Rabu, 08 Juli 2015

Mereka Merindukan Kita

Hari itu jelang senja. Sisa-sisa hujan telah menipis. Rerintik hanya terdengar satu-satu, berdenting dengan lembut. Di serambi rumah, ada yang tengah bercakap-cakap. Suara parau bersahut-sahut. Yang satu menatap lurus ke arah jalan, sedang satunya sesekali menatap lawan bicaranya sambil melirik kerut-kerut wajah yang tak lagi muda.

Seperempat jam obrolan masih hangat. Mereka berbincang bukan karena lama tak pernah saling berbagi kenang. Namun pada hari ketiga itu, ada rasa yang tiba-tiba muncul dan tersembul begitu saja. Mereka bercakap tentang kisah beberapa puluh tahun lalu. Tentang anak-anaknya yang dulu hanya sanggup berkata, "Ibu, bapak, belikan aku ini. Ibu, bapak, aku ingin makan ini". Sesekali kedua orangtua itu tertawa meski sepertinya masing-masing menyimpan getir rindu yang diam-diam bertalu-talu.

foto: http://infobelajar25.blogspot.com
Obrolan berlanjut, ketika sang ayah mengulang kembali pengalaman sang putri jelang pernikahan. Ayah tampak repot, menyiapkan undangan, tamu kehormatan, dan segala perlengkapan dalam resepsi. Ada tawa kecil lagi sebagai jeada obrolan kedua orangtua. Ibu mendekatkan duduknya ke
arah ayah. Direngkuhnya jari-jemari yang kerut itu. Diletakkannya kepala di pundah ayah. Ayah menyahut dan mendaratkan jemarinya di kepala ibu. Hangat dan tenang, itu rasa yang ibu dapatkan.

Obrolan kembali berlanjut, ketika giliran ibu yang bercerita. Kali ini, ibu lebih berapi-api ketika menceritakan putra pertamanya saat mendekati seorang gadis hingga berani melamar gadis tersebut. Saat itu, ibu dan ayah tak punya modal lebih untuk menikahkan putranya pada gadis yang telah disetujui. Mereka berdua bermodal doa dan restu serta keberanian. Ijab dan qabul diterima. Satu sunnah terjalankan.

Hening....
Mata ibu berpendar pada beberapa sisi teras. Memerhatikan sisi-sisi serambi yang kini kosong. Matanya seolah tengah menyampaikan sesuatu seperti dulu ketika anak-anaknya acap berkumpul di teras itu. Bergelak bersama, memainkan satu permainan yang menarik. Tak jarang, yang kalah sering menangis sementara ibu segera berlari dari dapur menuju serambi. Ibu mengusap air mata sang bocah kecil, seolah ibu tak tega bila air mata bening itu menetes karena sikap jahil sang sulung.

Tertawa getir hadir....
Ada tawa yang hadir tapi terasa getir. Seperti ada serak yang menyisipi. Lebih tepatnya, ada rindu yang bertalu-talu.

"Sekarang anak kita sudah dewasa. Mereka telah berhasil melahirkan generasi kita. Cucu-cucu kita banyak," ujarnya, lebih mengeratkan lagi jari-jemarinya.
"Ingat tidak, ketika cucu kita berlari-lari lalu berteriak bahagia, persis seperti si sulung ketika kecil," sahut wanita di sampingnya.
"Betul," jawabnya singkat, kali ini tenggorokannya seperti ada yang mencekat untuk terus lanjutkan tawanya yang getir.

Senja hampir berlalu....
Cerita itu kembali di ulang dan ulang. Persis beberapa hari lalu ketika ayah dan ibu saling sahut-sahutan seolah siapa yang paling ingat kisah-kisah bersama anak-anaknya dulu.

Senja hampir berlalu....
Di tempat sama, di serambi yang genap lebih dari dua puluh tahun, lengang--tak seperti dulu dipenuhi bocah-bocahnya bersama teman sepermainan dan berbagai mainan yang mereka sukai.

Senja hampir berlalu....
Di tempat yang sama, di waktu yang sama, hanya ayah dan ibu kembali mengulang cerita. Cerita yang sama. Tentang masa kecil anak-anaknya yang kini tengah meniti perjalanan hidup bersama generasinya. Di tempat yang sama dan cerita yang sama, ayah dan ibu, sama-sama menahan rindu. Sama-sama menahan cumbu yang ingin sekali tercurah pada bocah-bocah kecil miliknya dulu. Hanya kembali mengulang cerita yang sanggup dibabarkan sebagai ganti keinginan mereka ingin bertemu. Mereka tengah merindukan kita....



-untuk kalian, yang selalu kusimak bahasa rindu pada anak-anakmu-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Membedakan Sifat-Sifat dan Ragam Bahasa

Silakan pahami narasi-narasi berikut sehingga Saudara dapat memahami perbedaan sifat-sifat bahasa! 1. Fakta sejarah bahwa orang atau kelompo...