Kamis, 09 Juni 2016

WhatsApp, Harga Diri Saya Jatuh!

     WhatsApp, ponsel siapa yang tidak memiliki aplikasi canggih ini. Dalam hitungan detik, segala pesan dapat segera diterima. Terlebih fitur terbaru yang dihadirkan WhatsApp dengan adanya pengiriman dokumen. Alhasil, siapa pun akan mudah juga untuk mengirimkan file tertentu ke nomor tujuan yang diinginkan. 
gambar: ilustrasi
     WhatsApp mulai tren beberapa tahun belakangan ini. Aplikasi yang bisa dengan mudah di-download di ponsel android memang memiliki banyak peran. Tak hanya fitur terbaru yang sempat dipapar, tetapi juga pengirim dapat menyampaikan video, suara, gambar, dan pastinya pesan berupa tulisan sebagai penggeser SMS (short message service).
     Kehadiran WhatsApp memang sangat memudahkan siapa pun. Dari urusan sekolah, kantor, hingga bisnis. Namun, siapa sangka, keberadaan aplikasi ini dapat merugikan orang lain, mengecewakan orang lain, dan tak bisa dimungkiri, memaki WhatsApp sebagai bentuk peluapan amarah. Lho, kok bisa? Jawabannya, ya pasti bisa!
     Di tempat saya bekerja merupakan sekolah berbasis islam dan teknologi. Segala media pembelajaran guru dibuat dalam bentuk power point dan dikirim melalui e-library. Bagus. Moderen. Canggih. Kalimat-kalimat minor itu tampak dari perkembangan teknologi saat ini. Tanpa bertemu sang pemberi ilmu, materi pelajaran dapat diunggah dari komputer jinjing para siswa. Praktis. Ya, sama dengan WhatsApp. Siapa pun bisa mengirim pesan secara langsung. Tanpa hitungan menit. Tanpa melihat status siapa yang dikirimi pesan. Inilah fakta!
     Belum lama, saya menggerutui aplikasi moderen WhatsApp. Karena kecanggihan WhatsApp, saya hampir kehilangan peran saya sebagai guru. Ya, seorang guru yang semestinya digugu dan ditiru. Dan karena aplikasi ini, hampir dua hari saya merasakan sedih. Bukan urusan melankolis, tapi lagi-lagi WhatsApp telah menjatuhkan harga diri. Lho, kenapa lagi? Bukannya mempermudah? Sederet pertanyaan yang sempat menyeruak begitu saja.
      Begini, sejak Ramadan, ini kali pertama saya membangun rumah tangga bersama pasangan hidup saya. Tak salah, kami berdua membuat targetan Ramadan yang ditempel di dinding rumah kami yang amat sederhana. Tak banyak juga list targetan kami selama Ramadan. Tak ada tujuan lain, selain ingin membentuk pondasi keluarga yang lebih dekat pada Rabb-nya. Terus terang, salah satu targetan yang kami buat adalah membatasi internet time, alias pembatasan diri berselancar dengan internet. Alhasil, tak salah kalau data internet acapkali diaktifkan dan nonaktifkan. Dan informasi sebelumnya dari grup WhatsApp sekolah, jam kehadiran kerja pukul 8 pagi. OK. Jelas. Paham.
      Tiga hari masa libur awal Ramadan. Saya menikmati bulan mulia tersebut sambil diselingi editan antologi cerpen jurnalistik yang mesti publish sebelum pelaksanaan MOS (masa orientasi sekolah). Urusan ponsel dan internet, saya nomor sekiankan. Menurut saya, itu tak salah.
     Namun memang bencana menjadi manusia yang tak memantau perkembangan internet, khususnya WhatsApp. Tanpa sepengetahuan saya dan karena jumlah kuota yang tersisa sedikit, saya tertinggal informasi di grup WhatsApp. Di grup tersebut, ada pergantian jam kehadiran, yang semestinya pukul 8, diubah pukul 7.30 pagi. Tak hanya itu, Pesantren Kilat (Sanlat) yang baru diberitahu belum lama ini, disampaikan pula para pemateri yang mengisi tausiyah, materi keislaman. Ya, melalui WhatsApp informasi-informasi tersebut disampaikan. Bahkan, H-1 sebelum pelaksanaan, kami dipinta untuk mengecek jadwal dan materi di e-library sementara kami sedang libur sekolah. Terlebih, tak mudah e-library diakses melalui ponsel.
     Sayangnya dan sayang sekali, saya baru mengetahui informasi tersebut pada hari masuk kerja di Bulan Ramadan. Apalagi, saya hadir di sekolah pukul delapan kurang lima menit. Tidak terlambat pastinya sesuai informasi awal yang saya dapatkan! Saya langsung ke ruang guru, meletakkan tas dan barang lainnya di meja kerja saya. Ada satu hal yang membuat saya terkejut bahwa kami disuruh mengisi materi sanlat! Panik belum menyiapkan materi, pastinya. Terlebih nama saya tercantum sebagai pemateri di hari pertama.
      Tak lama, rekan saya datang ke ruang guru. Ia menyampaikan, kami para guru dipinta untuk ke masjid. Segera! Atas permintaan atasan. Saya menuruti sebab saya pikir, saya baru saja tiba di sekolah dan memang rutinitas kami langsung menuju masjid untuk melaksanakan salat dhuha bersama. Sampainya di masjid, dengan wajah innosense, saya mendapatkan wajah kepala sekolah cukup tegang, tanpa senyum, dan ekspresi yang menurut saya kurang sedap dipandang.
      Setelah pembukaan pesantren kilat, saya mendapat kabar, ternyata kepala sekolah saya tadi di hadapan para siswa bernada cukup keras menyuruh dewan guru untuk hadir di masjid. Dan ini merupakan kalimat teguran seorang guru dari atasan di hadapan semua siswa. Parahnya lagi, kalimat bernada keras ini bukan kalimat pertama.
     Saya tercenung. Sedih. Begitukan standar atasan kepada bawahan? Tidak bisakah menahan amarah dan bertanya dua pasang mata dengan cara baik-baik? Saya menaruh kata lumrah secara logika bahwa atasan berhak marah pada bawahan. Namun lagi-lagi, hati saya menolak. Cara yang tak bijak dan menjatuhkan harga diri guru dihadapan siswa. Kami adalah guru.
      Saya membatin. Jelas saya kesal. Yang pertama, perubahan jadwal kerja diubah secara mendadak. Kedua, jadwal pemberian materi sanlat juga mendadak. Dan semua itu disampaikan melalui WhatsApp. Ya, aplikasi ini menjadi otak onarnya. Gegara WhatsApp, banyak rekan yang tidak tahu kalau jam kerja berubah. Gegara WhatsApp, ‘sentuhan-sentuhan’ silaturahim rasanya sedikit memudar.
      Sebenarnya, dengan memberikan informasi secara langsung atau secara edaran tertulis, ada kesan baik dan saling hormat di dalamnya. Namun kini, teknologi canggih sepertinya membuat jauh. Bila ada kalimat, ‘kemajuan teknologi mendekatkan yang jauh’, maka tak salah juga kalimat tersebut saya putar balikkan menjadi ‘kemajuan teknologi menjauhkan yang dekat’ dan ini yang sedang terjadi. Informasi-informasi disampaikan melalui WhatsApp, termasuk info secara dadakan. Dengan begini, seolah melalui WhatsApp semua informasi akan tersampaikan dan semua akan tahu. Namun ada yang terlupa, ternyata WhataApp pun butuh kuota. Untuk mendapatkan kuota, kita mesti mengocek kantong.  Dan sayangnya, tak semua orang dapat dengan mudah mengocek kantongnya.
     Dengan WhatsApp, semua akan terjadi. Kemudahan informasi, termasuk kemudahan amarah. Semua dipukul rata bahwa telah mengetahui informasi yang disampaikan melalui aplikasi berwarna hijau ini. Tanpa pertanyaan mengapa tidak datang ke masjid awal dan sebagainya? Dan karena WhatsApp, atasan bisa dengan mudah marah begitu saja. Tak dinafikkan, harga diri jatuh gegara WhatsApp. *



1 komentar:

Membedakan Sifat-Sifat dan Ragam Bahasa

Silakan pahami narasi-narasi berikut sehingga Saudara dapat memahami perbedaan sifat-sifat bahasa! 1. Fakta sejarah bahwa orang atau kelompo...