan rasa. Sungguh kekuasaan Allah yang Mahaindah telah menanugerahkan Indonesia dengan pemandangan yang luar biasa.

Baiklah, aku lanjutkan ceritaku lagi. Minggu, 31 Januari 2010, Bus Darma Duta yang setia menemani kami, melaju, menuju objek wisata selanjutnya. Setelah sebelumnya, aku dan rombongan membeli oleh-oleh khas Bali. Ada beberapa bungkus kacang bali yang kusimpan guna buah tangan untuk keluarga dan sanak famili di Bandarlampung. Bli menyampaikan bahwa destinasi wisata selanjutnya ialah Bedugul. Awalnya aku tak begitu interest dengan istilah Bedugul. Kata yang belum pernah kudengar sebelumnya. Perjalanannya cukup jauh. Sambil menunggu, aku ngalor ngidul sejenak. Cukup menghilangkan kejenuhan di bus. Sementara kamera selalu siap di tangan. Bila ada objek yang view-nya bagus, kamera di tangan siap membidik dengan cepat.

Perjalanan semakin menanjak. Bli masih setia ‘mendongengkan’ kami dengan cerita-cerita rakyat di Bali. Telingaku menyimak, tetapi mata menyisir di setiap pemandangan di sisi kiriku. Bli mnghentikan sejenak ceritanya. Ia menunjuk pada satu pohon kelapa yang menurutku aneh. Ya, aneh! Mengapa demikian? Baru kali ini aku menemukan pohon kelapa yang bercabang empat. Subhanallah... Lagi-lagi kekuasaan Allah berkata. Masyarakat setempat menganggap pohon tersebut suci, sama halnya ketika aku dan rombongan mampir di Hutan Pala Sangeh. Di sana ada Pohon Lanang Wadon yang di bagian tengah batangnya terdapat bentuk yang menyerupai kelamin laki-laki dan perempuan. Mungkin karena bentuknya demikian sehingga disebut Pohon Lanang Wadon. 

Ternyata Bedugul itu indah. Letaknya di daerah pegunungan, Desa Candikuning. Meski udara cukup menusuk tulang saking dinginnya, semua itu terobati tatkala mataku terhipnotis oleh pemandangan yang memukau. Satu pemandangan yang sungguh luar biasa tersuguhkan di sana. Danau Beratan menghiasi Bedugul, memesonakan mata.

Ketika itu, kabut tengah tebal. Namun, aku tak begitu peduli. Bahkan aku dan kawan-kawan menyewa satu kapal boot untuk menyeberangi Danau Beratan yang airnya tenang. Tak ketinggalan, kami mengabadikan beberapa jepretan foto di sana.  Kabut cukup gelap, suasana makin dingin. Waktu menunjukkan pukul 16.35 WITA. Kami masih menikmati keindahan danau yang tak bisa kami komentari, selain kata indah. Ternyata masih ada keindahan lain lagi yang disajikan di Bedugul, yaitu Pura Ulun Danu. Aku setengah tercenung sambil memikirkan rupa Pura Ulun Danu. Beberapa detik berlalu ... dan yapp! Aku baru ingat. Pura itu yang ada di cetakan uang 50 ribuan. Wah, subhanallah... aku bisa melihatnya secara langsung! Pesona-pesona yang sungguh menakjubkan mata.

Berdasarkan info yang kuperoleh, Pura Ulun Danu Beratan terdiri atas empat kompleks pura: Lingga Petak, Penataran Pucak Mangu, Terate Bang, dan Dalem Purwa berfungsi untuk memuja keagungan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Tri Murti, guna memohon anugerah kesuburan, kemakmuran, kesejahteraan manusia, dan lestarinya alam semesta. Kurang lebih sekitar sepuluh menit berlalu penyeberangan dengan kapal boot dan akhirnya berhenti tepat seperti dermaga kecil. Kupikir kakiku sedang berpijak di tempat pemandangan serupa. Akan tetapi, ini berbeda. Ternyata di hadapanku mentereng villa mewah. Namanya Bedugul Wana Villas Bali. Aku terkesiap dengan ornamen bangunan yang ada. Lagi-lagi kukatan subhanallah... dan woow!

Ponselku tiba-tiba berdering. Salah satu teman menghubungi untuk segera kembali sebab kabut makin gelap. Sementara rombongan sudah menanti aku dan beberapa teman di bus. Aku dan teman-teman riang. Kami tertawa lepas. Menikmati danau, menemani kabut, memuji kebesaran Allah yang tak ada hentinya. Sejenak aku pandangi kabut yang tak lagi pucat. Teringat orang-orang rumah. Teringat akan semua mimpi yang kupahat satu per satu di ingatan. Dan satu lagi, hari itu aku menabuh mimpi kembali. Mimpi di Pulau Bali. Mimpi akan mengajak bapak, ibu, mbak-kakak, serta saudara kembarku, Destiana. Semoga.
***

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Membedakan Sifat-Sifat dan Ragam Bahasa

Silakan pahami narasi-narasi berikut sehingga Saudara dapat memahami perbedaan sifat-sifat bahasa! 1. Fakta sejarah bahwa orang atau kelompo...