Sabtu, 29 September 2012

Senyum Kekal Ayah

Ahad kelabu. Mega di luar sana abu-abu. Mulai meringis dan tak lama menangis. Menitik perlahan membasahi bumi yang rindu langit mengais gerimis…
 
Rinai belum juga usai membalut kota—ditemani bau tanah kering yang sekonyong-konyong menyeruak—serasa menuai sembilu. Ada rindu. Ada pilu. Ada penyesalan yang tak lekang. Ada asa yang tak tergapai sehingga kumerasa malang. Adapula pengaktualisasian cinta yang tak sempat kuucap sayang.

Aku menatap jalan dari bilik jendela kamar berteralis besi yang berkarat merah. Di sana terlihat tanaman perdu memenuhi sebagian tepi jalan. Jalan yang sempat kuukir kenangan bersamanya. Di jalan itu—ketika dulu—aku sempat uring-uringan padanya. Memaksanya untuk menggendongku tanpa memedulikan asam uratnya yang belum kunjung binasa. Dan di jalan itu pula—kali terakhir aku menatap wujudnya penuh nelangsa—mengantarkannya menuju pusara.

Air mataku belum usai menitik. Pilu benar-benar tengah memagut di sela awan berkabut. Rindu rasanya mencekik. Lisan sudah tak kuasa memekik. Allah… Mengapa Kau ciptakan aku seorang yang picik? Mengapa Kau gelapkan hatiku yang sudah tak terlihat, terlebih tak bisa merasa. Allah… Mengapa Kau baru tampar aku dengan kasih sayang? Mengapa kini Kau baru terangi, Kau bumbui hatiku dengan rasa setelah Kau silaukan aku dengan caya-Mu. Penyesalanku berkelebat hebat.

Rindu tengah mendera. Penyesalan juga meraja. Semua itu tengah kutujukan untuk seorang hamba semata. Dia yang selalu kucerca hatinya. Dia yang dulu selalu kurongrongi ini itu tak ada habisnya. Dia yang sekali pun tak pernah meletupkan amarahnya. Dan dia yang memiliki senyum kekal di raut wajahnya. Dia … adalah ayah.

Ya, ayah. Dia seorang hamba yang bersahaja, juga tak banyak bicara. Ayah yang tak pernah kuhitung berapa kali ia telah berbuat baik padaku. Sejatinya, tak patut jika aku menghitung kebaikannya sebab memang takkan pernah bisa terhitung.

Aku kembali memandangi langit-langit kamar yang bersawang halus. Mengamati sisi-sisi dinding yang bercatkan pudar. Lalu aku menatap satu per satu benda-benda yang tersaji di kamarku. Aku meraih satu bingkai foto yang masih tertata rapi di meja kecil samping ranjang tidurku. Di foto itu, ada aku, ibu, ayah, dan Fadli, adikku yang usianya terpaut empat tahun lebih muda dariku. Tampak di foto itu, meliuk manis bibir-bibir mereka yang merekah, tidak seperti aku. Raut wajahku tak ada bagusnya. Aku ingat jelas, ketika itu ayah memaksaku berfoto. Aku sedang marah besar padanya sebab ia selalu ingkar dengan janji. Alhasil, wajahkulah yang paling tak enak dipandang setelah hasil jepretan foto dicetak.

“Jadi kapan ayah belikan aku sepeda?” tanyaku saat itu dengan intonasi meninggi. Ayah menatapku lekat-lekat dengan rasa iba. Serasa ada sembilu di batinnya sebab tak dapat memenuhi keinginanku. Tak lama ia mengulas senyum lalu menjawab, “Sabar ya, Ga. Pasti nanti Ayah belikan sepeda.”
“Ayah janji mulu deh. Yang kemarin aja ayah belum belikan  kaos,” tukasku setengah membentak.
“Iiiiih… Mas Angga ini lhooo. Kayak anak kecil. Sabar napa?” sela Fadli sambil memasang wajah cemberut. Ia memang lebih dewasa dalam bersikap dibandingkanku. Sementara ibu tersenyum datar memandangi keegoisanku.
“Heeeh… dasar anak kecil! Jangan sok tahu. Ayah itu udah berapa kali janji dan udah berapa kali bohong?” aku langsung memalingkan wajah. Memendarkan pandangan pada sederet etalase di mall.
“Iya. Tapi kan Mas…“
“Halaaaaah… diam kamu! Mas kesel sama ayah yang tukang janji!” ketusnya. Fadli menundukkan wajahnya yang mengerut. Air mata hampir berlinang di pelupuk mata. Ayah hanya menelan ludah. Seolah ada getir yang masuk di kerongkongannya tatkala terhempas kata-kata dari lisan putra sulungnya. Ada semraut sedih yang tersimpan di balik wajah ayah meski senyum ia tebarkan untukku. Namun, aku tak begitu peduli. Yang kuingini ialah ayah dapat menepati janji dan memenuhi permintaan-permintaanku yang belum terbayar.
***
Semustinya, sejak dulu aku sadar. Siapa aku, siapa ayahku, bagaimana keadaan dapur kami. Ayah hanya seorang pegawai negeri sipil yang bergolongan rendah. Uang gajinya tiap bulan pun sebagian besar untuk memenuhi dapur agar tetap mengebul. Sementara sisanya digunakan untuk ongkos aku dan Fadli ke sekolah sehari-hari. Entah, apakah ayah bisa menikmati penuh gajinya? Aku pun tak ingin tahu itu.

Entah, mengapa kala itu Allah menutup hatiku untuk memiliki rasa iba? Setiap apa yang kupinta, ayah tak pernah menolak selagi yang terbaik untukku. Entah, mengapa kala itu Allah menjadikanku seorang anak sulung yang egois? Jauh berbanding terbalik dengan sikap Fadli yang tak rewel ini itu. Permintaan demi permintaan tak ada henti aku sodorkan tatkala ayah pulang kerja tanpa memikirkan peluhnya yang belum menyurut. Namun, lagi-lagi amarahnya tak pernah tersurat untukku. Senyum ranumnya yang lembut selalu disemainya di hadapanku.
***
Aku beranjak dewasa. Siswa Kelas II SMA tengah kujabat dengan penuh bangga. Prestasi-prestasi yang kugenggam di dunia tulis-menulis pun kuukir untuk nama harum sekolah. Ditambah lagi aku diamanahkan sebagai Ketua OSIS. Tak sedikit wanita di sekolah yang menyatakan perasaannya terhadapku. Namun, kukatakan tidak untuk cinta. Sebab cinta itu laksana elegi yang menukik hati. Sakit dan pedih.

Namaku melangit di sekolah. Semua warga sekolah tanpa terkecuali pasti mengenalku: Angga Setiawan Putra, Sang Ketua OSIS yang unggul di akademik dan organisasi. Semakin menjulang pula keinginanku untuk menyeimbangi predikat yang tengah kurengkuh. Mulai dari sepatu hingga sepeda motor akan menjadi targetanku ketika ayah pulang dari kantor.

Sore itu hujan turun lebat. Berkali-kali petir menghantar—mengejutkan bumi—seolah membelah langit. Aku duduk di serambi rumah. Menanti kedatangan ayah guna menyampaikan keinginanku yang tengah membumbung tinggi. Beberapa jam aku lewati, menanti kehadirannya. Sedikit pun bayangannya belum tampak. Aku gelisah. Ada sedikit  kesal sebab tak seperti biasanya ayah pulang telat seperti ini. Berulang kali ibu menyuruhku makan, tapi aku menolaknya. Detik demi detik aku amati dengan sempurna. ‘Lama sekali ayah ini’ desisku samar-samar terdengar.

“Ayah lama sekali sih, Bu?” tanyaku tak sabar mendekati ibu.
“Hujan, Ga. Mungkin kalau reda, ayah segera sampai rumah,” tutur ibu sambil menyiapkan lauk-pauk untuk ayah. Disajikan nasi putih hangat, sayur bening, serta tempe bacam kesukaan ayah.
“Gara-gara hujan nih, ayah jadi telat pulang. Aarrghh…” repetku lalu kembali menuju serambi.

Senja mengantarkan malam. Hujan pun mereda. Aku masih duduk di serambi depan menanti kedatangan ayah. Dari sekian penantianku,  terlihat dari kejauhan sayup-sayup sosok yang berpakaian baju dinas basah kuyup. ‘Akhirnya ayah sampai’ desisku kembali lalu segera memakai sandal jepit dan mendekati kedatangan ayah. Setelah ia mematikan gas motornya di halaman rumah, ayah masuk. Diletakkannya helm di amben lalu mengibas-ngibaskan rambutnya yang menua.

“Yah, aku butuh motor buat sekolah,” kataku langsung tanpa basa-basi sambil mengintili ayah. Malam itu wajah ayah terlihat sedikit pucat. Ada seberkas kelelahan yang menumpuk di kedua pundaknya. Namun, lagi-lagi aku tak peduli. Yang kuinginkan ialah jawaban ‘nanti ayah belikan’ yang keluar dari bibirnya.
“Aku malu, Yah. Ketua OSIS harus keren dikit,” tambahku lagi.
“Memang kenapa kalau naik angkot, Ga?” tanya ayah dengan nada melirih. Didudukinya kursi rotan. Fadli yang ketika itu tahu ayahnya pulang, segera menghampiri lalu mencium punggung tangan pria yang ditakziminya itu.
“Bagaimana, Yah?” tanyaku setengah memaksa agar ayah menjawab ‘ya’. Sejenak ayah bergeming. Wajahnya semakin pucat. Sesekali ia mengerutkan kening. Seperti menahan rasa sakit yang membumbung di kepalanya. Fadli paham. Ia segera mengambil segelas air hangat untuk ayah.
“Ayah abis kehujanan nih,” Fadli menyodorkan segelas air hangat. Ayah tersenyum tipis lalu meminumnya dengan segera. Sementara aku tak lagi meneruskan permintaanku. Aku menuju kamar. Meskipun ayah tak langsung menjawab ‘ya’, tapi aku yakin ayah sudah tahu mauku. Meskipun ayah sering menipu untuk memenuhi mauku, namun tak jarang sudah beberapa permintaanku dikabulkannya. Hanya saja sepeda yang sejak dulu aku pinta, belum juga diwujudkan. Ah, tak apalah. Sekarang yang kupinta adalah motor. Semoga ayah benar-benar paham dengan kedudukanku di sekolah.
***
Sejak Allah mengirimkan hujan hingga melewati senja emas, ayah mulai jatuh sakit. Sudah tiga hari ia tak berangkat kerja. Kata dokter ayah demam biasa. Syukurlah, semoga bukan sakit yang berkepanjangan. Aku berharap ayah lekas sembuh.

Hari ini aku berpamitan pada ayah, ibu, dan Fadli. Di sekolah ada kemah organisasi gabungan yang memakan waktu tiga hari. Aku sebagai ketua OSIS harus turut serta dalam perkemahan itu. Selintas ada iba dengan keadaan ayah. Ada segumpal kecemasan yang terbesit di pikiran. Ada pula rasa tak tega jika meninggalkannya. Ayah tersenyum sambil mengelus pundakku sebagai sarat menyuruhku untuk segera berangkat.

Hari ke-2 kemah organisasi gabungan. Sudah dua hari pula aku tak dapat kabar ayah. Telpon seluler aku tak punya sehingga sulit menghubungi orang rumah sekadar ingin tahu keadaan ayah. ‘Ah, apa kubilang. Aku minta dibelikan handphone tidak didengar ayah. Ini nih yang aku khawatirkan. Aku kesusahan ingin menghubungi ayah’ repetku kembali.

Malam tiba. Angin liar menyapu wajah. Sementara tulang-tulang inci rasanya seperti ditusuk-tusuk. Dingin memagut tubuh. Aku melipat kedua lengan di dada. Dinginnya semilir angin makin menggerogoti tiap pori kulit. Aku menarik diri dari agenda api unggun. Entah mengapa, pikiranku tak tenang. Ada resah serta gelisah. Ada khawatir yang membuncah. Ada sedih yang merambat secara tak sadar sehingga air mataku jatuh dari sudut mata. Sekuat mungkin aku menggenggam jemariku keras-keras untuk melenyapkan sedih, meleburkan gelisah, serta mematikan kesepianku yang mencuat. ‘Bagaimana keadaan ayah?’ batinku selalu bertanya. Rasa khawatir sesuka hati berserakan dalam jiwa.
***
Aku selalu ingat bahwa Tuhan telah memegang kuasa-Nya berupa rezeki, jodoh, dan maut. Satu pun hamba-Nya takkan pernah tahu kapan rezekinya datang,  jodohnya menyapa, serta kapan maut menyusul. Dan kini aku tengah merasakan kuasa Tuhan yang merayap hebat di batinku. Hatiku sekonyong-konyong menjadi semraut. Sembilu benar-benar menggelayuti dada. Ya Allah…
Innalillahi wa innailaihi rojiun….” nadaku melirih setengah terbata. Air mata tak mampu lagi kubendung. Siluet indah di langit rasanya percuma menampakkan wujudnya di bayang mata. Aku terisak hebat setelah mendapat kabar dari rumah. Tengah malam tadi, ayah menghembuskan napas terakhir. Allahu akbar

Aku menyeruak dari tenda kemah. Tanpa peduli aktivitas kawan-kawan, aku memnta izin pada bapak pembina. Aku sampaikan tentang sembilu yang tengah merambat sekujur tubuhku hingga lututku terasa lemas. Karena khawatir dengan keadaanku, Bayu, sekretaris OSIS yang berwajah tirus, mengantarku pulang ke rumah. Motor yang dikendarai Bayu melesat dengan cepat menuju rumah.
Aku tiba di rumah. Beberapa puluh meter dari keberadaanku, bendera kuning dipasang. Simbol berduka tak bisa dihindarkan. Aku berjalan gontai. Lututku makin lemas. Kepalaku terasa berat dan sakit. Tubuhku seketika gemetar. Pilu menjadi pukat hariku. Lidahku ikutan kelu. Ingin menjerit histeris, seperti ada yang menahan. ‘Ayah…’ gumamku lemas dan tubuhku benar-benar tak ada energi. Belum sampai di muka pintu, aku terjatuh. Aku pingsan. Aku tak bisa menerima kenyataan yang Allah sajikan untukku.


Teruntuk putra sulung ayah…
Maafkan ayah tak pernah bisa memberi yang terbaik apa yang kau pinta. Sebab ternyata Allah tengah mempersiapkanmu dengan sejuta kesabaran.
Maafkan ayah tak pernah bisa menepati janji atas semua pintamu. Sebab ternyata Allah tengah mengajarkanmu hakikat menjadi sosok yang jujur.
Maafkan ayah tak pernah elok dalam bersikap. Sebab ternyata Allah tengah menunjukkanmu bagaimana memiliki akhlak mulia.
Maafkan ayah dengan sejuta kekurangan. Sebab ternyata Allah tengah mengajarkanmu arti ketidaksempurnaan atas setiap makhluk ciptaan-Nya.















Aku melipat surat yang sempat ayah goreskan tintanya di secarik kertas sebelum rindu Allah menjemputnya. Air mataku hari itu bagaikan bah yang menganak. Inilah nada paling miris yang kuterima dari sekian catatan hidup yang Allah beri. Aku memeluk ibu juga Fadli. Sebelum ayah dikafankan, aku mencium kening serta pipinya yang dingin. Tatapan wajah terakhir dan setelah itu aku hanya mampu mengenang. Senyum kekalnya tetap menghantar batinku. Takkan bisa lekang.
***
Ayah memang tak membelikanku motor sesuai dengan permintaanku. Namun, ternyata ia telah menyiapkan sepeda untukku tatkala hujan menghunjam di senja itu. Beberapa hari sepeninggalan ayah, ada kiriman sepeda dari pihak toko. Salah seorang yang mengantarkan sepeda itu berkata bahwa ayah membayarkan barang itu secara kredit hampir genap setahun. Sebab pihak toko tidak akan mengizinkan barang dagangannya dibawa pulang jika tidak lunas.

Air mataku banjir kembali. Dadaku terasa dipukul-pukul genderang dan aku mengerang kesakitan. Allah… mengapa selama ini Kau tutup hatiku untuk menerima kasih sayang ayah yang melangit? Allah… mengapa selama ini Kau jadikan lisanku kelu berucap terima masih padanya? Allah… mengapa selama ini Kau kunci pendengaranku dari nasihat-nasihatnya yang menyejukkan? Allah… mengapa semua ini Kau tuangkan dalam diriku? Astaghfirullah, ya Allah… maafkan hamba yang menyalahi-Mu. Hamba sungguh hina.

Sepeda dari ayah, kugunakan baik-baik. Kepergiaan ayah, kumaknai dengan hati lapang. Setelah sepeninggalannya, ternyata aku bisa menggantikan posisi ayah meski tak sepenuhnya dan sebijak ayah. Setidaknya, aku dapat merasakan kerja paruh waktu setelah pulang sekolah. Lelah yang tak henti. Mungkin ini yang ayah rasa. Mungkin semakin pedih tatkala permintaanku membebani kedua pundaknya. Aku kerja paruh waktu hingga lulus kuliah dan mendapatkan kerja yang layak.
***
Hampir genap sepuluh tahun rindu tak juga menyurut. Aku kembali menggenggam surat usang dari ayah. Membacanya penuh lirih. Air mataku menitik. Surat terakhir yang ayah beri ketika itu, masih kusimpan rapi. Kubaca dan kuselami dalam. Aku terhanyut dan terkulai lemas. Rindu hadirnya. Rindu senyum kekalnya yang terpaut dalam bayang-bayang.

Tiba-tiba suara anak pintu dibuka perlahan. Seseorang datang menghampiriku.
“Angga, ayo buruan,” suara setengah parau hinggap di telinga. Aku hafal jelas idiolek itu. Ibu datang membuyarkan kepedihanku yang meratap.
“Salsa dan keluarga sudah menunggu. Dia tadi telpon kamu tapi kamu nggak angkat-angkat,” tambah ibu.
“Mas Angga. Ayo buruan! Nanti Mas ditinggal pergi penghulu lho!” ledek Fadli sambil menaikkan kedua alisnya. Aku terkesiap. Aku hampir linglung jika hari ini waktunya menggenapkan separuh dinku di hadapan Allah. Melabuhkan hatiku pada Salsabila, wanita lembut—berbudi baik—teman kampusku yang diam-diam aku sukai. Aku tergila-gila dengan tulisannya di beberapa buku karyanya yang berhasil mendulang best seller. Aku segera bergegas meraih jas hitam yang telah disiapkan semalam. Kukenakan jas itu. Tak dipungkiri aku tampan. Perawakan ayah sangat kental diwarisi padaku.

Perlahan aku membuka laci meja. Meraih kotak kecil yang berisi mahar emas permintaan Salsa. Aku meliukkan sejumput senyum pada cincin manis pilihan calon bidadariku itu. Kulirik sekali lagi diriku di cermin. Selintas seperti ada senyum ayah kulihat. Aku mengerjapkan mata sejenak lalu menghirup udara lepas. Rindu menyeruak untuk ayah. ‘Doakan aku, Yah. Agar aku dapat menjadi sosok sepertimu’ aku membatin lalu bergegas menuju pernikahan suciku.
***

2 komentar:

  1. bagus mba cerpennya >.<
    Jadi merenung, jangan-jangan aku dulu begitu sama bapakku T___T

    BalasHapus

Membedakan Sifat-Sifat dan Ragam Bahasa

Silakan pahami narasi-narasi berikut sehingga Saudara dapat memahami perbedaan sifat-sifat bahasa! 1. Fakta sejarah bahwa orang atau kelompo...