www.lampost.co |
Hai, salam menulis dan lanjut lagi menulis!
Postingan saya kali ini ingin berbagi cerita sedikit saja. Ya, insya Allah hanya sedikit saja, hehe.... karena harus menyiapkan materi untuk ujian tengah semester besok pagi.
Kali ini, saya ingin sharing terkait penerbitan cerpen saya di Lampost. Sebenarnya ini bukan kali pertama cerpen saya dimuat di koran yang sudah mentereng nama di Lampung. Dulu... sekali, pernah dengan kegembiraan saat remaja di bangku SMA, tulisan saya sudah berhasil hiasi surat kabar dan majalah islami sekitar di tahun 2005. Selebihnya, kabar hilang begitu saja. Eits, saya tidak akan panjang lebar menyampaikan ini, karena malam kian larut, angin kian menelusup bebas di pori badan.
Singkat cerita, saya mengirimkan cerita pendek dengan judul Mamak dengan Sekarung Rindu ini sekitar satu bulan lebih yang lalu. Saya akui, untuk nembus tulisan di Lampost cukup bersaing. Mengapa? Karena beberapa penulis nasional sering kali wara-wiri di Lampost. So, harus menanti dengan sabar bahwa proses menulis dan kegembiraan tulisan untuk segera terbit itu tidaklah instan. Setuju, ya?
Certita ini sebenarnya merupakan kisah nyata yang dialami tetangga saya di perumahan yang memang benar-benar kurang dipedulikan oleh anak-anaknya. Mereka sibuk mengejar dunia yang entah sampai kapan bisa mereka genggam. Hingga akhirnya memang, ibu cukup lansia itu senantiasa meruah-ruahkan kesedihannya padi kami: saya dan suami.
Nah, itu sekelumit cerita. Untuk lengkapnya, saya akan lampirkan cerpen saya yang dimuat di Lampost edisi Minggu, 16 April 2017. Dan satu keesimpulannya adalah bahwa ketika kita menulis sebenarnya tidak jauh-jauh dari kejadian yang kita, tetangga, saudara, bahkan teman kita. Tinggal bagaimana cara kita memoles cerita dengan diksi, imaji, dan kerapian ejaan, pastinya.
Singkatnya, teruslah menulis, Menulis itu asyik. Tidak sekadar eksis, tetapi kamu juga melepas kebaikan melalui tiap kata yang kamu sampaikan.
Semoga artikel ini bermanfaat, ya...
Selamat beribadah dengan kata-kata.
Cerpen Mamak dengan Sekarung Rindu
Karya Destiani
Siapa yang tak mengenal Mamak Ratni?
Wanita yang sehari-hari memikul sekarung rindu. Bumbungan rasa itu, ia bawa ke
mana-mana. Ia tahan beban besarnya saat di ruang tengah, pasar, dapur,
berbincang sejenak dengan tetangga sebelah hingga kembali di kasur tipis tempat
peraduannya menumpahkan luka. Air matanya meleleh. Saat tangisnya meruah-ruah,
ia lepas ikatan karungnya yang tetiba berubah renjana. Setibanya besok, ia menimang
kembali dengan genap bercampur duka.
Sudah banyak tetangga meminta mamak
membuang dentuman rindu yang siap menghantam. Namun, dengan setangkup yakinnya,
tiga buah kesayangannya pasti kembali di sisinya.
“Anakmu tak pernah datang lagi,” ucap
salah satu tetangga yang tak sekali-dua kali membawakannya semangkuk sup panas.
Memiuh-miuhkan sesendok demi sesendok lalu disuapkannya di mulut Mamak Ratni.
Mata Mamak Ratni sedikit berbinar. Rasa kuahnya persis buatan si bungsu
kesayangannya, Maya. Ia meminta disuapkan kembali. Lagi.
“Ini buatan Maya? Enak. Takaran bumbunya
pas,” kata mamak. Ia memberikan isyarat disuapkan kembali. Kunyahan di mulutnya
penuh.
“Mak harus ikhlaskan anak-anak. Mereka
sudah dewasa. Mereka sedang memburu dunia.”
Mamak Ratni diam. Ia menahan kunyahan
sup yang dilumatnya. Mata cekungnya kian jelas. Senyumnya menyembul sedikit.
Tapi kali ini sedih sepertinya meronta lagi. Sebelum dikunyah habis sup itu,
rembesan air bening meleleh. Suara serak dari tenggorokannya mulai terhuyung ke
telinga.
“Anakku pasti datang. Tidak mungkin buah
melupakan tempat dia bermula,” optimis Mamak Ratni kemudian ia setengah
terkikik. Tetangganya itu mengernyit pelan dan memahami betapa rindu mulai menyiksa
perempuan renta itu.
*
Mamak berpikir keras. Sofyan, Dendri,
dan Maya. Tiga nama itu yang dinanti. Tiga idiolek anak-anaknya dinanti
telinganya. Wajah-wajah itu membayang. Teringat dua puluh tahunan lalu,
lengannnya ditarik-tarik tiga anaknya berebut bermain tali. Tawa-tawa kecil
mereka saling menyahut. Manyunan bibir-bibir mungil tak pernah dilupa Mamak.
Sedang kini, tak ada yang mencium takzim
tangan—seperti dulu—saat ketiga anaknya berpamitan berangkat sekolah. Mungkin
karena keriput-keriput kering itu mencuat. Atau mungkin, rambut putih dan
pandangan mata mengabur, yang menjadi beban pikiran akan menyusahkan hidup
anak-anaknya.
Mamak Ratni masih menanti. Di tempat
yang sama dengan ikatan buncahan rindu yang menjadi dan terus merogoh relungnya.
*
Suatu ketika, Mamak Ratni sedikit
menyombong. Betul, apa katanya pada tetangganya satu itu. Buah takkan lupa di
mana ia bermula. Putri bungsunya, Maya, menemuinya. ID card-nya menggantung melingkar di leher jenjangnya. Namanya tertera
jelas sebagai wartawan di koran Sumatera.
“Maaf, Maya baru bisa datang. Mamak apa
kabar?” jemari halus itu meraih telapak tangan mamak, menciumnya penuh kelembutan.
“Syukur kamu masih ingat mamak, May,”
mamak melirih. Maya tersenyum simpul. Ia membuka dua bungkus nasi yang
dibelinya di rumah makan pinggir jalan.
“Makan, Mak,” disodorkannya sebungkus
nasi-ikan asam pade.
“Mamak rindu masakan Maya.”
Maya membuang napas. Tangannya sudah
siap menyuapkan sesendok nasi, menjadi enggan.
“Maya sibuk liputan, Mak. Maafkan Maya
dua minggu ini tidak pulang. Semoga Mamak maklum,” jelas Maya lalu setengah
memburu suapan agar segera ludes.
“Sebentar lagi Maya pamit, Mak,”
katanya, setelah membuka satu pesan di ponsel canggihnya, “masih harus ke luar
kota,” tambahnya.
“Baru saja bertemu gadis mamak.” Mamak meneguk segelas air hingga tandas. Rupanya,
rindu menyedot segala cairan di tubuh mamak. Mamak memminta diambilkan sebotol
air. Ia meraih minumnya lalu diteguknya hampir habis. Kali ini minum bukan
untuk membayar kerontang di kerongkongannya. Ada sedih dan luka yang mesti
ditutupi. Ada air bening mengumpul di sudut mata dan siap dilesatkan jatuh ke
mana saja.
*
“Mamak harus bisa ikhlaskan anak-anak,”
ucap Runtah untuk kesekian kali. Ia masih setia menemani kesedihan Mamak Ratni.
Ya, dua mata itu ditemui Runtah masih sama dengan dua minggu lebih beberapa
hari lalu. Ketika Mamak Ratni merindukan sosok-sosok ketiga anaknya.
“Anakku Maya dua minggu lalu ke sini.
Menyuapi makan dan mencium tanganku. Tapi sekarang....” kata Mak Ratni
terputus. Ikatan tali rindunya kembali kencang. Tubuh kuyunya hampir tak kuat
menopang.
“Mamak harus kuat. Nggak baik terlalu banyak pikiran,” nasihat Runtah, “minum ini,”
Runtah menyuruh Mamak Ratni segera meminum rebusan temulawak. Sakit maag Mamak
Ratni akhir-akhir ini menyiksa. Tapi bagi mamak, rindunya jauh lebih tajam
dibandingkan sakit lambungnya itu.
Mamak sempat malu, ia pernah
menyombongkan diri bahwa anak-anaknya akan menemui dan menghiburnya.
Seharusnya, sejak dulu, Mamak Ratni harus bisa membesar-besarkan hati sebelum
anak-anak bujangnya meminang wanita. Seharusnya, Mamak Ratni menyiapkan
sepotong daging itu untuk belajar ikhlas bahwa istri dari kedua lelakinya
terlalu mengikat batasan untuk menemui tempat rahim mereka ke dunia. Mamak merindu.
Rasa yang tak bisa tersampaikan, begitu mengilu.
Dua anaknya, Sofyan dan Dendri tak
pernah mengabari di mana mereka. Sempat sekali. Itu pun dua bulan lalu melalui
percakapan singkat di ujung telepon. Mereka hanya menyampaikan kalau belum
sempat menemui sang mamak. Urusan pekerjaan merongrong waktu mereka. Istri
mereka pun, tak ada yang merajuk datang dan menghibur. Semua seperti asing.
Seperti dulu, sebelum mamak tahu anak-anaknya memiliki tambatan hati.
*
Dari kesekian anaknya, mamak menaruh
harap pada Maya. Mudah bagi mamak meminta Maya tetap di sisinya. Bila pun Maya
menikah, mamak akan pinta pada calon suami Maya agar mereka tinggal bersamanya.
Toh, mamak pikir, dirinya takkan lama lagi hidup. Mamak tak mau sekarung rindu
itu membunuhnya. Mamak sudah keberatan. Mau mamak lepas dan tidak ingin ia ikat
lagi di pundaknya.
Mama mencari Maya. Tiga minggu tak ada
kabar. Mama penasaran, liputan macam apa yang dikerjakan putri kesayangannya. Lagi
pula, mamak ingin tahu di mana tempat Maya bekerja.
Mamak ingat satu nama surat kabar yang
tertera jelas di tanda pengenal Maya. Mamak nekat. Ia sudah tak sanggup saban
pagi harus menimang rindunya sebelum ia gendong di bahunya. Tubuhnya bungkuk
gegara rindu sialan itu. Rindu paling jahat menusuk-nusuknya.
“Izinkan saya melepas rindu. Saya sudah
tidak sanggup,” kata mamak saat tiba di muka kantor Maya.
Perempuan itu menyeret kakinya. Ia
sedikit mengencangkan tali ikatannya agar tidak merenggang meski sebentar lagi
mamak akan mengurai rindunya di depan Maya. Mamak tak ingin memupuknya kembali.
Tidak akan mau lagi.
Hening.
“Maaf,
Maya tidak pulang-pulang, Mak,” imbuh Maya pada perempuan itu. Ada yang
mengepul di udara, seperti tarian awan. Mamak terbatuk-batuk. Ia tak biasa
menghirrup asap rokok.
“Maaf, Mak. Aku ketularan Mas Derri,”
kata Maya lalu menjejalkan sisa batang rokok di asbak.
“Maya ingin menikah dengan Mas Derri, Mak.”
Mata mama berbinar. Betapa senang bukan kepayang. Mamak pasti akan tinggal
bersama Maya dan suaminya. Rindu itu tidak akan ia tanak kembali.
*
Mamak berhasil melepas ikatan sekarung
rindu itu. Ia pulang dengan bahagia. Jalannya pun cukup tegak meski renta tak
bisa dihindar lagi.
Rindu mamak memang sudah lepas. Beban
itu memang telah pergi. Akan tetapi, dengan lancang, si rindu itu hadir setelah
sepekan mamak menyendiri lagi di rumah. Badan mamak mulai terasa berat lagi.
Terlebih-lebih saat mamak menghubungi Maya, telepon mamak tak pernah disahut.
Mungkin sibuk. Mungkin sedang bermesraan dengan kekasihnya. Segala mungkin
pasti ada. Dan segudang kemungkinan yang menyulap mamak menjadi pesakitan.
Lagi.
Siang itu, mamak menggigil hebat. Dengan
jalan tergopoh menggendong sekarung rindu. Rambutnya kusut, wajahnya kumal. Mamak
duduk menyendiri. Menanti Maya yang tak juga kembali menjemputnya, seperti
janjinya beberapa waktu lalu.
“Sudah, ikhlaskanlah anak-anakmu dengan
dunia mereka, Mak. Jangan terlalu banyak pikiran,” Runtah menyuapi mamak
semangkuk sup hangat. Ia tak pernah bosan melayani mamak seperti ini.
“Mereka pasti datang,” kata mamak pelan.
Semestinya, sejak awal mamak menyiapkan sepotong
hati penuh kelapangan. Menyabar-nyabarkan segenggam daging itu untuk memberi
ruang pada timbunan rindunya.
Tubuh mamak kian terasa berat.
Langkahnya tergopoh dan tubuhnya lebih bungkuk dari biasanya. Beban yang digendongnya
makin hari, makin tinggi. Jika ia kembali di peraduan lukanya, di kamar yang
berukuran tak seberapa, ia akan meruah-ruahkan kembali dukanya Di tempat itu,
mamak melepas dan menimang rindunya. Setiap hari sebelum Maya menjemputnya.
Selalu demikian.
Dua bulan mamak menanggung risiko
rindunya, tapi sekejap semua hilang. Apa yang diharap, Tuhan mengabulkan.
“Maya datang, Mak,” ucap Maya di siang
itu. Wajahnya pasi. Mama terheran bukan main, gadisnya tak seindah beberapa
bulan lalu.
“Maya ingin membesarkan anak ini,”
lanjut Maya sambil mengelus perutnya, “Derri sudah sebulan tidak menemui Maya.
Ia kembali sama istri tuanya.”
Mamak memang berhasil melerai rindunya.
Maya kini jelas di hadapannya. Namun seketika, mamak ingin melesatkan pisau di
perut putrinya yang telah berani melahirkan duka di matanya. [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar