Minggu, 30 September 2012

MAMI

Oleh: Helvy Tiana Rosa

Ada beberapa hal yang kusukai dari orang-orang Cina. Ketekunan, keuletan, dan kedisiplinan diri serta langkah-langkah mereka yang selalu penuh perhitungan. Kita dapat melihat faktor-faktor tersebut sebenarnya merupakan kunci dari keberhasilan mereka di negeri kita ini. Tentunya mereka raih semua itu dengan kerja, bukan dengan main-main.

Makanya aku sering tidak simpati pada orang yang selalu mencela dan menghina keberdaan orang-orang Tionghoa di sini. Memang, sih, banyak juga di antara orang-orang Tionghoa itu yang sikapnya membuat kita kurang sreg, yang menjalankan sistem perekonomian sedemikian, yang individualis… memang ada! Tapi jangan disamaratakan, dong! Banyak juga kan yang bersikap baik, apalagi yang kemudian jadi Muslim. Sering mereka mengorbankan harta pula untuk sabilillah yang mereka tempuh.

Ah, bercerita tentang Cina…, aku pun keturunan Cina. Tapi… duh, siapa yang mau percaya! Maklumlah aku lahir dari ‘kubu’ yang sangat berbeda dalam segala. Papi Aceh, Mami Cina. Namun rupaku terlalu mirip Papi! Satu-satunya ‘warisan’ Mami cuma mata sipit ini, itu pun tenggelam oleh kulitku yang hitam. Makanya tak ada rekan-rekan muslimah yang lantas percaya kalau aku ini keturunan Cina. Biasanya kalau mereka sudah lihat mimikku yang memelas setengah kesal, baru deh, mereka percaya.

“Vie!” Suara Mami dari arah dapur mengejutkanku.
“Ya, Mi!”
“Itu, kwetiaw gorengnya nanti dingin!”
Aku segera ke meja makan. Sarapan kwetiaw, sedap! Ya, kwetiaw ayam bikinan Mami memang tiada tandingnya. Nikmat dan halalan thayibah, dong!
“Vie…,” kudengar lagi suara Mami.
“Ya, Mi!”
“Mami mau pergi ke pasar dulu. Ini jangan lupa!” kulihat sebuah payung di tangan Mami.
“Nggak usah deh, Mi… berat!” kataku.
“Kamu tuh ke mana-mana harus bawa payung, Nak. Bukan untuk nahan hujan aja, tapi juga buat mukul orang yang macam-macam sama kamu!” kata Mami sambil memasukkan payung itu ke tasku.
Aku meringis. Duh Mami… sejauh itu pemikiran beliau!
                                                                                     ***
Di bus yang menuju arah Pasar Minggu, aku jadi melamun sendiri. Akhir-akhir ini aku memang suka mikirin Mami. Mami itu baik, baik banget! Ia adalah wanita yang amat kucintai di kolong langit ini. Tak ada wanita yang lebih baik dari Mami. Mami itu ‘super mom’ tetapi….
Aku menarik napas panjang. Ya, ada satu hal yang tak kusuka dari Mami. Aku sendiri bingung, apakah hal yang tak kusuka itu merupakan kelebihan atau kekurangan Mami. Mami tuh terlalu care padaku, juga kepada kedua adikku. Karena sikap beliau itu aku sering merasa diperlakukan seperti anak kecil.
 
Beberapa waktu yang lalu, ketika aku hendak pergi ke kampus untuk mengambil nilai semesteran dan membayar uang kuliah, di rumah, Mami sudah sibuk ‘mengurusiku’.
“Jangan pakai baju itu, Nak!” komentar Mami melihat baju rok dan blus biru yang kupakai bersama jilbab biru muda itu.
“Lho, mengapa Mi?” tanyaku heran.
“Kamu ini gimana, sih? Cari dong yang berkantong! Biar bisa taruh uang!” kata Mami sambil masuk ke kamarnya. Tak lama Mami keluar sambil membawa sebuah baju. Ya ampun, warnanya nge-pink. Ngejreng banget! “Nih, pakai. Kan lengan panjang juga!” kata Mami lembut, tetapi bernada perintah.
“Tapi, Mi.”
“Ini bagus punya. Tante Elly Chan kirim dari Taiwan!” suara Mami setengah memaksa.
Dengan enggan, akhirnya kuturuti juga. Kupakai baju itu. Dan, ketika aku berkaca di cermin kamar… duh norak sekali! Malah kedodoran banget! Dan yang paling bikin aku mau nangis, kantongnya banyak sekali! Di depan empat, di belakang empat. Duh, apa kata teman-teman nanti? Gimana komentar mereka di kampus nanti?
“Wah, keren banget anak Mami!” Mami tersenyum.
Aku cemberut.
“Nih uang buat bayar kuliah.”
Uang berjumlah Rp. Lebih dari sejuta itu itu diletakkan Mami di kantong atas, sebelumnya… ya ampun! Uang bergambar para pahlawan itu cekrek-cekrek dulu! Setelah itu Mami mengeluarkan beberapa peniti dari tasnya. Dengan tenang, kantong di kiri atas bajuku di penitiin. Aku terperangah.
“Mi, nggak usah digituin, deh!” kataku cemberut.
Mami diam saja. Di kantong kanan atas ditaruhnya lagi dana kesejahteraan mahasiswa yang diminta fakultas. Hanya seratus ribu… dan duh, dimasukkannya uang sekitar dua puluh ribu rupiah untuk ongkos dan jajanku. Sedangkan di kantong terakhir (dari depan) dimasukkannya sebungkus tisu.
“Nah aman. Sekarang boleh berangkat,” kata Mami sambil mencium pipiku.

Duh Mami! Aku kesal! Dengan nggak niat akhirnya aku pergi juga ke kampusku di Depok. Di tengah jalan kubuka satu per satu peniti di sekitar kantongku. Bodo deh! Aku kan bukan anak kecil lagi!
Nggak hanya itu. Hari ini kebetulan karena ke kampus, aku bisa bebas di atas bus untuk sekedar menyandarkan tangan di jendela dan menikmati pemandangan Jakarta serta semilir angin sejuk pagi hari. Kalau pergi berdua Mami, ‘kacau’ lagi. Beliau akan cepat-cepat menarik tanganku seraya menutup tiga perempat kaca jendela sambil menceramahiku. “Nanti disambar mobil dari belakang, baru tahu!” beliau menutup ‘ceramah’nya.

Bulan lalu, waktu sepatuku bodol… Mami mengajakku ke proyek Senen. Pernahkan lihat seorang Ibu yang membawa anak-anak kecilnya yang berusia sepuluh tahun untuk beli sepatu? Nah, kurang lebih seperti itu cara Mami memperlakukanku. Mami memilihkan, mencobakan sepatu itu ke kakiku. Beberapa kali aku ditertawakan oleh para pedagang itu. Aku sendiri berusaha bilang pada Mami apa yang aku mau. Tapi Mami bilang: “Itu jelek” atau “Ini nggak kuat, bukan kulit” atau “Ini warnanya terlalu kusam’ dan yang lain-lain lagi. Dan hasilnya … kulihat sepatu volkadot hitam yang kupakai sekarang ini.
“Sepatu nyentrik,” kata anak-anak kampus. “Sepatu paling indah di Universitas Indonesia,” kata teman-teman sejurusan. Huh!
 
Mami memang benar-benar over perhatian. Bayangkan saja, setiap malam sebelum tidur, selalu kudengar suara Mami keras. “Anak-anak semua, Evi, Rani, Eron… jangan lupa cuci kaki, sikat gigi! Kebut dulu tempat tidur kalian!” Atau kalau kebetulan Mami tahu kami habis makan permen atau coklat. “Awas ya kalau Mami tahu kalian belum sikat gigi!”
Coba! Mami benar-benar memperlakukanku seperti anak SD. Aku kan sudah gede. Sudah dewasa. April kemarin usiaku sudah dua puluh tahun. Aku sudah tingkat dua di Fakultas Ilmu Budaya. Anak tertua lagi!
Kemarin, saat sedang nonton siaran berita, aku ingat sekali, Mami menanyakanku sebuah buku sastra yang baru kubeli.
“Udah kamu beli, Nak… buku Konstelasi Sastra?” Coba, nama bukuku itu pun Mami tahu!
“Udah, Mi.”
“Coba bawa sini. Mami mau lihat.”
Agak segan kulangkahkan kaki ke kamar. Kuambil sebuah buku tebal berwarna biru tua yang baru kubeli di kampus.
“Dinamain dong, Nak! Nanti ketukar sama teman-teman yang lain.”
Setengah jam kemudian, buku itu sudah kembali berada di tanganku. Kali ini dengan sampul coklat polos yang dilapisi dengan sampul plastik. Didepannya tertulis nama lengkapku, jurusan, fakultas sampai universitasku! O… O, aku nyengir. Mirip buku si Eva, anak Om Yan yang baru kelas empat SD itu.
Mami memang selalu begitu. Coba mana ada sih Ibu yang ngurusin anak yang berusia dua puluh tahun lebih, sampai gitu-gitu amat! Ya, Mami itulah! Sungguh, aku tahu kalau Mami itu sayang banget sama aku… tetapi cara beliau itu, lho.
 
Bus yang kunaiki dari tadi baru sampai di Pancoran. Biasa… macet. Entah, mungkin gara-gara si Komo atau mungkin juga bapaknya “Si Komo” baru lewat. Macet lagi. Kulirik seorang wanita yang duduk disebelahku. Tampaknya sebaya dengan Mami. Tapi… ah, terlalu gemerlap. Sedang Mamiku itu sedehana. Kulihat lagi dengan sembunyi-sembunyi Ibu itu. Eh, nggak tahunya ia sadar sedang diperhatikan. Ia ganti memandangku. Ya Allah, dari ujung jilbab sampai ujung kaos kaki! Dan tatapannya malah bikin hatiku miris. Itu lho, tatap curiga! Ia menggeser duduknya, lebih menjauhiku.
 
Tanpa sadar aku membandingkan wanita tadi dengan Mami. Oh ya, Mami itu super ramah sama orang. Dan… ya, baru kuingat! Super perhatian pula sama para muslimah, para jilbaber teman-temanku itu. Sampai pernah ada temanku seorang jilbaber yang hijrah gara-gara ‘disiksa’ sama orang tuanya. Eh, Mami yang marah. Malah Mami mau nyamperin tuh ortu segala. Akhirnya Mami rela kalau temanku itu tinggal di rumah kami. Dan Mami perhatian banget juga sama dia.
Mami… Mami. Tentang over perhatian beliau yang banget-banget kepadaku, sebenarnya aku ingin sendiri ingin deh, ngomong blak-blakan sama Mami, tetapi aku merasa nggak enak. Aku takut wanita yang paling halus perasaannya itu tersinggung. Aku takut hal itu menyakitinya. Aku tak mau hal itu terjadi.
 
Cara yang paling tepat untuk menegur Mami sebenarnya adalah lewat orang yang paling dekat dengannya, siapa lagi kalau bukan Papi. Sebenarnya aku sudah beberapa kali membicarakan hal ini dengan Papi, tetapi waktu itu Papi hanya tersenyum. Malah kata beliau, “Tuh kan Papi nggak salah milih istri!” nadanya gembira. Lha, aku melongo!
“Minggu! Minggu habis! Pasar Minggu!”
Suara kenek bus membuyarkan lamunanku. Aku segera turun dari bus dan melanjutkan perjalanan dengan miniarta jurusan Depok.
                                                                                 ***
“Seharusnya kamu bersyukur kepada Allah karena memiliki Ibu seperti Mami,” kata Fathimah, teman dekatku. “Meskipun beliau keturunan Tionghoa, tapi tidak terlalu tercelup nilai-nilai adat atau agamis yang dianut oleh keluarga besar beliau sampai saat ini. Mengenai beliau terlalu perhatian… percayalah itu takkan lama lagi. Insya Allah ketika Mami sadar kamu sudah dewasa, Mami akan benar-benar menyerahkan segala sesuatu yang memang urusan kamu, padamu.”
“Kapan, Fath, kapan? Sekarang ini usiaku menjelang dua puluh satu tahun!” kataku.
“Sabarlah, akan tiba waktunya.”
Aku diam. Bukan apa-apa, salahnya mungkin over perhatian Mami itu karena Mami keturunan Tionghoa, sayangnya orang-orang sekitarku, sanak kerabat Mami begitu deh, rata-rata sama anaknya. Bahkan perhatian Oma sama Mami sampai saat ini, menurutku ya, over juga! Tapi hal ini tak kukatakan kepada Fathimah.
“Beruntung sekali kamu punya Ibu kayak Mami,” kata sahabatku yang lain, Diah. “Aku belum pernah diperhatikan sejauh itu sama Mamaku. Beliau terlalu sibuk. Bahagia sekali dong, kalau punya Ibu seperti Mami. Kadang kita sering merindukan Ibu kita memperhatikan hal-hal kecil tentang diri kita.”
Aku menarik napas panjang.
“Mami? Kamu bilang Mami over perhatian? Kamu gimana, sih? Selama itu bukan mengekang kebebasan, seperti yang Mami lakukan, wajar saja!” ini kata Yulita, jilbaber yang lain juga cukup dengan Mami. “Apalagi Mami tidak menggugat hal-hal yang kamu yakini dalam menjalankan syariat Islam. Apa lagi?” sambungnya.
Aku hanya diam. Buntut-buntutnya semua temanku mengatakan aku harus sabar. Semua toh berproses, Ikhlaskan semua. Biar lapang. Sabar… sabar. Aku harus bersabar, sampai Mami sadar. Aku sudah dewasa.
 
Dan tibalah hari itu, hari di mana kurenungi lagi semua perkataan teman-temanku itu. Dan hari ini sesuatu menyentak hatiku: Mami sakit! Maka hari ini tak kudengar tegur-teguran, saran-saran, petuah-petuah Mami. Mami hanya terbaring di tempat tidur. Lemah. Hari ini aku bisa melakukan apa saja. Bisa memilih apa saja. Tak ada yang ‘mencereweti’. Jauh dilubuk hati, aku merasa ada kehampaan. Ada sesuatu yang kurasa kosong betul.
 
Entah mengapa hari ini kusadari betul omongan Fathimah, Diah atau Yulita. Mami hanya bermaksud menyayangiku. Perhatiannya yang berlebih adalah pengamalan kasihnya. Beliau lebih mampu mewujudkannya dengan cara itu. Ya, buktinya… tanpa suara Mami, hari jadi seperti bisu. Ya, hariku!
Seminggu kurasa kebisuan seperti melanda rumah kami. Tanpa tawa, tanpa suara Mami yang terkadang terdengar bingar itu. Seminggu kurasakan… ah! Aku rindu sapa, teguran beliau! Aku rindu! Sungguh!
                                                                                ***
Sampai akhirnya seminggu yang berat pun berlalu. Dan senja ini ketika aku pulang kuliah, pintu rumah tak terkunci. Pintu kamar Mami tampak terbuka lebar. Beliau sedang shalat.
Kuhampiri. Tampaknya Mami sedang ayik bermunajat kepada Allah. Beliau kelihatan sudah membaik. Ya, Mami memang punya penyakit jantung yang cukup gawat. Tahun kemarin saja sampai berobat ke Hongkong karena pembuluh darah beliau menyempit. Alhamdulillah, aku lega, kesehatan beliau memulih. Setelah Mami mengusap wajahnya dan mengucapkan amin, kuucapkan salam. Kucium tangan beliau.
“Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh,” sambut Mami tersenyum.
Aku segera memeluk Mami.
“Eh, ada apa ini, ayo mau minta apa nih, dari Mami! Mentang-mentang Mami udah sehat.” Mami tertawa.
“Idiiiih Mami, su’udzan aja!” kataku nyengir.
“Sana makan dulu! Mami masak He Ci, tuh!”
“Oke bos, emang laper sih!” Dengan riang aku melangkah menuju meja makan. Senang, tampaknya Mami telah sembuh. Sudah bisa masakin kami lagi!
Baru saja aku ingin menyuapkan makanan ke mulut….
“Vie, cuci tangan dulu, sayang! Jangan minum air es, kamu kan agak batuk. Eh, jangan lupa ambil centong nasi yang kering untuk menyendok nasi! Nanti nasinya basiii!” kata Mami beruntun dari dalam kamar.

Aku cuek meneruskan makan. Tak ada kesal. Tak ada gundah. Tak ada cemberut. Lapang. Dan tampaknya Mamiku sudah betul-betul sembuh! Terimakasih Allah untuk Mami yang seperti ini!
                                                                          ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Membedakan Sifat-Sifat dan Ragam Bahasa

Silakan pahami narasi-narasi berikut sehingga Saudara dapat memahami perbedaan sifat-sifat bahasa! 1. Fakta sejarah bahwa orang atau kelompo...