Jumat, 11 Oktober 2013

Aku Ingin Ayah




Sejak tiga belas tahun lalu, aku tak mau sepeda baru. Tidak juga baju baru laiknya bocah kecil seusiaku. Aku hanya ingin ayah meski desau kulalui.

Saat kutulis kisah ini, senja telah lama berjingkat. Langit berganti gelap. Malam dan dingin menyandingiku bersama rasa tawar yang hambar. Kantuk menggigit perih dua bola mataku. Bunga tidur merajuk manja—memintaku agar segera usai menulis—meluruhkan lelah dengan melelapkan mata. Hentikan mimpiku barang sejenak.
         Mimpi. Masih pantaskah aku bermimpi? Ingin ini dan itu, sementara separuh hidupku merapuh sejak lama. Mimpi. Masih layakkah ia kukejar, sementara salah satu “sayapku” susut begitu saja. Aku nestapa. Ayah, tahukah kau? Ada lirih yang menggigil inginkan engkau.
         Ayah, mungkin kau tahu, aku bukanlah buah hatimu yang pandai meraung bila satu hadiah saja kau tak penuhi. Ayah, mungkin kau juga hafal siapa anakmu yang paling rajin sajikan secangkir kopi di pagi hari tatkala dengkuranmu masih nyaring-mengudara. Ayah, tahukah kau ada sembilu di dada. Menari-mengukiri putaran waktu tiap desah napasku.  
         Ayah, aku ingat sekali. Kala itu aku masih duduk di bangku SMP. Waktu menunjukkan pukul 14.00. Para siswa berhamburan dari kelas. Begitu juga aku. Mereka berlari, menuju ayahnya yang sudah duduk manis menjemput putra-putrinya. Sementara aku tak temui engkau di sana. Aku menahan sedih amat kentara. Aku harus berjalan cukup jauh hingga kutemui mobil angkutan umum menuju rumah. Aku iri dengan mereka, Yah. Satu-satu temanku melambaikan tangannya lalu hilang dari pandangan. Sedih itu kutahan dalam batin, Yah. Tahukah engkau, ayah?
        

 Ayah, masihkah kau ingat tatkala malam telah larut menantang. Ibu di ujung pintu menanti hadirmu dengan seribu khawatir mendera. Pukul 02.00 dini hari kau baru pulang. “Ada rapat,” kata singkatmu usai ibu temui punggungmu yang gagah. Ada sedikit khawatir yang melebur, namun tanda tanya besar bersuka ria menari indah. Adakah rapat hingga dini hari, ayah? Batinku bertanya.
         Ayah, ingatkah engkau tatkala tengah malam kau berhasil pecahkan mimpiku? Aku melonjak kaget langsung berjingkat. Sebuah meja kaca berubah jadi serpihan berhambur di lantai. Sontak, aku menangis di sudut kamar. Merasa ngeri sambil melipat lututku yang terasa lemas. Wajah kubenamkan. Air mata menganak penuh isak hingga dada sesak.
         Engkau ribut besar dengan ibu. Ibu tahu kedokmu. Uang yang semestinya untuk kepulkan dapur, kau buang begitu saja tanpa guna. “Saya minta cerai!” kalimat ibu mengguncang batinku. Ibu menangis lalu menuju kamar dan membanting pintu. Ibu menanggung lirih. Ia terluka. Kau berhasil ciptakan lara.
Sungguh, usiaku dulu amat belia. Aku tak tahu harus lakukan apa. Yang kuingat malam itu, aku terkungkung sedih hingga aku letih melirih lalu terpejam mimpi.
***

         Ayah, masih ingatkah ketika kau datang ke sekolahku guna lunasi uang SPP usai aku dimarahi staf tata usaha? Pembayaran sekolahku selalu menunggak. Aku malu dengan bapak-ibu guru. Aku sedih dengan ledekan teman-teman di sekolah.
         Ayah, tahukah engkau aku sering kali melamun ketika belajar. Tak lain yang kupikirkan adalah engkau, ibu, dan sederet mimpi yang kukejar. Ayah, tahukah engkau bahwa aku sangat menyayangimu melebihi luasnya samudera. Tahukah engkau ada titik-titik air mata yang patuh jatuh dalam nelangsaku.
***
         Ayah, kini usiaku genap 25 tahun. Aku sudah dewasa, yah. Namun, hingga dua belas tahun mendatang ini, aku belum temui sosok dirimu paling indah. Mungkin tak hanya ibu yang dilanda luka, tapi juga aku. Mungkin bukan ibu saja yang tak henti menelusupkan doa untukmu, tapi juga aku.
         Ayah, tahukah engkau, ada kengerian tersendiri di batinku bila Allah memanggilmu dengan kondisimu jauh dari-Nya. Ayah, aku takut kelak tak bisa membawamu ke jannah Allah sebab hafalan Quranku tak banyak, salatku belum kusyuk, dan lalai berzikrullah.
         Ayah, baru kali inilah aku merasakan benar-benar sakit ketika engkau menyakiti ibu, ketika engkau menyakiti Allah.
         Ayah, sejak tiga belas tahun lalu, aku tak pernah inginkan apa-apa. Aku tak ingin sepeda, juga baju baru. Aku hanya ingin ayah. Ingin ayah yang digerakkan hatinya karena Allah. Aku yakin meski lamat, kau akan taat. Aku yakin, sebelum aku tinggalkan kau dengan pria pilihanku, Allah telah bersama di hatimu. Semoga. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Membedakan Sifat-Sifat dan Ragam Bahasa

Silakan pahami narasi-narasi berikut sehingga Saudara dapat memahami perbedaan sifat-sifat bahasa! 1. Fakta sejarah bahwa orang atau kelompo...