“Aku
nggak mau ngajar lagi!” protes Feby lalu menjatuhkan tubuhnya di kasur.
Kepalanya dibenamkan di bantal yang tergeletak sembarang. Ada sebongkah beban yang
mengguncangi pikiran. Rasa malu masih mengitari ingatannya. Feby amat geram
dengan bocah-bocah tengil tak tahu diri itu. Mengingat tingkah laku mereka,
ingin sekali ia mencubiti satu-satu tangan mereka yang jahil sampai menangis
sejadinya. Gigi-gigi Feby bergemeretak. Masih merepet keluh-kesalnya. Sementara
Lidya, tersenyum kecil, menerima kabar tak mengenakkan dari sahabatnya itu.
“Sendalku
itu masih baru, Lid. Gila, sudah hilang. Mana mahalll...” racau Feby,
beringsut, membuang bantal di sembarang tempat.
“Feby...
harap maklumlah. Mereka anak-anak, ya harus...”
“Harus
sopan dengan yang lebih tua!” potong Feby. “Aku ini guru mereka lho!” sambung
Feby berapi-api. Napasnya naik-turun. Hidungnya kembang-kempis menahan marah.
Aliran darahnya terasa mendidih. Sedang Lidya cuma geleng-geleng menanggapi
sikap Feby tak mau kalah dengan anak-anak.
Matahari
hampir tenggelam. Angin mendesir di bibir pesisir. Langit merah berkarat.
Segerombol anak menuju musala guna tunaikan tiga rakaat menghadap Sang Ilah.
Setelah itu, belajar mengaji, mengenali lebih dekat Sang Pencipta semesta
melalui lantunan kalam Alquran. A ba ta tsa dan seterusnya, dieja
pelan-pelan. Lidya ikut mengajari mereka—murid-murid Sekolah Gema –Ical, Deri,
Butet, Emil, dan Asha. Ical yang paling susah diajarkan ngaji.
Seringkali terbalik membedakan ja dan kha. Lidya tertawa kecil,
geli sendiri akan tingkah anak-anak didiknya.
Feby
lebih memilih tinggal di kos. Menyiapkan seragam mengajar, selembar jilbab, dan
buku-buku pelajaran untuk esok. Ah, entah, bila malam tiba lalu teringat
aktivitas rutinnya tiap pagi, gairah mengajar rasanya lindap. Sejak Feby
mengenal segerombol bocah nakal, hidupnya merasa tak nyaman. Tak tentram.
Agenda kuliahnya jadi tak bermakna. Barang-barang yang dibawanya ke sekolah,
pasti hilang. Yang menghilangkan, siapa lagi kalau bukan lima kurcaci itu,
sebutan untuk lima bocah kecil yang selalu menjahilinya: Ical, Deri, Butet,
Emil, dan Asha.
“Ibu
kalau ngajar jangan galak-galak, Bu!” celetuk Ical.
“Iya,
Bu. Hidup kami sudah susah, masa’ belajar juga susah,” tambah Butet lalu
mengelap ingus dari hidungnya.
“Betul!”
tandas Emil.
“Iya.
Betul!” seru lainnya serempak. Sekonyong-konyong Feby tersudut, merah
menyalalah wajahnya. Amarah tak bisa ia hindari. Meja sempat digebraknya. Siswa-siswa
pinggir pesisir itu terperanjat ketakutan, tapi tak lama mereka tertawa hebat.
Entah, apa yang membuat mereka merasa lucu. Mungkin karena sikap Feby yang
terlalu serius menanggapi komentar-komentar bocah yang belum genap dua belas
tahun.
Raib.
Sejak Feby sekali—dua kali marah, sepatu bermereknya, hilang sebelah.
Murid-murid hanya menggeleng, tanda tak tahu. Namun, di antaranya ada yang
terkikik pelan. Feby menelan ludah. Menahan marah.
Dua—tiga
kali. Hilang lagi! Belum lama sepatu, komik Jepang yang dibawanya ke kelas,
sekarang sandal-sepatu tali yang dibelinya satu minggu lalu. Merek impor pula!
Sengaja ia persiapkan untuk tunaikan matakuliahnya di Teluk Betung, daerah
pesisir yang mayoritas penduduknya nelayan dan berumahkan di pinggir laut.
Kali
itu, Feby marah hebat. Hampir semua siswa dijemur dengan mengangkat satu kaki,
sedang tangan menjewer telinga masing-masing dengan cara menyilang. Murid-murid
mulai meringis. Tak tahan menahan panas. Wajah sudah merah terpanggang
matahari. Menepis peluh yang banjir. Tapi, ada juga yang malah tertawa kecil.
Seperti sengaja mencibir. Siapa lagi kalau bukan Ical Cs, biang ulah keributan
di kelas. Alhasil, Feby ditegur kepala dusun di sana. Untungnya, ia masih
diizinkan mengajar.
“Mau
kayak mana lagi coba ngadepin kurcaci-kurcaci itu? Mau diem aja?” Feby
marah-marah tak keruan, setengah berjingkat-jingkat meluapkan amarah. Lidya
menoleh, menanggapi enteng persoalan Feby. Kembali melanjutkan tulisannya yang
tengah diedit di layar komputer. Feby diam. Menciptakan hening. Seolah berpikir
bagaimana caranya agar ia mengajar bisa dihargai murid-murid layaknya guru
lain.
“Aku
nggak mau kalau barang-barangku hilang terus. Pokoknya kalau sampai terjadi
lagi, lebih baik aku stop mengajar. Nilai E mungkin lebih terhormat,
Lid,” sambung Feby. Lidya membuang napas. Penat tiap sampai di kosan, ia
laiknya bak sampah yang selalu menimbun keluhan Feby.
“Ya
sudah. Besok ikut aku ngajar,” ajak Lidya, singkat. Feby setengah terlonjak.
“Buat
apa?” tanyanya penasaran.
“Jangan
banyak tanya. Ikut saja besok. Pakai pakaian yang rapi,” jawabnya singkat.
Angin
malam mendesir. Menabuh-nabuh kulit. Feby keluar kosan. Ia menyisiri jalan.
Suasana mengurung sepi. Terpasung di bola matanya, ada bocah kecil tengah
berdiri memandang lepas lautan. Seperti menunggu sesuatu yang datang dari sana.
Feby lama memerhatikan. Bentuk tubuh dan rambut ikal yang menjuntai
mengingatkannya pada salah satu muridnya yang menyebalkan di sekolah. Butet!
Ia, dia butet. Sedang apa dia malam-malam gini? Ah, dasar bocah nakal. Bukannya
istirahat di rumah, malah keluar malam-malam, Feby membatin. Ia tak hirau.
***
Pagi
datang. Matahari kembali menantang. Berdiri gagah dengan menyeruakkan caya
panas. Feby dan Lidya berpakaian rapi. Pakaian atas-bawah berwarna coklat muda
senada. Juga jilbab yang dipakai indah. Mencirikan muslimah yang tahu aturan
agama. Aksesori yang mengait di jilbab, makin memaniskan rupa.
“Aku
nanti ngapain, Lid?” tanya Feby mengikuti ritme langkah Lidya menuju sekolah.
Letak sekolah yang tak begitu jauh dari kosan mereka. Berkisar tiga ratus
meter. Napas Feby mulai naik-turun. Hidungnya kembang-kempis. Keringat mulai
bercucuran di pelipisnya. Lidya melirik lalu tersenyum. Dirogohnya saku,
diberikannya tisu. Feby menerima tanpa basa-basi.
“Kamu
lihat aku saja nanti. Tak perlu komentar.” Feby manggut-manggut, tanda
mengerti.
Lidya
masuk ke kelas yang berukuran tak besar seperti kelas-kelas yang ada di sekolah
pada umumnya. Mengucapkan salam lalu dijawab serempak murid-murid di kelas.
Mereka menyambarkan senyum yang paling manis dipunya. Tatapan kasih sayang
Lidya, ia tebarkan pada tiap sudut mata anak didiknya. Semua surut dalam
hening. Mata-mata itu berbinar. Tak sabar menanti Lidya segera mengajar.
Feby
membuat catatan kecil. Menuliskan poin-poin yang tak ia lakukan seperti Lidya.
Ical cs tertawa kecil. Feby langsung menjatuhkan dua bola matanya pada
bocah-bocah tengil itu. Menatapnya setengah sinis.
“Ibu
Feby ngapain tuh ikut-ikut Ibu Lidya?” Deri celetuk asal. Ical, Emil, dan Asha
tertawa geli. Sementara Butet, tak terlihat pagi itu.
“Pasti
nanti nggak seru,” sambung Emil.
“Iya,
betul!” tandas Asha, disambung riuh Deri, Ical, dan Emil. Feby diam. Ia sekuat
mungkin menahan gemuruh hatinya. Kalau tidak memandang Lidya, ingin sekali ia cubiti
satu-satu bocah-bocah tengil itu.
Lidya
menyeringai senyum. Memulai pelajaran dengan menyelipkan satu kisah inspiratif
untuk murid-muridnya. Bercerita dengan alur yang membuat anak didiknya
tenggelam dalam kisah. Antusias dipasangnya erat-erat. Mereka sampai lupa dan
tak hirau dengan guru yang tak mereka suka: Feby. Sedang Feby, ia mencatati
poin demi poin hal apa saja yang dilakukan Lidya dalam mengajar. Sungguh, amat
berbeda dengannya. Feby turut menikmati pelajaran yang diberikan Lidya yang penuh
keibuan. Pelajaran berhitung yang dibuat Lidya pun menjadi mudah dan
menyenangkan.
Feby
tercenung. Sesekali ia tersadar lalu kembali menuliskan poin-poin penting yang
terlepas darinya sebagai calon guru. Sebagai mahasiswa yang duduk di bangku
keguruan, tapi tak sedikit pun memiliki jiwa welas asih untuk
murid-murid. Hati Feby rasanya melonjak-lonjak. Malu, sudahlah pasti. Ia
tersudut di mata murid-muridnya, khususnya, Ical cs.yang tak suka cara
mengajarnya. Terlalu serius. Menakutkan. Seperti monster, kata mereka.
Feby
sadar, mereka adalah kotak kosong yang mesti diisi hal positif, menyenangkan,
dan kreatif. Sebab hari-hari mereka telah dipenuhi kejenuhan harapan agar perut
dapat terisi terus, tak melulu bergantung pada angin yang membawa ayah-ayah
mereka mencari rezeki di tengah lautan yang membahayakan. Selama ini Feby
mengubah ujudnya jadi monster yang memiliki keahlian mengajar. Menjadikan
anak-anak berwajah polos itu seperti robot. Mengikuti maunya mengerjakan tugas
dan tugas. Mendapatkan ilmu dalam ketakutan yang menggigil.
Malam.
Feby menciptakan hening. Tak banyak ia bicara setelah menyaksikan bagaimana
Lidya mengajar. Hanya kata terima kasih yang disampaikan tatkala senja
meringkuk.
Angin
kembali menyisir. Untuk malam berikutnya, ia menapaki jalan. Ditemui kembali
gadis kecil berambut ikal. Ia memandangi lautan. Seperti masih berharap sama:
menanti kapal yang datang dari seberang sana.
“Butet,”
sapa Feby, lembut. Ia menoleh. Kikuk geraknya. Ada segurat cemas di wajah.
“Sedang apa?” lanjutnya. Butet tak menjawab. Beringsut perlahan lalu buru-buru
pergi meninggalkan Feby. Feby bergeming. Air bening mengalir dari pelupuk mata.
Sengeri itukah dirinya di mata Butet.
***
Masuk
bulan pertama Feby mengajar di Teluk Betung. Sejumput kisah ia rekam di memorinya.
Segenggam rasa sayang bertunas di hatinya. Kasih itu tiba-tiba saja mencuat.
Segenap perasaan yang mulai ia tebar untuk murid-muridnya.
Feby
masuk kelas, diawali salam. Semua siswa di kelas terkejut dengan salam yang
diberikan guru monsternya itu.
“Wa...a...lai...kum
sa...lam...” jawab serempak penuh kikuk. Ada yang tersenyum senang. Ada
yang merasa aneh. Ada yang tertawa kecil. Pun ada yang diam saja. Takut-takut
Feby menggebrak meja kembali. Feby membalas semua ekspresi mereka dengan
senyum. Penuh sayang.
Poin-poin
besar yang menjadi catatan dirinya dalam mengajar, diubahnya drastis. Mengajar
penuh rileks, diselingi gurauan agar tak dipandang monster. Feby juga mengikuti
cara mengajar Lidya. Menyelipkan kisah keislaman agar murid-murid makin
mengenali Tuhannya.
Hari
pertama dalam perubahan mengajarnya, memang tak seindah ekspektasi yang
dibayangkan. Tak apalah, meski Ical cs.menganggapnya monster jadi-jadian
berubah jadi bidadari, tak menyurutkan kasih sayang Feby untuk mengajar. Hari
kedua, Asha mulai menegur Feby saat istirahat. Disusul Deri dan Emil. Sementara
Ical, ia masih enggan. Butet sudah beberapa hari tak sekolah.
Senja
tiba. Gerimis berjatuhan. Daun-daun ranting menari-nari tertiup angin liar.
Tiga rakaat wajib tertunaikan. Anak-anak berlarian menuju musala. Kembali
mengaji. Mengenali Allah melalui kalam-Nya. Ini kali kedua Feby mengurungkan
diri untuk berdiam di kos. Bersama Lidya, ia ikut mengajar ngaji. A
ba ta tsa dilafal Emil satu-satu. Feby bahagia.
Tiba-tiba
Ical datang. Mengambil posisi duduk di depan Feby.
“Bu
Guru, saya mau ngaji juga,” katanya
ramah, polos. Feby terhentak. Menahan haru. Hanya anggukan dan senyum
disemainya. Pelan-pelan, terbata-bata, Ical melafalkan sederet huruf hijaiyah.
Feby membimbingnya. Pelan-pelan, penuh kasih.
Esoknya
mengajar. Feby datang menjuntaikan salam. Semua siswa menjawab lalu disusul
suasana hening. Feby menatap satu-satu bola mata murid-muridnya. Ical sc.hanya
diam. Feby menggelayutkan pertanyaan dalam batin tatkala Butet hadir di pertemuannya.
Butet
menghampiri Feby. Di tangan kanannya dipenuhi satu kotak terbungkus rapi. Ia
melangkah pelan, mendekati Feby. Sambil setengah menunduk. Masih takut dengan
perangai Feby.
“Ini
untuk Ibu,” katanya pelan. Belum sempat Feby tanya ketidakhadiran Butet
beberapa hari lalu, satu pertanyaan baru menyembul. Satu kotak diberikan
untuknya. Hari ini bukan hari kelahirannya. Semrawutan pertanyaan di
kepala.
“Dibuka
saja, Bu,” saran Ical lalu terkekeh.
“Iya,
Bu,” jawab yang lain.
Feby
tak percaya. Ia menilik satu-satu ekspresi guratan wajah muridnya. Khawatir
bocah-bocah tengil itu akan berbuat iseng. Penuh hati-hati, Feby membuka
bungkus kotak segi empat di hadapannya.
Hening...
Dalam
hitungan detik, Feby menahan haru. Ada air mata yang membayang lembut. Seuntai
kalimat menyuruknya dalam sedih. ‘Maafkan kenakalan kami, Bu’. Lagi,
Feby kembali menatap wajah-wajah polos itu. Tak kuat menahan bendungan hebat
air mata di pelupuk. Mengalir begitu saja, membasahi pipi kanan-kirinya. Sepatu
heels, beberapa komik Jepang, sepatu-sandal, dan barang lainnya yang
sempat raib, kini ada di depan mata. Tersaji manis dalam kemasa kotak yang
diberikan Butet.
“Maaf,
Bu. Komiknya saya pinjam,” celetuk Butet. “Nunggu abah pulang dari laut, jadi saya
baca komik Ibu,” tambahnya lalu cengengesan. Yang lain tertawa. Riuh tercipta.
Feby mengangguk-angguk, tak mengapa batinnya berucap.
“Sepatu
ibu yang tinggi, saya jadiin ganjalan pintu, Bu. Emak udah ngomel-ngomel sama
Abah yang susah bener betulin pintu,” papar Ical. Kelas makin riuh. Tawa
melingkupi. Feby haru. Air matanya belum usai menganak.
“Terima
kasih, anak-anakku,” jawabnya lirih.
Haru-biru
menyurut. Belajar kembali berlanjut. Tunas kasih sayang Feby melangit. Di kelas
itu, ia diajarkan berhati lembut, bukan monster yang berwujud guru. Di kelas
itu, ia temui mata-mata berbinar yang butuh sosok guru yang ikhlas. Belajar
menanam harap agar ilmu dan perut dapat terisi setelah ayah mereka
masing-masing pulang, lelah dari melaut. Feby temukan cahaya itu dari jiwa-jiwa
mereka. Para cahaya di pesisir Teluk Betung. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar