Selasa, 07 Juli 2015

Kunamai ini Rindu

Ketika kutuliskan kalmat-kalimat ini, jari-jemari rasanya mengerjap-kerjap. Ada letupan hati yang ingin segera tersampaikan melalui tulisan. Ada buah pikir yang juga tak sabar ingin mendahului isi sang hati. Lama-lama kusabarkan diri tak ingin penuhi lembaran diary. Menuliskan namamu yang mungkin 'kan kembali menjadi kenang seperti yang sudah berlalu. Sabar-sabar, aku memiuhkan batinku meski ada bumbungan ingin dan ingin segera.

Diary di dalam lemari hitam yang usianya sudah tua. Buku yang berhalaman tebal itu, dengan sengaja aku tak menoreh-torehkannya. Aku tak ingin ketika kelak membaca tulisan-tulisanku, ada sedih yang menggerus memoriku lagi meski ada sedikit pelajaran yang dapat kupetik.
foto: http://tolibintolibin.blogspot.com

Tugas "sekolah" menjadi bahan lumatan selama liburan. Bukan hal yang terpikir sebelumnya adalah banyak membaca karena diriku masih minim ilmu, melainkan aku harus berkutat dengan perangkat pembelajaran guna mendidik anak-anak bangsa di tahun pembelajaran berikutnya.

Ada yang menarik-narik perhatianku tatkala tumpukan buku di lemari kian meninggi sehingga memaksa buku diaryku terhampas dan jatuh! Aku tersontak. Kulirik sesaat. Ah, ada desahku yang mencuat kembali. Keinginan hati yang kian tinggi.... Aku ingin ratapkan hatiku pada lembaran-lembaran diary. Maafkan bila ada air yang lancang jatuh begitu saja dari sudut mata.

Hampir dua bulan, aku menutupi inginku meski rasa amat bertalu-talu ingin bersama. Dua bulan aku menanggung rasa tentang kisah yang sempat membuat hati terjerembap: Aku memiliki rasa! Rasa yang semestinya aku diamkan dan leburkan lalu lenyap begitu saja. Dua bulan aku selalu mencari cara bagaimana langkah agar degup-degup kabarmu tak kudapatkan lagi. Meski lagi-lagi tak sengaja, aku mendapatkannya juga. Ah, memilih diam adalah cara teremasku menyimpan namamu.

Hatiku, tak ingin diam juga. Jemariku ingin mematuk-matuk di keyboard layar persegi panjang ini. Menuliskan namamu, rasanya berat. Menjalinkan kisah menjadi paduan paragraf, tetiba malah sedih yang hadir. Aku tak tahu, apakah ini ekspresi dari seorang wanita yang takut cintanya ingin disampaikan. Wanita yang dimahkotakan dengan rasa malu yang amat berlapis-lapis. Wanita yang hanya mampu menahan gejolak rasa yang kadang meletup, kadang lenyap dengan segala pengalihan yang hebat. Ah, wanita itu hebat!

Namamu tiba-tiba menyeruak kembali setelah sebelumnya aku berhasil menekan sekuat mungkin rasa ini. Dia, menyebut namamu seenak saja, sementara kikuk-resah-rasa timbul kembali. Ah, aku sudah menghindar. Aku sudah meminta pada Tuhan agar enyahkan saja engkau. Agar Tuhan enyahkan senyummu yang sempat terekam dua mataku.

Tapi Tuhan punya segala cara. Namamu kembali disebutnya. Namamu kembali lekat di hati. Dan kini aku bersusah payah kembali tak hirau bayang-bayangmu yang sempat tercipta. Tapi memang, hati siapa yang berkuasa, kecuali Tuhan. Dan kini, saat jari-jemari memencet tuts demi tuts huruf ini, tiada tujuan lain dariku. Ah, ini semua mungkin yang bernama rindu: berusaha menahan tak memaktubkan namamu, akhirnya kini dalam hitungan waktu yang cepat, aku menjalin paragraf demi paragraf ini. Ah, maafkan hatiku. Aku tak ingin membuat kau bersusah kembali menghapus kisahmu yang mungkin layak untuk tak diingat. []
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Membedakan Sifat-Sifat dan Ragam Bahasa

Silakan pahami narasi-narasi berikut sehingga Saudara dapat memahami perbedaan sifat-sifat bahasa! 1. Fakta sejarah bahwa orang atau kelompo...